[Nasional-m] Pasal 134 dan Helaan Napas Demokrasi yang Tersengal

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu Aug 15 01:48:04 2002


Kompas
Kamis, 15 Agustus 2002

Pasal 134 dan Helaan Napas Demokrasi yang Tersengal
Oleh Setia Permana

Begitulah, tuah Pasal 134 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mulai
menerkam korbannya! Harian Kompas (17/7/2002) menyiarkan berita mengenai
tujuh perempuan aktivis Organisasi Perempuan Aceh Demokratik (Orpad) yang
ditangkap polisi saat menggelar unjuk rasa di Bundaran Simpang Lima, Banda
Aceh, 16 Juli 2002 siang. Polisi menuduh, mereka menghina kepala negara
dengan mencoreng foto Presiden Megawati Soekarnoputri dan Wakil Presiden
Hamzah Haz. Para aktivis itu menggelar aksi menuntut Megawati dan Hamzah
mundur dari jabatannya karena dituduh menyebabkan terjadinya terus tindak
kekerasan di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Terlepas dari aspek legalitas dan minimnya sosialisasi, Pasal 134 KUHP
berisi peringatan keras bagi para pendemo yang sengaja menghina, membakar,
mencoret, atau merusak foto kepala negara. Namun, agaknya kita lebih mudah
melihat aksi penangkapan sebagai imbas reaksi keras Megawati, menyusul
maraknya unjuk rasa yang ditandai dengan "perusakan" foto presiden dan wakil
presiden. Konon, karena foto-foto itu adalah representasi simbol negara yang
sakral, maka siapa pun yang tidak menghormatinya harus dihukum.
Sayang, bila akhirnya ini berkorelasi dengan kian tersengalnya helaan napas
demokrasi di Nusantara. Sementara, di balik semua itu, angin pesimisme
menyelinap ke tiap bilik nurani bangsa dan berbisik lirih tentang reformasi
yang tengah meregang nyawa. Bangsa ini harus kembali menggunakan
kecerdasannya untuk membaca tanda-tanda perubahan zaman. Perubahan zaman,
mungkin hanya sebuah praktik daur ulang sejarah yang kelam. Dan, tema besar
yang menjadi substansi perubahan zaman adalah tidak hanya soal reformasi
yang menjadi judul perubahan, tetapi juga demokrasi sebagai substansi
perubahan.
Manakala diskursus "demokrasi" di tataran legislatif (parlemen) tidak lagi
menyentuh "ruh" kepentingan rakyat, maka parlemen jalanan adalah alternatif
refleksi, ekspresi, dan representasi demokrasi yang tidak dapat dinafikan
lagi. Kendati jauh dari aspek formalitas, legitimasi, bahkan dari kemegahan
gedung yang menjadi simbol kedaulatan rakyat, parlemen jalanan adalah
"habitat" tersisa yang pantas menjadi "hutan lindung" yang mengayomi segenap
"ekosistem" demokrasi, dan menjadi "suaka margasatwa" yang pantas bagi aksi
para pendekar demokrasi. Di jalanan, akan tertumpah ekspresi demokrasi yang
tidak lagi tersekat-sekat dalam dikotomi penting dan tidak penting, besar
atau kecil, mayoritas atau minoritas, atau gugusan-gugusan formalitas dan
sakral-sakral seremonial lain.
Sebaliknya, di jalanan akan tergambar "rupa" rakyat sebagai pemegang
kedaulatan sebenarnya di Bumi Pertiwi, sedang mengepalkan tangan ke angkasa.
Di jalanan pula, elan demokrasi masih bisa menjumput etos perjuangan,
menggelinding ke sana ke mari, membentur-bentur tembok-tembok besar lambang
otoritarianisme. Sayang, di jalanan pula, napas demokrasi kini justru
terancam!
Soalnya adalah saat demokrasi dituduh bersalah sebagai sebuah sistem yang
bebas nilai. Soal lain, manakala demokrasi harus bergaul dengan norma-norma,
nilai-nilai, tata krama, dan sopan santun tanpa batasan parameter pasti.
Sungguh sebuah soal, yang telah memaksa kita menoleh kembali pada sistem
nilai yang dinamakan sebagai "Demokrasi Pancasila"-yang konon merupakan
demokrasi milik bangsa Indonesia. Tetapi, yang kemudian lebih merupakan
rekayasa politik, sosial, dan budaya yang justru ikut terlibat menumpulkan
makna demokrasi sedemikian rupa sehingga hanya menyisakan potongan gambar
yang melulu harus sesuai monopoli pola tafsir pihak penguasa yang ingin
melanggengkan kekuasaannya.
Demokrasi dan nilai-nilai kesopanan
Peringatan keras bagi pendemo yang sengaja menghina, membakar, mencoret,
atau merusak foto kepala negara, mereka akan dijerat Pasal 134 KUHP tentang
Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Bukan hanya itu, para
pendemo juga bakal dijerat Pasal 310 KUHP tentang Pencemaran. Sesuai Pasal
134 KUHP, pelaku bisa diancam hukuman penjara enam tahun atau pidana denda
paling banyak Rp 4.500. Sedangkan, Pasal 310 KUHP ancaman hukumannya lebih
ringan, sembilan bulan penjara atau denda paling banyak Rp 4.500.
Dalam Pasal 134 KUHP disebutkan, penghinaan dengan sengaja terhadap presiden
dan wakil presiden diancam pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana
denda paling banyak Rp 4.500. Pasal 310 KUHP (1), barang siapa dengan
sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan
sesuatu hal, yang maksud terang supaya diketahui umum, diancam karena
pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana
denda paling banyak
Rp 4.500.
Ada dua substansi moral yang terkandung dari kedua pasal dalam KUHP itu.
Pertama, kebijakan ini sebagai langkah mendewasakan para pendemo agar arif
dan bijak dalam menyampaikan aspirasinya. Kedua, untuk menjaga martabat
pejabat negara. Kedua substansi moral itu tentu belum memiliki derajat
integrasi tinggi terhadap kekuatan hukum kedua pasal KUHP itu. Keduanya
masih bisa diperdebatkan lebih lanjut karena nilai kausalitas keduanya masih
terangkum dalam subyektivitas pemikiran dan kebijakan tertentu dari sistem
kekuasaan yang ingin dilindunginya.
Oleh karena itu, variabel pendewasaan demokrasi tidak mutlak milik pendemo
atau rakyat semata, tetapi juga-pertama-tama dan utama-seharusnya milik
penguasa atau rezim, elite politik, dan partai. Adalah tidak lucu, menyuruh
rakyat agar dewasa dalam berdemokrasi, sementara para elite politik dan
partai bebas merekayasa terminologi demokrasi dengan semangat
kekanak-kanakan dan hedonistik.
Sementara, variabel "menjaga martabat pejabat negara" seyogianya hanya
digantungkan pada komitmen dan kontribusi para elite kekuasaan itu sendiri
pada amanat reformasi, terlebih pada cita-cita luhur Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yakni masyarakat Indonesia yang makmur dalam keadilan,
adil dalam kemakmuran. Dan jangan lantas dibebankan kepada pundak rakyat,
karena rakyat telah menyandang beban hidup, bahkan sudah melampaui batas
kesanggupannya.
Adalah wajar, bila dalam kondisi seperti itu, rakyat gagal merefleksikan
kesantunan dalam berdemokrasi. Bagi rakyat, lebih penting memikirkan
substansi daripada ekspresi dalam berdemonstrasi, karena inilah yang
sebenarnya dimaksud "hawa-murni" kehidupan berdemokrasi. Celakanya, respons
penguasa lebih terkonsentrasi pada ekspresi daripada substansi unjuk rasa.
Ini tampak jelas pada pernyataan Megawati yang harus digarisbawahi, "Kalau
bertemu dengan demonstran itu, akan mempersilakan mereka mencari
kewarganegaraan lain, sebab tidak menghormati simbol negara."
Demokrasi dan hipokrisi
Agaknya, kecaman presiden atas praktik-praktik demonstrasi yang dianggap
"tidak dewasa" dan "tidak menjaga martabat pejabat negara" telah
membuncahkan makna refleksi politik yang luas. Hendardi-Ketua Perhimpunan
Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)-misalnya, melihat
kecaman itu sebagai "kebiasaan rezim otoriter Orde Baru, yang lebih tertarik
mempersoalkan cara orang berdemonstrasi dan kebebasan pers, daripada
menanggapi substansi yang dikritik dalam demonstrasi maupun melalui
pemberitaan media massa".
Selanjutnya dikatakan, kecaman presiden itu dapat diartikan untuk membungkam
demokrasi jika polisi mengartikannya sebagai perintah. Menurut dia, sebuah
kritik-melalui unjuk rasa-amat sulit dinilai kasar dan kerasnya, karena
secara obyektif kita tidak memiliki standar untuk sebuah pergaulan poltik.
Atau dengan kata lain, kita-sebagai bangsa-belum bisa mengapresiasi
demokrasi sebagai sebuah sistem yang berkait dengan sistem nilai kesantunan,
bahkan mengapresiasi demokrasi bebas nilai. Harus dipahami dengan cerdas,
level pergaulan bangsa ini dengan nilai-nilai demokrasi, baru berjalan pada
titik "perkenalan" setelah berpuluh-puluh tahun justru resisten pada sistem
kekuasaan otoritarianisme.
Indonesianis dari Universitas Wollongong (Australia) Max Lane punya opini
yang sejalan dengan Hendardi. Lane mengakui, budaya represi dalam
pemerintahan Megawati masih kuat muncul di berbagai tempat. Dikatakan, jika
budaya represi terus berlangsung, ini akan mengancam demokrasi dan
menimbulkan kemarahan rakyat.
Lane menyatakan, budaya represif yang kuat dapat dilihat dari peristiwa
pemukulan wartawan dan penangkapan aktivis yang berunjuk rasa. Namun,
peristiwa itu belum bisa dikatakan sebagai usaha sistematis pemerintahan
Megawati pada para pengunjuk rasa yang menginjak-injak gambar dan foto
presiden dan wakil presiden.
Namun, budaya represif itu akan menurunkan kebermaknaan konsep demokrasi
pada level terendah pada pengimplementasiannya dalam realitas politik
Indonesia. Di mana, suatu saat, di titik tertentu, demokrasi hanya sanggup
disuarakan-dibenarkan-dalam kemasan-kemasan eufemisme yang manis. Sehingga,
tidak saja bangsa ini akan kembali menemukan demokrasi yang telah tercerabut
dari konteksnya, tetapi juga, tercebur ke dalam kehidupan politik yang sarat
dengan lumuran nila-nilai hipokrisi.
Inilah barangkali, sebagian kecil variabel yang menjadi secuil jawaban
esensial dari sebuah pertanyaan besar tentang makna filosofis dari masa
transisi ini, di mana reformasi diapresiasi sebagai sebuah perubahan menuju
entah ke mana. Menangislah, karena reformasi ini-boleh jadi-akan segera
mengakhiri perjalanan sejarahnya di stasiun berikutnya di kota
otoritarianisme! Artinya, reformasi-amat boleh jadi-hanya waktu rehat bagi
bangsa ini di antara deraan sebuah sistem pemerintahan otoritarianisme yang
lampau dan sistem pemerintahan otoritarianisme yang akan datang.
Catatan akhir
Pada akirnya, diskursus ini harus mendudukan titik perhatian ilmu politik
pada tahap perkembangan masyarakat tertentu dan kebermaknaan produk hukum
yang harus diapresiasi. Bila dalam tahap perkembangan masyarakat tertentu,
titik perhatian ilmu politik adalah pada persoalan "who shall make law, and
what the law should be." Maka dengan kian kompleksnya kehidupan masyarakat,
persoalan baru timbul how law should be administered with enlightenment,
with equaty, with speed and without friction" (Wilson, 1887).
Apakah Pasal 134 dan 310 KUHP telah memuat potensi pencerahhan, kesetaraan,
dan tanpa friksi bagi penegakkan prinsip-prinsip demokrasi, sehingga akan
terekonstruksi bangunan civil society yang diidamkan? Rakyatlah yang berhak
menjawab, meski dengan kemarahan yang dahsyat sekalipun!
Sayang, perkenalan bangsa Indonesia dengan prinsip-prinsip demokrasi harus
berlangsung singkat. Yang hanya membuahkan mimpi indah dan memori tak
terlupakan yang terselip di antara realitas politik yang sarat dengan
luka-luka dan trauma-trauma politik yang tak tersembuhkan. Dan rakyat,
mungkin hanya bisa bergumam di tengah-tengah cengkeraman penyakit
somnabulisma-nya yang akut: inilah kenyataan pahit yang harus kembali
direguk sebagai rutinitas yang memenjarakan seluruh kebebasan yang tersisa
dan menelantarkan semua kepentingan rakyat!
Setia Permana, Dosen FISIP Universitas Pasundan, STIA-LAN RI, dan FISIP
Universitas Parahyangan, Bandung
Search :










Berita Lainnya :
•TAJUK RENCANA
•REDAKSI YTH
•Pasal 134 dan Helaan Napas Demokrasi yang Tersengal
•Politik Tentara Belum Berakhir
•POJOK