[Nasional-m] ''Quo Vadis'' Indonesia

Ambon nasional-m@polarhome.com
Fri Aug 16 00:48:01 2002


Kompas
16 Agustus 2002


''Quo Vadis'' Indonesia?
* Bahaya Neokolonialisme
William Chang

dok kompas/johnny tg

SEORANG teman asal Eropa Barat berseloroh, "Bagaimanakah kalau penduduk
negaraku dipindahkan ke Pulau Kalimantan (bagian Indonesia) dan seluruh
penduduk Kalimantan ke negara kami? Kita lihat perkembangan Kalimantan
setelah seperempat abad kemudian! Kalimantan takkan kalah dari Eropa Barat."
Saya tak serius menanggapi pernyataan itu, meski hati kecil tertawa sedih.
Kebenaran seloroh teman itu masih harus dibuktikan. Ini tidak seluruhnya
mustahil, sebab wajah Hongkong berubah setelah dikelola Inggris selama satu
abad. Mungkinkah sebuah kontrak sosial baru bisa dilaksanakan? Pro dan
kontra akan muncul menanggapi hal ini.Sebagian negara kita memang tak
terurus. Banyak daerah di Republik yang telah merdeka 57 tahun ini seakan
menjadi daerah tak bertuan. Banyak sungai berantakan, jalan raya hancur
ditelan ombak laut, kekayaan alam digarap sesuka hati, penyelundupan
kekayaan hutan ke negara lain, distribusi solar kembang kempis, dan jumlah
pengemis usia anak-anak hingga kakek-nenek terus bertambah. Pembangunan liar
tumbuh subur (vila-vila mewah di kawasan Puncak). Izin mendirikan bangunan
(IMB) hanya berlaku untuk mereka dan bangunan tertentu. Pemerintah akan
mengincar bangunan mahal yang akan mempertebal kocek mereka.
Pembangunan fisik yang selama ini dibanggakan "penguasa" ("pengusaha")
Republik ini ternyata belum menganut prinsip keadilan. Konon, sejumlah
"jenderal" pernah berubah menjadi "konglomerat" dan pemilik kawasan hutan.
Perbedaan kondisi hidup antara kota dan desa amat mencolok. Apa pun yang
diperlukan, umumnya dapat ditemukan di kota, sementara itu orang-orang dari
desa harus ke kota. Akibatnya, arus urbanisasi kian meningkat. Keadaan ini
berbeda dari banyak daerah maju di dunia, seperti kawasan Eropa Barat. Orang
desa tidak perlu/harus pindah ke kota, sebab di desa dapat terpenuhi segala
kebutuhan dan tersedia lapangan kerja bagi masyarakat desa.
Terbengkalainya pembangunan dalam negara ini terbentur pada sejumlah alasan
klasik seperti sumber daya manusia yang belum memadai (padahal banyak orang
mampu tidak diberi peran semestinya karena birokrasi korup warisan rezim
Orde Baru-Orba), sumber dana masih kurang (padahal korupsi kian merajalela),
negara terlampau luas (padahal otonomi daerah yang diterapkan tidak dipantau
serius), peran aktif rakyat dianggap kurang (padahal mereka menjadi korban
pembangunan fisik yang superfisial). Kalau begitu, sebenarnya di mana letak
terbengkalainya negara kita? Pertama-tama pada pemerintah, birokrasi, dan
sistem kontrol yang memang lemah. Hukum tidak ditegakkan seadil-adilnya.
Aparat pemerintah sebagian sudah waktunya dipensiunkan dan diganti generasi
lain yang belum terpolusi.
***
LALU, Indonesia quo vadis? Pertanyaan ini muncul sebagai tanggapan atas
seruan Ketua MPR Amien Rais dalam Muktamar XII Pemuda Muhammadiyah, 7 Juli
2002 di Surabaya (Kompas, 8/7/2002). Kapan akan teratasi rentetan krisis
multidimensi kita, seperti ketidakpuasan sejumlah daerah yang terarah pada
disintegrasi nasional (Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam), konflik-konflik
yang bertopeng etnis, agama, dan ras serta citra buruk dalam bidang korupsi
di mata dunia?
Jawaban atas pertanyaan itu terkait motivasi dasar perjuangan para "arsitek"
Republik ini. Cita-cita dasar apakah yang tersembunyi di balik perjuangan
untuk meraih kemerdekaan? Perjuangan kemerdekaan pada hakikatnya ingin
meniadakan segala bentuk penjajahan (diskriminasi) yang menginjak dan
mengisap kemanusiaan. Hidup dalam kemerdekaan termasuk unsur konstitutif
manusia, meski makna kemerdekaan sering diselewengkan dan disalahgunakan.
Bahwa para perancang Republik ini ingin meniadakan benih penjajahan adalah
motivasi awal dan dasar seluruh perjuangan bangsa.
Cita-cita dasar itu tidak cukup hanya diingat, dibicarakan, dan
diperdengarkan, tetapi perlu diwujudnyatakan, sebab cita-cita ini merupakan
tolok ukur untuk memantau keadaan politik, sosial, ekonomi, dan budaya
bangsa. Sejak pertengahan rezim Orde Baru hingga kini, barometer kehidupan
bangsa kita yang tersembunyi ini dilupakan oleh penguasa yang berubah status
menjadi "pengusaha" yang terjun dalam dunia permainan kuasa. Akibatnya telah
dan akan terasa kini dan di masa depan. Nilai dasar kemanusiaan diabaikan,
bahkan luput dari perhatian. Yang dipentingkan beberapa mantan penguasa
Republik ini adalah perpanjangan kuasa dan penumpukan harta kekayaan.
Ketidakadilan sosial merajalela. Yang kaya menjadi lebih kaya, yang miskin
akan mengalami kemiskinan hingga beberapa keturunan.
Masa depan negara bangsa kita terkait keadaan kemarin dan hari ini.
Keterpurukan bangsa dalam pelbagai dimensi hidup memang memprihatinkan. SDM
masih lemah. Belum semua pihak mengecap pendidikan formal. Keadaan
pendidikan masih memprihatinkan. Pentingnya mutu pendidikan jarang
diagendakan. Unsur ideologi penguasa masuk ke dunia pendidikan formal, tanpa
menyadari proses pembohongan generasi muda yang lahir sejak dan setelah
Orba.
Arah bangsa perlu bertitik tolak dari realitas sosial. Dan, bangsa kita
tidak perlu terlampau banyak bercita-cita atau berkeinginan tinggi, sebab
realitas sosial yang pahit dan sakit belum sungguh dihadapi dan
diselesaikan. Mencita-citakan sesuatu yang indah dan tinggi akan membuat
generasi sekarang melupakan tugas utama penguasa sekarang, seperti
pemberantasan korupsi, penegakan hukum positif secara adil, mewujudkan
kesejahteraan bangsa dari Istana Presiden hingga daerah pedalaman di luar
ibu kota Jakarta.
***
YANG paling membahayakan negara dan bangsa kita adalah kebangkitan
neokolonialisme. Pembersihan dunia hukum yang bersifat diskriminatif belum
sungguh-sungguh dilaksanakan. Orang-orang tertentu (kadang dengan
rasionalisasi artifisial) dianggap "kebal hukum", sementara itu si pencuri
ayam dan sandal harus meringkuk beberapa bulan di penjara. Pemegang duit
sanggup mempengaruhi pemegang hukum untuk mengubah pasal-pasal dalam KUHP.
Dunia hukum menyakitkan dan bukan lagi tempat untuk mencari keadilan.
Politik adu domba (divide et impera) masih diterapkan di beberapa kawasan di
Republik ini. Memang, tidak sedikit warga kita mudah dihasut atau diadu
domba. Masyarakat sederhana dan kecil tampaknya agak mudah "dibeli" oleh
mereka yang berkepentingan, yang berkuasa dan berduit. Banyak orang kecil
dan sederhana bertindak di luar kesadaran. Mereka hanya ikut-ikutan.
Akibatnya, menyedihkan! Mereka yang akan menanggung ekor perbuatannya,
sedangkan yang "menggunakan" mereka dapat cuci tangan, bahkan luput dari
tuduhan apa pun. Kerja sama dalam bentuk pinjam uang luar negeri (seperti
IMF, World Bank) bukankah termasuk bagian "neokolonialisme" yang tampaknya
hanya sanggup mengenyangkan sejumlah orang dalam negeri ini? Utang
membengkak, rakyat kecil tetap miskin!
Beberapa langkah bisa ditempuh menghadapi gejala neokolonialisme yang masih
hidup dan berkembang di negara kita.
Pertama, penguasa, pejabat, pegawai negara yang masih bermental
"kontra-reformasi" perlu segera dilengserkan dari kursinya, diganti mereka
yang dianggap bersih, berdedikasi, berjiwa reformatif, dan rela berkorban
demi perbaikan keadaan negara. Lembaga yudikatif perlu bekerja ekstrakeras
dalam penanganan kasus-kasus yang dihadapi oleh mereka yang sedang dalam
tampuk kekuasaan. Tanpa kerja keras dan keinginan untuk menegakkan keadilan
(diimbangi dengan penghargaan yang layak), mustahil kasus-kasus pelanggaran
hukum di negara dapat diselesaikan tanpa bertele-tele. Segala bentuk
kepentingan politis disingkirkan dari arena peradilan. Sejak reformasi
hingga kini, sudah berapa kasus besar di Republik ini sungguh dituntaskan?
Kurang tenaga ahli?
Kedua, diperlukan pejabat bersih (malu dan merasa bersalah jika berkorupsi!)
dan berwibawa, sebab banyak pegawai dan aparat pemerintah kini "salah
tingkah" dan "hilang wibawa". Anggota Polantas, misalnya, hanya duduk dan
berteduh di bawah pondok yang didirikan di persimpangan jalan. Mereka
omong-omong, baca koran, dan membiarkan pengendara melanggar peraturan lalu
lintas. Polisi hutan membiarkan penduduk membakar gambut di musim kemarau
hingga menimbulkan polusi yang mendatangkan penyakit Infeksi Saluran
Pernapasan Atas (ISPA). Pemda kewalahan dan tak berwibawa menangani
kasus-kasus yang sebenarnya merugikan masyarakat banyak. Penanganan sampah
masih menjadi sebuah national issue. Ke manakah dana retribusi sampah dan
mekanisme kerja apa yang dianut selama ini? Badan-badan usaha milik negara
seperti PLN dan PAM jarang yang tidak rugi. Para pejabat masih bisa
mempertahankan kursi, meski laporan pertanggungjawabannya ditolak. Aneh bin
ajaib, tetapi nyata!
Ketiga, perbaikan keadaan politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan bangsa
takkan terwujud dalam satu tahun atau satu generasi, tetapi membutuhkan
waktu dan tenaga tidak sedikit. Ini harus dimulai dari pihak pemerintah dan
penguasa di Republik ini, sebab mereka menerima tanggung jawab utama dan
pertama untuk mengurus negara ini. Tiap bulan mereka menerima pembayaran
dari kas negara dan rakyat. Rakyat umumnya akan berpartisipasi bila melihat
pemerintah sungguh-sungguh
ingin memperbaiki bangsa dan negara. Yang menyedihkan, justru sejumlah
aparat pemerintah mulai memelopori pelanggaran aturan permainan. Dengan
berpakaian dinas, misalnya, aparat pemerintah mendidik rakyat melanggar
aturan lalu lintas.
Terlepas dari aneka bentuk "keberhasilan" yang seharusnya dicapai selama
masa kemerdekaan, generasi sekarang masih perlu menyadari bahaya laten
neokolonialisme yang tetap akan mencekam hidup dan perkembangan bangsa kita.
Memasuki HUT ke-57 RI, kita perlu memiliki mentalitas dan sikap yang sungguh
reformatif, antikolonial, antikorupsi, dan antidiskriminasi!
William Chang, Pengamat sosial, tinggal di Pontianak
Search :










Berita Lainnya :
•TAJUK RENCANA
•Bakti bagi "Ibu Pertiwi"
•REDAKSI YTH
•Iwa Kusuma Sumantri, Penggagas Proklamasi
•Kemerdekaan yang Memerdekakan
•Mengenang Dubes Palar dan Diplomasi Indonesia
•Merdeka?
•''Quo Vadis'' Indonesia?
•Reformasi Hubungan Sipil-Militer sebagai Prasyarat Demokratisasi
•POJOK