[Nasional-m] Sebagian Besar Politisi Rabun Ayam

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue Aug 20 01:39:03 2002


SUARA PEMBARUAN DAILY

Sebagian Besar Politisi Rabun Ayam

YOGYAKARTA - Bangsa Indonesia tidak punya negarawan dan sebagian besar
politisi rabun ayam, karena hanya bisa melihat yang dekat-dekat saja.
Demikian diungkapkan Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof Dr
Syafii Maarif, Jumat (16/8) malam di Yogyakarta.
Dia memilih hadir di tirakatan HUT RI di kampungnya Ponowaren, Nogotirto
Gamping, Sleman bersama masyarakat setempat. Walaupun sebagai salah satu
elite negeri ini dia diundang untuk merayakan di Istana Merdeka bersama
Presiden dan para elite lain.
Ketika didaulat untuk menyampaikan renungan berkaitan 57 tahun merdeka,
dengan kalimat bersahaja dia mengawali pujian bagi pada pendiri republik.
Nama-nama Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hadjar Dewantara, HOS Tjokroaminoto,
Sjahrir, dan Agus Salim disebutnya.
Kata dia, kelebihan tokoh pergerakan itu adalah penguasaannya pada bahasa
asing, sehingga bisa untuk mengakses pemikiran besar dunia. Walaupun anak
jajahan, mereka adalah warga negara universial dunia.
Kondisi yang sekarang berbeda, katanya. Para politisi yang intelektual
sekarang tidak banyak. Itu kelemahan, tapi juga risiko dari sebuah penidikan
yang bersifat massa. Kalau zaman Belanda yang sekolah sedikit, hanya
kalangan elite, dan anak pejabat, anak orang kaya.
"Kita tidak mau pendidikan diminati kalangan terbatas, sehingga setelah
proklamasi kita ciptakan sistem pendidikan massal, dan memang besar
artinya," kata dia.
Jika pada tahun 1945 itu tingkat buta huruf masih 90 persen, sekarang yang
melek huruf sudah 85 persen. "Dari segi ini kemerdekaan kita memang
sangat-sangat bermakna," kata dia.
Pembangunan transportasi juga bagus, dari Bali ke Aceh tersedia transportasi
darat. "Kita sudah menciptakan Negara Kesatuan walaupun kini sedang terancam
oleh gerakan disintegrasi yang jika tidak hati-hati bisa terjadi berbagai
hal," kata dia.
Kalau melihat pemimpin bangsa, baik yang tahun 50-an maupun sekarang,
sebenarnya mereka berasal dari kelas tinggi. Sayangnya tidak akur satu sama
lain. Puncaknya terjadi pada Soekarno-Hatta yang pernah menjadi dwitunggal,
tetapi karena ada perbedaan pandangan tentang demokrasi, pembangunan, sikap
terhadap komunisme akhirya terpecah menjadi dwi tanggal.
Memasuki 57 tahun merdeka bangsa ini sedang penuh oleh luka-luka sejarah
yang sampai sekarang belum terobati. Indonesia memiliki Rp 2,4 miliar hutang
sewaktu Bung Karno diturunkaan, sekarang utang menjadi US$ 141 miliar. Jadi
luar biasa. Penduduk sudah tiga kali lipat, tingkat pengangguran 41 juta.
Yang dihadapi sekarang disintegrasi, seperti persoalan Aceh yang sebenarnya
adalah modal adanya RI. Aceh adalah daerah yang paling singkat dijajah. Baru
menyerah betul tahun 1912, atau hanya 30 tahun dijajah. Kebanggaan Aceh
terhadap masa lampaunya luar biasa.
Pendekatan pemerintahan Orde Baru yang dilakukan secara miiter dinilai
sebuah kesalahan dan mengakibatkan tidak pernah selesai.
Menurut guru besar ilmu sejarah sosial ini, Aceh tidak bisa dikalahkan
tetapi bisa dimusnahkan. Tapi kalau Aceh itu musnah atau lepas dari RI, maka
saya rasa Republik ini akan mengalami nasib yang hampir sama. Masalah ini
sangat serius, juga Papua merasa 36 tahun ikut RI keadaan mereka tidak
berubah.
Di Timika, Papua keadaan memang seperti California yang dipindahkan ke sana,
tapi satu kilometer dari situ masyarakat tetap seperti keadaan puluhan tahun
yang lalu.
Hal ini terjadi karena prinsip sila kelima diterlantarkan, dan dikhianati.
Para pemimpin hanya secara retorik menyatakan akan setia kepada Pancasila
tapi dalam praktek tidak.
Rabun Ayam
Sekarang agak sulit dan menjadi permasalahan besar untuk bisa mempertautkan
dan menganyam kembali Republik yang berantakan ini. "Tidak punya negarawan,
ada satu dua politisi yang baik tapi sebagian besar politisi kita adalah
politisi rabun ayam, karena yang nampak di depan mata hanyalah yang
dekat-dekat saja," Kata dia. Palingyang dipikir bagaimana menghadapi 2004
dan akan duduk di mana setelah itu.
Era Otonomi daerah diharapkan dapat membuat daerah tenang. Tapi karena sikap
mental terlanjur rusak, korupsi saat ini justru melebar ke daerah,
melahirkan raja-raja lokal. Tidak hanya Gubernur dan Bupati, sekarang DPRD
juga ganas sekali.
"Dengan adanya otonomi daerah sebenarnya secara de fakto, secara riil negara
kita bukan lagi negara kesatuan. Secara de jure, secara hukum masih bernama
NKRI, tapi dalam kenyataannya tidak begitu," kata dia.
Beberapa daerah yang PAD-nya tinggi,dan ada kabupaten yang menggaji anggota
DPRD Rp 15 juta per bulan. Jumlah itu sama dengan gaji 6 bulan Profesor yang
sudah botak kepalanya.
Citra politisi sangat merosot, terjadi krisis negarawan, dan hukum masih
pilih kasih. Memang ada Tommy, Bob Hassan dan Akbar Tanjung, yang diadili
dan divonis. Tapi yang merampok uang negara trilyunan umumnya malah bebas,
ini sebuah ironi.
Konglomerat memang perusahaannya hancur, tetapi orangnya tetap kaya. Karena
adanya BLBI itu, kerugiannya ditanggung negara. Ini sebuah kesalahan yang
fatal tetapi betul-betul terjadi.
Hal terakhir yang merisaukan, di muka forum dunia Indonesia seperti sudah
tak punya harga diri. Persoalan TKI tidak sepenuhnya merupakan kesalaan
mereka, karena di sini mereka susah mendapat kerja.
Di negara lain bisa diterima, tetapi tidak melalui jalan yang resmi. Di
Malaysia maupun di Arab TKW maupun TKI mengalami derita yang tanpa ujung.
"Martabat kita begitu dihina di depan forum dunia, tetapi pemimpin kita
kadang-kadang hanya senyum-senyum saja. Sibuk menghadiri upacara ini - itu
seperti bangsa ini tak ada persoalan apa-apa," kata dia.
Yang pantas dibanggakan, menurut Prof Syafii, peringatan 17 Agustus sampai
saat ini masih banyak yang datang dari bawah. Ini menjadi tanda bahwa rakyat
sesungguhnya masih baik.
Ini artinya, kalau saja para pemimpinnya baik di semua lini, rakyat masih
gampang dipimpin. "Karena itu kita tidak boleh putus asa. Dia mengingatkan
bahwa semua agama melarang berputus asa. Maka sebaiknya apa yang bisa kita
kerjakan kita kerjakan sesuai kemampuan, dan pada posisinya masing-masing,
yang jelas jangan hanya diam," katanya. (037)


Last modified: 19/8/2002