[Nasional-m] Arief Budiman: "Nasionalisme Rentan Terhadap Manipulasi"

nasional-m@polarhome.com nasional-m@polarhome.com
Mon Aug 19 01:24:01 2002


Arief Budiman: "Nasionalisme Rentan Terhadap Manipulasi"

Arief Budiman seperti tak pernah berhenti bersikap kritis terhadap pemerintah.
Sosiolog yang kini mengajar di Universitas Melbourne, Australia, ini sudah sejak
masa Soekarno menjadi pengkritis kebijakan. Semasa Soeharto, kabarnya ia
mendapat perhatian khusus dari para intelijen karena khawatir pada sepak
terjangnya mengkritisi pemerintahan Orde Baru. Demikian pula pada waktu
pemerintahan diwariskan pada B.J. Habibie, yang disebutnya sebagai perpanjangan
Orde Baru.

Saat pemerintahan berganti dan dipimpin koleganya, Abdurrahman Wahid atau Gus
Dur, Arief tak juga berhenti bicara. Pernah, sekali waktu, namanya jadi buah
bibir media massa karena kritiknya pada Gus Dur untuk tidak lebih banyak membuat
musuh sebagai upaya untuk bisa bertahan. "Gus Dur harus berkoalisi," katanya
ketika itu.

Berita terbaru tentang mantan dosen di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
adalah ketika ia menyatakan kritik pedasnya terhadap kepemimpinan Megawati
Sukarnoputri dan PDI Perjuangan yang dianggapnya sebagai partai yang rusak dan
kacau. Ia pun dihujani kritik, bahkan makian.

Dalam diskusi terbatas di sebuah jaringan surat eklektronik, beberapa simpatisan
partai berlambang banteng bulat itu bahkan menyebut alumnus Harvard University
ini sebagai tidak nasionalis karena terlalu banyak bicara dan mengkritik sambil
memilih berada di luar negeri.

Menanggapi itu, kakak kandung Soe Hok Gie dan terlahir dengan nama Soe Hok
Djin, ini tenang-tenang saja. "Pengertian nasionalisme rentan terhadap
manipulasi.
Harus dilihat siapa yang menggunakannya dan untuk kepentingan apa," ujarnya.
Lalu adakah kritiknya yang sambung-menyambung kepada setiap pemerintahan itu
sebagai bentuk nasionalismenya? "Saya tidak tahu. Mau diangap begitu silakan
saja," katanya enteng kepada Yostinus Tomi Aryanto dari Tempo News Room
dalam percakapan melalui sambungan telepon internasional Jakarta-Melbourne,
Rabu (14/8) pagi. Petikannya:

Apa sebenarnya makna nasionalisme buat Anda?

Ada cerita saat perang Vietnam berkecamuk, pemerintah Amerika
Serikat meminta kepada seluruh pemuda, baik kulit putih maupun
kulit hitam, berjuang atas nama nasionalisme dengan cara menjadi
tentara dan bertempur. Tetapi ketika perang usai dan giliran harus
membagi rezeki, para pemuda kulit hitam ini diminta untuk tetap
bersaing. Lalu nasionalismenya di mana? Mereka marah. Pada
waktu perang dan dibutuhkan membela bangsa, mereka diminta
nasionalismenya. Tetapi untuk urusan bagi-bagi rezeki, nanti dulu.
Jadi nasionalisme ini sesuatu yang fleksibel. Kadang-kadang dipakai
untuk sendiri, tetapi bisa juga dipakai untuk kepentingan bangsa
seluruhnya. Jadi, kalau mau menganalisa nasionalisme, harus dilihat
pada situasi, tempat dan waktu, serta siapa yang menggunakannya.
Baru di situ bisa kita lihat apa arti nasionalisme tersebut.

Secara teoritis, nasionalisme adalah persatuan secara kelompok dari
suatu bangsa yang mempunyai sejarah yang sama, bahasa yang
sama, dan pengalaman bersama. Tetapi definisi seperti itu jarang
terjadi. Yang biasa terjadi adalah pemakaian secara spesifik
pengertian nasionalisme itu. Jawaban seperti ini memang jadi
terdengar aneh.

Artinya, nasionalisme rentan terhadap manipulasi?

Sangat rentan manipulasi. Kadang dipakai untuk macam-macam hal.
Maka harus dilihat kasus per kasus.

Dalam konteks Indonesia kini, misalnya dikaitkan dengan amandemen dan
penolakannya oleh sejumlah kalangan yang juga mengatasnamakan
nasionalisme, apakah relevan?

Bisa relevan, bisa juga tidak. Artinya, seakan-akan nasionalisme
adalah negara kesatuan. Tetapi dalam negara kesatuan kan ada
eksploitasi. Jakarta mengambil terlalu banyak dan daerah tidak
kebagian. Sekarang mereka minta jatah dan tetap tidak dipedulikan.
Jelas tidak ada nasionalisme di situ. Lalu mereka yang
memperjuangkan nasionalisme berpendapat, "justru mungkin
Republik Indonesia itu akan lebih dipersatukan bila menjadi negara
serikat atau federal state." Di Australia kuat sekali nasionalismenya.
Karena tiap negara bagian punya pemerintahan sendiri, seperti juga
di Amerika, jadi sama sekali tidak benar jika Republik Indonesia
dipertahankan hanya kalau berbentuk negara kesatuan. Karena
sebenarnya masalahnya adalah kepentingan. Apakah kepentingan
dari banyak orang terpelihara? Dalam banyak kasus, kepentingan
lebih banyak orang itu akan semakin terpelihara jika negara
berbentuk federal, di mana kesatuan yang berpusat di Jakarta itu
tidak perlu lagi. Apalagi Indonesia adalah negara yang besar,
penduduknya banyak. Saya kira, Indonesia bisa jauh lebih bertahan
bila kita menjadi negara serikat. Dan mungkin pada saat itu,
misalnya, negara bagian Sumatera yang lebih kaya bisa
menyumbang ke Jawa yang miskin melalui pajak. Itu justru
nasionalisme yang benar. Subsidi diatur melalui koordinasi yang
disebut pemerintah federal. Itu nasionalisme yang lebih murni.

Menurut Anda, apakah penyederhanaan nasionalisme dalam bentuk
negara kesatuan ada unsur manipulasi tadi?

Motivasinya, Jakarta ingin mempertahankan hegemoninya terhadap
daerah. Lalu, seakan-akan, mereka yang mau bebas dan tidak mau
tunduk pada Jakarta dianggap melawan nasionalisme. Itu kan
pengatasnamaan. Seakan-akan Jakarta adalah seluruh Republik
Indonesia. Bahwa Jakarta itu mewakili kepentingan Republik
Indonesia, itu jelas. Tetapi pengatasnamaan itu dilakukan hanya
untuk mendapatkan untung bagi sebagian elite di Jakarta.

Apakah upaya amandemen UUD cukup menunjukkan semangat
nasionalisme yang murni, sebagaimana Anda sebut tadi?

Pada umumnya memperbaiki yang lama. Pertama, pemilihan
presiden langsung. Itu suatu hal yang baik. Hanya masih ada
masalah karena presiden hanya bisa dicalonkan oleh partai.
Harusnya ada juga peluang untuk pencalonan presiden, juga
gubernur atau bupati secara independen. Sebab itu beresiko
terjadinya oligarki. Tetapi bahwa itu dipilih rakyat secara langsung,
sudah merupakan kemajuan. Hanya saja buntutnya masih dipegang
oleh orang-orang yang punya vested interest dalam partai. Lalu
bahwa (wakil) militer akan dihapuskan dari parlemen pada 2004, itu
kemajuan. Memang sudah seharusnya militer profesional. Dan jika
mau berpolitik, secara pribadi saja. Tentang Piagam Jakarta (Pasal
29 UUD 1945 tentang agama -red.) juga kemajuan. Sebenarnya
bukan kemajuan, tetapi tidak terjadi kemunduran. Karena yang
dipertahankan adalah yang lama. Jadi secara keseluruhan terjadi
progresi. Buat saya ini memberikan kita tambahan optimisme.

Apakah relevan bila ada kekhawatiran bahwa konstitusi baru akan
bertentangan dengan yang dikehendaki para pendiri bangsa?

Saya kira tidak. Karena pada dasarnya konstitusi itu selalu
diperbaharui. Dan para pendiri bangsa kita juga tidak jelas. Pertama,
orangnya juga sudah tidak ada. Sehingga tidak bisa diklaim bahwa
UUD 45 adalah keinginan dari pendiri bangsa kita. Jadi yang harus
menentukan adalah rakyat sendiri. Misalnya kalau ada perubahan
konstitusi yang mendasar, mestinya ada semacam referendum untuk
menentukan hal-hal yang kontroversial. Ingat juga bahwa UUD 45
yang dibuat para pendiri bangsa itu cocok untuk keadaan waktu itu,
belum tentu cocok untuk keadaan sekarang. Waktu itu keadaan
kacau dan darurat sehingga butuh pemerintah yang kuat. Sekarang
keadaan sudah berubah. Soal hak asasi manusia juga waktu itu
belum masuk karena memang belum ada deklarasi HAM, yang baru
keluar 1948 dan baru masuk di Undang-Undang Dasar Sementara
1950. Lalu apakah itu bisa disebut mengkhianati pendiri bangsa?
Sebab pada waktu juga terjadi perdebatan mengenai HAM yang
dianggap bisa berbahaya karena orang bisa berlaku seenaknya. Lalu
ada konsep negara integralistik yang diusulkan Soepomo.

Jadi sebenarnya konstitusi itu merupakan sesuatu yang dinamis dan
mencerminkan kepentingan rakyat pada suatu waktu tertentu.
Kepentingan itu berubah karena waktu juga berubah dan tempat pun
berubah, lingkungan berubah. Saya kira, semua harus dikembalikan
pada rakyat. Jadi tidak bisa dikatakan semua itu tak boleh diubah
dengan alasan bertentangan dengan keinginan para pendiri bangsa.
Pendiri bangsa kan dealing-nya dengan zaman mereka dulu. Itu
sama sekali tidak logis.

Salah satu arus terkuat anti amandemen itu dari PDI Perjuangan, terutama
para senior dari eks-Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Anda melihat ada
hubungannya?

Saya tidak tahu juga. Apakah orang seperti Roeslan Abdulgani juga
ikut menolak? Kalau Amin Arjoso kan tidak bisa dibilang senior di
PNI. Saya kira, kalau itu mewakili kepentingan PDIP, kelompok
Taufik Kiemas kan juga menolak. Megawati sendiri mula-mula kan
menolak pemilihan presiden langsung. Belakangan dia menerima,
saya tidak tahu kenapa. Saya kira, kalau 2004 Megawati dicalonkan
lagi, apalagi jika bisa ada calon independen, suah pasti suara untuk
dia akan berkurang, kalaupun dia menang lagi. Alasannya, kinerja
dia selama ini sama sekali tidak meyakinkan. Apalagi dia
gusur-gusur orang-orang miskin pendukung fanatik PDIP, di Jakarta,
di Surabaya. Karena itu PDIP hanya melayani kepentingan sektarian,
sangat partisan. Bahwa dia anti perubahan UUD itu lebih banyak
karena kepentingan partainya dan Megawati yang dilindungi lebih
daripada para senior PNI. Sebagian dari para senior itu adalah
orang-orang intelek yang matang dan, saya kira, sudah tidak akan
terpengaruh pada kepentingan sektarian dan partisan. Yang mereka
pikirkan tentu lebih banyak bagaimana mengharumkan namanya
dalam sejarah dengan lebih punya komitmen pada bangsa, melebihi
komitmennya pada kepentingan pribadi dan kelompok.

Megawati, melalui Hari Sabarno, juga menjadi motor yang anti-otonomi
daerah. Menurut Anda, mengapa?

Megawati, dalam hal otonomi daerah dan negara federasi, itu
menunjukkan memang kapasitas intelektual dia terbatas sekali.
Sehingga dia hanya mewariskan bahwa negara Indonesia itu Bung
Karno dan negara kesatuan. Lalu dia tidak bisa terjemahkan secara
sophisticated sehingga dia menganggap otonomi daerah akan
memperkecil volume atau kualitas negara kesatuan. Kalau menurut
saya itu saja dasarnya. Saya kira Megawati tidak punya dasar yang
lebih canggih daripada itu. Bagi dia hanya ada negara kesatuan,
tidak boleh ada otonomi daerah, apalagi negara federal. Kalau dengar
negara federal dianggap sudah berkhianat. Dan disinilah
kesesuaiannya dengan kepentingan TNI. Kalau militer kan alasannya
mereka sudah banyak berkorban dengan prajurit yang tewas
mempertahankan negara kesatuan. Lalu kenapa dipecah-pecah lagi.
Dulu memang mereka menolak negara federal pada zaman Republik
Indonesia Serikat (RIS). Tetapi itu dulu kan yang dipakai oleh
Belanda untuk pemecah belah. Nah, sekarang yang buat kita sendiri.
Belandanya juga tidak ada lagi. Dalam hal ini militer dan Megawati
setara lah. Dua-duanya punya mitos-mitos yang tidak bisa ditawar
tanpa penjelasan yang baik.

Dalam konteks itu semua, apakah jadi relevan untuk bicara nasionalisme
sekarang ini?

Rumusan umum nasionalisme adalah di mana kita mengutamakan
kepentingan bangsa di atas segalanya. Dalam definisi itu, apapun
bisa masuk. Kalau argumen negara kesatuan adalah sesuatu yang
penting untuk mengembangkan bangsa ini, ya itu nasionalisme.
Tetapi kalau ada orang yang mengatakan negara federal itu akan
lebih baik bagi kepentingan meningkatkan kesejahteraan kita semua
sebagai bangsa, itu juga nasionalisme. Termasuk seandainya kita
berperang melawan Australia, kalau itu berguna memperbaiki
bangsa, itu nasionalisme. Tetapi kalau itu tidak berguna, ya tidak
nasionalisme. Jadi nasionalisme adalah tujuan yang bisa dicapai
dengan macam-macam cara. Dalam hal amandemen, pertanyaannya
bukan pada apakah itu akan mengubah atau tidak mengubah
konstitusi, tetapi apakah perubahan itu baik bagi bangsa ini atau
tidak.

Ukurannya?

Pada cara yang ditempuh. Itu akan memperbaiki kinerja bangsa ini
atau tidak? Jadi nasionalisme itu ada tujuannya, sedangkan
substansinya dicapai melalui cara-cara yang dipakai.

Dalam soal pengusiran tenaga kerja kita dari Malaysia, apakah
nasionalisme juga relevan?

Itu lebih banyak merupakan kesalahan diplomasi kita. Juga
kesemrawutan Departemen Luar Negeri dan pemerintah Indonesia
dalam mengurus warganya di luar negeri. Tanpa nasionalisme pun
kita sudah berkewajiban membela warga negara kita. Saat ini warga
negara kita pergi sebagai orang miskin yang tidak bisa hidup di
negeri ini. Dari sini sudah bisa dipersoalkan, kenapa bangsa kita
sampai membuat orang-orang itu cari makan ke luar negeri. Lalu
secara menyakitkan mereka diusir. Kita harus mengerti bahwa
Malaysia juga mengalami kesulitan. Tetapi yang perlu kita salahkan
adalah kenapa kita tidak bisa memberi pekerjaan pada mereka?
Kalau kita mau membanggakan bangsa kita, itu dulu yang perlu
diurus daripada pengusiran oleh Malaysia. Memang pengusiran oleh
Malaysia itu agak kasar, saya juga tersinggung. Tetapi kalau kita
mencoba menempatkan diri di sisi sebaliknya, memang TKI kita
menjengkelkan sih. Mereka datang berbondong-bondong, diusir, balik
lagi. Begitu berulang-ulang. Lama-lama mereka (Malaysia, red.)
marah juga. Coba kalau Indonesia lebih kaya dari Malaysia dan
menghadapi hal serupa, pasti sama saja reaksi kita. Sehingga kalau
dengan kasus ini lalu menimbulkan kemarahan terhadap Malaysia
dan mau hajar mereka, saya kira kok seperti anak kecil saja.
Masalahnya sekarang, kasih kerjaan dong pada mereka. TKI itu juga
tidak mau ke sana kalau di sini ada pekerjaan. Bahkan kalau di sana
pun mereka cita-citanya akan mudik lagi kalau sudah bisa
kumpulkan uang, maka nasionalisme justru ada pada para TKI itu.
Mereka mau menolong saudaranya, kirim uang, lalu balik. Terutama
orang Jawa yang menganggap tempat kelahiran tetap sebagai
kampungnya. Perasaan-perasaan yang sedikit sentimentil itulah
sesungguhnya juga nasionalisme.

Adakah perasaan sentimentil juga Anda rasakan? Anda sendiri kan orang
Salatiga?

Saya mau pulang juga. Saya ini capek ngomong bahasa Inggris.
Mimpi pun harus pakai bahasa Inggris. Bagi saya tanah air itu,
meskipun saya bukan patriot, bukan Indonesia juga tidak masalah.
Hanya saja, kalau saya tetap ingin pulang itu karena teman-teman
saya juga di Indonesia. Kalau ngomong bahasa Indonesia rasanya
lebih puas. Kalau ngomong lelucon, atau bahkan ngomong jorok, itu
rasanya lebih plong. Emosi semua keluar. Itu yang membuat saya
selalu rindu Indonesia. Itu bukan patriotisme atau nasionalisme,
tetapi karena saya lahir di Indonesia, kecil di Indonesia, dan
teman-teman saya ada di sini semua, bahasa saya ketika pertama
kali menyatakan emosi adalah bahasa Indonesia. Oleh karena itu
saya nanti, pada hari tua, lebih senang saya di Indonesia. Tetapi
kalau itu kemudian disebut nasionalisme, ya silakan. Tetapi kalau
saya warga negara Indonesia yang lahir di Indonesia, kemudian
besar di Australia atau di Arab, akhirnya saya ngomong Arab lebih
fasih, mungkin nasionalisme saya akan lebih ke Arab. Hal-hal itu
bagi saya bukan mitos, tetapi merupakan sebuah pengalaman yang
kongkrit dari sejarah hidup kita.

Dengan semua tadi, apakah masih ada harapan bagi Indonesia ke depan?

Saya melihatnya sebagai pergerakan sejarah. Bahwa Indonesia,
saya mengalami zaman Sukarno, Soeharto, juga masa reformasi,
saya kira, pada zaman Soeharto saja saya masih punya harapan.
Sekarang Soeharto sudah jatuh. Memang kita masih tersangkut
pada Megawati atau Gus Dur. Tetapi progresi yang terjadi banyak
sekali. Jadi harapan saya sekarang lebih besar daripada pada masa
Soeharto. Misalnya, pers lebih bebas, demokrasi ada meskipun
masih kacau. Jadi harapan saya lebih besar. Sekarang semua lebih
mungkin. Hanya saja masalah memang masih segudang.