[Nasional-m] Reformasi Hubungan Sipil-Militer sebagai Prasyarat Demokratisasi

Ambon nasional-m@polarhome.com
Fri Aug 16 00:48:05 2002


Kompas
16/8/2002
Jumat, 16 Agustus 2002

Reformasi Hubungan Sipil-Militer sebagai Prasyarat Demokratisasi
Oleh Abd Rohim Ghazali

SEJATINYA, dalam sistem monarki tradisional, militer hanyalah "penjaga
malam" yang dalam sistem pemerintahan modern disebut sebagai fungsi
pertahanan keamanan (hankam). Fungsi inilah yang dibedakan secara tajam
dengan fungsi sipil yang mencakup seluruh aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara kecuali hankam.
Dalam negara-negara maju seperti di Amerika Utara dan Eropa Barat, pemetaan
kedua fungsi (militer dan sipil) ini sudah bisa berjalan seimbang.
Masing-masing bisa berperan sesuai dengan fungsinya, tidak tumpang-tindih
dan intervensi. Kalaupun ada pengaruh, maka sipil mempengaruhi militer,
bukan sebaliknya. Karena yang berjalan adalah "supremasi sipil" maka
kebijakan-kebijakan politik yang ditempuh dan dijalankan pemerintahan sipil
berpengaruh pada langkah-langkah yang harus ditempuh militer.
Yang terjadi di Indonesia adalah kebalikan dari itu: sipil berada di bawah
supremasi militer. Sepanjang rezim Orde Baru, kondisi semacam itu berjalan
mulus walaupun bukan berarti tanpa kritik.
Kritik-kritik yang dilontarkan ada, tetapi selalu muncul di bawah permukaan.
Karena kalau muncul di permukaan akan segera dituduh subversif: melawan
pemerintahan yang sah. Informasi-informasi yang berkaitan dengan
kritik-kritik terhadap peran militer pun diberangus tanpa ampun.
Titik balik
Jatuhnya Soeharto telah melahirkan satu perubahan besar dalam sistem
perpolitikan Indonesia secara umum. Secara khusus, dalam perspektif hubungan
sipil-militer, telah terjadi titik balik yang ditandai dengan kritik-kritik
tajam atau bahkan hujatan terhadap militer sepanjang Soeharto berkuasa.
Tuntutan terhadap reformasi peran militer pun muncul dari berbagai komponen
masyarakat, termasuk dari kalangan militer sendiri. Penghapusan dwi fungsi
ABRI juga menjadi salah satu pilar reformasi yang diajukan komponen gerakan
reformasi, terutama kalangan mahasiswa.
Hujatan masyarakat-terutama mahasiswa-terhadap ABRI/militer, di samping
karena peran-perannya selama rezim Orde Baru berkuasa, juga disebabkan
karena beberapa kejadian tragis yang melibatkan ABRI/militer seperti dalam
Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I, dan Tragedi Semanggi II, yang menelan
beberapa korban dari kalangan mahasiswa.
Keniscayaan reformasi TNI
Proses reformasi peran TNI bukan semata karena tumbangnya Soeharto, tetapi
merupakan keniscayaan sejarah. Setidaknya ada empat alasan yang
melatarbelakanginya.
Pertama, peran sosial politik TNI yang melampaui batas telah mengakibatkan
tersumbatnya wadah aspirasi masyarakat.
Kedua, campur tangan pihak TNI yang terlalu jauh di berbagai sektor
kehidupan telah mengakibatkan semakin rumit dan berlarut-larutnya beberapa
konflik yang terjadi di tengah masyarakat.
Ketiga, intervensi TNI yang terlalu jauh di bidang hukum telah mengakibatkan
semakin lunturnya penghargaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga hukum dan
peradilan. Akibat keterlibatan "oknum" TNI/ABRI, banyak kasus hukum yang
masih misterius hingga sekarang, seperti pada kasus tewasnya Marsinah dan
wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin.
Keempat, keterlibatan TNI dalam bidang ekonomi dianggap sebagai penyebab
bangkrutnya sektor ini. Buku Bila ABRI Berbisnis yang disusun berdasarkan
hasil penelitian LIPI (Dr Indria Samego dan kawan-kawan) memaparkan secara
gamblang bahwa banyak unit-unit bisnis yang melibatkan militer atau "oknum"
militer yang biasanya dibungkus dengan kata "kerja sama" dengan sipil yang
berujung pada kebangkrutan di pihak sipil.
Demokratisasi
Dalam studinya yang dilakukan di delapan negara ketiga, Robert P Clark
(1996) menyimpulkan bahwa naiknya kekuasaan militer memang merupakan gejala
umum di dunia ketiga sebagaimana maraknya otoritarianisme. Clark
mengidentifikasi munculnya rezim militer di suatu negara senantiasa
bersamaan dengan menjauhnya demokrasi dari negara yang bersangkutan.
Memang, tidak semua kasus otoritarianisme disebabkan karena militerisme.
Pada faktanya banyak juga negara otoriter yang dipimpin oleh rezim sipil.
Namun, seperti kata Nordlinger, jika sebuah pemerintahan dikuasai oleh
militer maka hampir pasti akan melahirkan otoritarianisme.
Mengapa rezim militer lebih pro pada otoritarianisme? Dalam kasus Indonesia,
hal ini bisa dijawab karena secara formal, ideologi sebagai konsepsi
kenegaraan yang dipedomani militer Indonesia untuk mengarahkan posisi dan
perannya dalam kedudukan kenegaraan ialah doktrin Tri Ubaya Cakti dan Catur
Darma Eka Paksi. Di samping itu, karena militer juga berperan dalam
menentukan pola kenegaraan serta cara mengisi kemerdekaan, maka konsep
kenegaraan integralistik yang dipedomani dan dipertahankan militer juga bisa
disebut sebagai bagian dari ideologi militer.
Di dalam doktrin pertahanan negara dan perjuangan militer, dikenal dua
konsep utama yang secara langsung akan melibatkan militer dalam proses
demokratisasi, yakni konsepsi tentang perang dan konsepsi tentang musuh.
Doktrin militer di Indonesia mengajarkan konsep "perang rakyat semesta"
dimana atas perintah pimpinan militer, seluruh rakyat harus ikut berperang.
Implikasi dari pelaksanaan doktrin ini adalah:
Pertama, militer bisa menentukan arah kebijakan politik yang bukan saja
harus dipatuhi oleh kalangan prajurit militer, tetapi juga oleh seluruh
komponen masyarakat sipil.
Kedua, karena mencakup semua komponen bangsa maka otomatis menutup peluang
bagi pemimpin sipil untuk mengambil kebijakan-kebijakan politik yang
memberikan kebebasan pada rakyat untuk menyalurkan aspirasi sesuai dengan
bisikan hati nuraninya karena yang ada dan berhak disalurkan hanyalah
aspirasi pimpinan militer. Hal ini sangat erat kaitannya dengan konsepsi
militer mengenai "musuh".
Dalam doktrin militer Indonesia terdapat rumusan "ancaman, gangguan,
hambatan, dan tantangan" (AGHT) yang merupakan strategi yang lahir dari
rumusan fungsi hankam ABRI yang menyatakan bahwa tugas militer adalah
"memelihara dan memperkuat ketahanan, kewaspadaan, dan kesiapsiagaan
nasional untuk secara defensif aktif mempertahankan dan mengamankan
kedaulatan serta integritas negara, wilayah, dan bangsa Indonesia."
Lewat konsep AGHT-nya militer bisa dengan mudah merumuskan siapa "kawan" dan
"lawan". Dengan begitu akan dengan mudah membungkam setiap aspirasi yang
bernada kritis baik terhadap pemerintah maupun pimpinan militer. Apalagi
dalam konteks Indonesia, antara kepala pemerintahan dan panglima tertinggi
militer berada dalam satu lembaga kepresidenan. Jadi, sempurnalah otoritas
dan kewenangan menentukan "lawan" dan "musuh" itu dalam satu tangan:
presiden.
Di samping itu, konsepsi tentang negara integralistik yang menyatukan rakyat
dengan negara berdampak pada subordinasi seluruh kepentingan dan aspirasi
rakyat pada negara yang sudah diidentifikasi dengan kekuasaan militer. Dalam
konsep ini sulit dibedakan mana militer yang merupakan bagian dari negara
dengan militer yang dikuasai negara.
Kosepsi kenegaraan seperti itu akan membenarkan militer untuk berperan atas
nama negara dan rakyat sekaligus. Di sinilah letak akutnya hubungan antara
peran militer dengan otoritarianisme negara dan dengan demikian berarti
demokrasi yang sejati otomatis akan menjauh dari peran sosial politik
militer.
Dalam perspektif ini, demokratisasi bisa dibangun dengan tiga cara.
Pertama, penghapusan Dwifungsi TNI dalam bentuk: (1) penarikan unsur militer
dari jajaran birokrasi; (2) penghapusan fungsi centeng dalam sektor ekonomi;
(3) reformasi doktrin militer seperti Sapta Marga dan Sumpah Prajurit.
Kedua, mereformasi doktrin TNI. Loyalitas TNI sejatinya bukanlah kepada
pemerintah, tetapi kepada negara dan bangsa secara keseluruhan.
Dan, ketiga, perlu adanya pembaruan kurikulum pendidikan militer agar sesuai
dengan paradigma sistem pertahanan sekarang yang tidak lagi berorientasi
pada pertahanan secara fisik. Sejak berakhirnya perang dingin, paradigma
pertahanan negara beralih dari "mempertahankan diri dari kekuatan lawan"
menjadi "mempertahankan diri agar tidak terjerumus pada tindakan melanggar
hak asasi manusia (HAM)."
Abd Rohim Ghazali, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia
Search :










Berita Lainnya :
•TAJUK RENCANA
•Bakti bagi "Ibu Pertiwi"
•REDAKSI YTH
•Iwa Kusuma Sumantri, Penggagas Proklamasi
•Kemerdekaan yang Memerdekakan
•Mengenang Dubes Palar dan Diplomasi Indonesia
•Merdeka?
•''Quo Vadis'' Indonesia?
•Reformasi Hubungan Sipil-Militer sebagai Prasyarat Demokratisasi
•POJOK