[Nasional-m] Korupsi, Gaya Hidup, dan Daya Saing

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu Aug 15 21:24:01 2002


SUARA PEMBARUAN DAILY

Korupsi, Gaya Hidup, dan Daya Saing
Oleh Padang Wicaksono

Tumbangnya Presiden Soeharto di penghujung Mei 1998 seolah-olah menerbitkan
harapan baru bagi bangsa Indonesia akan lahirnya sebuah tatanan masyarakat
yang demokratis dan berakhirnya sebuah pemerintahan yang korup. Separo dari
cita-cita bangsa Indonesia itu, pada tingkat tertentu, terutama demokrasi,
sudah terkabulkan. Namun, tidak demikian halnya dengan harapan akan
hilangnya korupsi.
Di masa pemerintahan transisi Presiden Habibie, setidaknya borok-borok
korupsi masih menganga lebar dan tidak ada perbedaan yang cukup signifikan
dengan rezim sebelumnya.
Tekad pemberantasan korupsi, atau lebih sering dikenal dengan KKN, memang
ada, namun hanya sebatas lips-service. Masih jelas dalam ingatan kita ketika
majalah Panji menyajikan laporan eksklusif pembicaraan antara Presiden
Habibie dengan Jaksa Agung Ghalib yang isinya secara eksplisit menggambarkan
bahwa penyelidikan kasus Soeharto ternyata hanya sandiwara belaka!
Ketika Gus Dur terpilih menjadi Presiden RI yang ke-4 harapan masyarakat
akan terciptanya pemerintahan yang bersih dari KKN sempat muncul kembali.
Apalagi Gus Dur dikenal sebagai tokoh demokrat kawakan yang sudah makan asam
garam pahitnya dunia LSM. Orangpun menjadi berbunga-bunga tatkala Gus Dur
berjanji akan melibas habis para koruptor.
Namun keadaan tidak menjadi lebih baik dari rezim sebelumnya, malahan nyaris
terjadi pemerintahan tanpa manajemen akibat gaya Gus Dur yang memang kelewat
informal.
Pemberantasan KKN memang terus berkumandang tapi yang terjadi adalah sebuah
opera sabun di mana Jaksa Agung dan para tersangka berakting sesuai dengan
peran masing-ma- sing sehingga tak satupun misteri penggelapan triliunan
rupiah uang rakyat terungkap.
Naiknya Mega menggantikan Gus Dur kembali menyiratkan harapan baru. Meski
harapan itu bercampur dengan skeptisme lantaran pribadi Mega yang memang
sulit ditebak apalagi beliau sangat terkenal dengan diamnya. Yang terjadi
kini, Mega juga tertatih-tatih dalam memberantas korupsi meski beliau
sendiri telah berjanji untuk melibas praktik KKN yang telah membelenggu
tanah tumpah darah kita.
Akar Korupsi
Berbicara mengenai akar korupsi tentu tidak bisa dipisahkan dari struktur
sosial-politik dan etika-moral masyarakat yang telah mengalami transformasi
sejak zaman pra-kolonialisme, zaman pendudukan imperialisme Belanda hingga
periode pasca-kemerdekaan kemudian mengalami perubahan dramatis ketika
Jenderal Soeharto mengambilalih kekuasaan Presiden Sukarno secara resmi di
tahun 1968.
Kebanyakan dari kita mengira bahwa fenomena korupsi adalah semata-mata
warisan Pemerintahan Soeharto belaka padahal budaya korup sudah mendarah
daging bahkan semenjak republik ini belum terbentuk, yakni ketika
kolonialisme belum mencengkeram Tanah Air (Toer, 1980:hal 206-209). Ketika
itu raja-raja dan bupati-bupati Jawa menguasai tanah pertanian yang menjadi
basis utama ekonomi.
Para petani semata-mata adalah petani penggarap yang terpinggirkan yang
tidak mempunyai hak milik atas tanah. Para bupati yang menjadi mesin
birokrasi dari kerajaan memang harus tunduk pada kemauan raja apabila tidak
ingin kehilangan jabatan. Maka yang terjadi, para bupati harus memberikan
sejumlah upeti dan laporan asal bapak senang yang melegakan hati raja
sementara rakyatnya yang kebanyakan adalah para petani tak lebih menjadi
sapi perahan.
Ketika Belanda menduduki Indonesia, pergolakan memang tengah terjadi
terutama antara raja-raja yang berkuasa melawan Belanda. Meski akhirnya
raja-raja Jawa berhasil ditumbangkan namun struktur sosial tetap tidak
berubah di mana para petani merupakan pihak yang marginal sementara
imperialis Belanda tetap menghidupkan feodalisme serta memanfaatkan jasa
para bupati/kaum priyayi Jawa yang bertindak sebagai birokrat kepanjangan
tangan penguasa kolonial (Onghokham, 1978).
Memasuki awal abad ke-20, ketika Belanda telah memiliki kontrol penuh atas
bumi nusantara, Dutch Indies (nama Indonesia ketika itu) menjadi eksportir
terkemuka bahan-bahan mentah primer seperti pertanian dan pertambangan
(Paauw, 1983). Namun lagi-lagi mayoritas penduduk pribumi tetap
tersubordinasi, sebagian besar menjadi kuli kontrak atau buruh-buruh
perkebunan dengan gaji rendah.
Politik Etis
Pada masa yang sama pula, atas desakan kelompok liberal parlemen Belanda,
Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia mengintrodusir kebijakan yang
terkenal dengan nama Politik Etis yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan
rakyat termasuk di dalamnya kebijakan mengenai beras, irigasi, kesehatan
masyarakat, penyediaan kredit murah, transmigrasi, pendirian koperasi, serta
pendidikan.
Meski Politik Etis menghasilkan sejumlah keberhasilan penting, seperti
peningkatan produksi beras, namun kebijakan ini menyisakan sebuah kegagalan
yang sangat fatal yakni terabaikannya pendidikan (baca human capital).
Ketika Sukarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan RI, republik muda ini
mengalami kelangkaan tenaga terdidik yang sangat diperlukan untuk mengurus
administrasi negara (Booth, 1988). Di samping itu, oleh karena adanya
politik pembagian kelas semasa pendudukan Belanda, kelas pribumi sangat
minim jiwa wirausahanya (entrepreneurship) mengingat untuk sektor
perdagangan telah didominasi oleh etnis Tionghoa (Thee, 1994). Maka tak
heran bila kalangan elite pribumi dan priyayi yang terbatas jumlahnya
memasuki jalur birokrasi sementara sebagian besar rakyat yang kurang
berpendidikan memasuki sektor tradisional, yakni pertanian dan perkebunan.
Sekalipun telah merdeka, sektor-sektor modern (manufaktur, perbankan, jasa
transportasi) masih dikuasai oleh perusahaan-perusahaan Belanda dan asing
lainnya. Menghadapi situasi ketimpangan struktur ekonomi warisan kolonial
Belanda tersebut para elite politik ketika itu tergugah untuk melakukan
perubahan drastis. Maka pada tahun 1950, Dr Juanda, seorang Menteri
Kemakmuran Rakyat yang tidak beraliansi dengan partai manapun,
memperkenalkan Program Benteng yang bertujuan mengangkat derajat penduduk
pribumi agar menjadi usahawan yang tangguh dengan jalan memberi keistimewaan
berupa lisensi impor dan kredit impor.
Kelangkaan modal di kalangan pribumi dan sedikitnya jumlah pribumi
berpengalaman dalam kegiatan bisnis telah mendorong sebagian besar dari
mereka untuk menjual lisensi impor pada kaum usahawan etnis Tionghoa yang
jauh lebih terampil dan berpengalaman. Di balik Program Benteng ini ternyata
terselip praktik-praktik ilegal sebagai benih dari korupsi di mana para
elite politik dan aparat birokrasi yang berkuasa memanfaatkan jabatannya
untuk memberikan keleluasaan akses modal pada sanak famili dan relasinya.
Isu dominasi etnis Tionghoa sering dimanfaatkan oleh para elite politik
maupun birokrat/tentara untuk mengalihkan perhatian publik atas
tindakan-tindakan ilegal yang telah dilakukannya (Compton, 1992: hal.
347-354). Sejarah pun mencatat Program Benteng akhirnya gagal.
Simbiosis Mutualisme
Naiknya Jenderal Soeharto ke panggung kekuasaan telah melahirkan ideologi
pembangunan (pembangunanisme) sebagai kata kunci untuk membungkam demokrasi
dan suara-suara kritis lainnya. Dengan bertumpu pada pesatnya laju industri
manufaktur, pada masa ini telah bermunculan pengusaha skala raksasa yang
memiliki koneksi erat dengan inner circle kekuasaan atau bahkan keluarga
Cendana. Kecuali Surya Wonowidjojo (pendiri Gudang Garam) dan Tan Siong Kie
(pendiri Deterjen Dino dan Penyedap Sasa), semua pengusaha kelas kakap
tersebut mendominasi pasar domestik berkat proteksi dan keistimewaan yang
diberikan oleh pemerintah (Thee & Yoshihara, 1987).
Meski industrialisasi dan modernisasi tersebut dipuji oleh banyak kalangan,
misalnya Bank Dunia dan IMF, di kemudian hari menyisakan sejumlah problem
serius seperti pemusatan kekuatan ekonomi pada segelintir orang, merebaknya
korupsi dari tingkat elite politik hingga aparat birokrasi/militer, dan
kesenjangan sosial. Perlu diketahui pula bahwa pertumbuhan ekonomi yang
tinggi tersebut tidak secara otomatis diimbangi dengan trickle down effect
yang berujung pada pemerataan melainkan kesenjangan yang kian melebar antara
si kaya dan si miskin.
Lingkungan sosial-politik yang otoriter, peran aparatur negara yang dominan,
kelangkaan usahawan pribumi, ditambah dengan asimilasi setengah hati etnis
Tionghoa dengan penduduk pribumi, dimanfaatkan dengan baik oleh elite
politik untuk mengeksploitasi struktur sosial seperti ini demi kepentingan
kekuasaan.
Tak dapat dipungkiri bahwa sistem otokrasi seperti di atas menjadi lahan
subur bagi tumbuhnya korupsi. Korupsi yang sedemikian sistematis ini pada
gilirannya berakibat negatif pada dunia bisnis karena melahirkan kelas
kapitalis kroni, pemburu rente dan economic predator yang berlindung di
balik ketiak proteksi, subsidi, dan privileges yang diberikan oleh
pemerintah. Di tengah langkanya iklim persaingan domestik dan proses
pengambilan kebijakan yang tidak transparan menyebabkan distorsi ekonomi dan
inefisiensi yang berujung pada ekonomi biaya tinggi yang sangat merugikan
perekonomian nasional.
Proses pembangunan dan modernisasi yang berlangsung secara cepat tanpa
diimbangi dengan etika bisnis dan moralitas yang terpuji dari para pelakunya
telah menyebabkan porak-porandanya tatanan sosial-ekonomi masyarakat. Meski
proses pembangunan dan modernisasi itu telah melahirkan kelas menengah baru
yang mapan secara ekonomi namun tidak mengubah struktur sosial-ekonomi yang
ada mengingat kelas menengah baru tersebut tidak mempunyai kepedulian dan
simpati atas nasib rakyat kecil yang kian terpinggirkan.
Salah satu sifat tidak terpuji lainnya sebagai dampak kemakmuran ekonomi
yang instan adalah gaya hidup yuppies dan penghambaan yang luar biasa
terhadap materi di mana pada gilirannya menyebabkan konsumerisme atas
barang-barang mewah sehingga tak heran faktor inilah yang telah menyebabkan
berlangsungnya kesenjangan antara tabungan dan investasi (saving-investment
gap) dalam perekonomian nasional.
Keadaan sosial-ekonomi masyarakat yang bertumpu pada elite politik yang
korup beraliansi dengan pemburu rente yang mengutamakan profit jangka pendek
kemudian dipadu dengan kelas menengah yang mengutamakan gaya hidup glamour
tetapi tanpa diimbangi dengan etika bisnis dan moral ekonomi yang kuat telah
menyebabkan limbungnya daya saing Indonesia dalam kancah persaingan
internasional.
Kita semua sadar betapa proses pembangunan ini telah menghancurkan
keseimbangan alam di mana hutan-hutan telah dibabat habis, daerah resapan
air diterjang oleh perumahan mewah, tanah pertanian yang subur disulap
menjadi kawasan industri. Kita semua juga sadar bahwa di segala lini, negeri
kita telah mengalami keterpurukan akibat krisis multidimensi yang tak
kunjung selesai ini. Namun, mungkin kita belum sadar bahwa perbuatan di atas
sangat nista dan tak seharusnya kita ulangi lagi kecuali kita semua memang
menginginkan agar nama Indonesia lenyap dari peta dunia.
Penulis sedang studi pada Department of Economic Science Graduate School of
Economics Saitama University Japan.


Last modified: 15/8/2002