[Nasional-m] Gereja dan Rumusan Pasal 29 UUD 1945

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue Aug 20 01:39:13 2002


Sinar Harapan
19/8/2002

Gereja dan Rumusan Pasal 29 UUD 1945
Oleh Weinata Sairin

Sesuatu yang amat substansial dan signifikan yang dicapai di era reformasi
adalah munculnya paradigma baru dalam memahami Undang Undang Dasar (UUD).
Walau pun diakui dan disadari bahwa UUD 1945 disusun secara tergesa-gesa dan
bersifat sementara, namun pemikiran untuk melakukan amendemen terhadap UUD
nyaris tak pernah mendapat tempat. Bahkan oleh karena banyak pemegang
kekuasaan menimba keuntungan dari UUD itu, kecenderungan untuk mensakralkan
UUD menjadi kuat.
Mereka yang berbicara kritis dan vokal tentang UUD dengan amat mudah
dikategorikan sebagai kelompok anti pemerintah dan sebab itu perlu dihabisi.
Kondisi seperti itu terjadi baik di zaman Soekarno maupun Soeharto.
Era reformasi melakukan terobosan yang amat fundamental. Masyarakat meyakini
bahwa penggumpalan kekuasaan, kekerasan yang dilakukan oleh negara,
pemiskinan dan pembodohan rakyat, praktik-praktik diskriminasi dan KKN
(korupsi, kolusi dan nepotisme) sentralisasi kekuasaan kesemuanya berangkat
dari teks UUD yang diinterpretasi secara sewenang-wenang oleh pemegang
kekuasaan dan bermuara pada pelanggengan kekuasaan.
Gelombang reformasi telah berhasil melakukan desakralisasi terhadap UUD
1945. Teks UUD bukan sesuatu yang suci, keramat dan sakral, yang tak bisa
diubah. Teks itu dapat, bahkan harus diubah jika tidak lagi mampu memberi
pijakan kukuh bagi sebuah bangsa yang plural, dengan ribuan pulau terhampar
dikelilingi lautan luas, dalam menapaki zaman yang sedang berubah cepat.
Dari analisis yang dilakukan para pakar, secara jelas dapat ditemukan betapa
UUD 1945 memiliki berbagai kelemahan sehingga amendemen terhadapnya
merupakan sesuatu yang tak bisa lagi ditawar.
Prof. Mahfud M.D. mencatat tiga kelemahan mendasar yang dimiliki UUD 1945.
Pertama, UUD 1945 membangun suatu sistem politik yang memberikan kekuatan
sangat besar terhadap presiden dan tak bisa diimbangi oleh lembaga-lembaga
lain. Kondisi ini memungkinkan presiden melakukan rekayasa untuk memperkuat
kekuasaan yang mengakibatkan tersendatnya mekanisme demokrasi. Kedua, UUD
1945 mempunyai pasal-pasal yang multi interpretasi. Tafsiran yang dibuat
presiden harus diterima sebagai tafsir yang benar dan realitas ini makin
memperkuat kekuasaan presiden. Ketiga, UUD 1945 banyak memberi kewenangan
kepada lembaga eksekutif untuk mengatur dengan undang-undang hal-hal yang
sebenarnya amat fundamental. Dalam pembuatan UU, Peraturan Pemerintah dan
Kepres dalam rangka pelaksanaan kewenangan itu dominasi presiden amat kuat.
Prof. Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa titik lemah UUD 1945 selain tiha
hal tersebut adalah banyaknya kekosongan materi penting yang tidak terdapat
dalam UUD 1945. Ia mencontohkan konsep Negara Hukum (rechsstaat) yang tidak
terdapat pada pasal-pasal UUD 1945, tetapi justru terdapat dalam Penjelasan.
Undang-undang Dasar sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen
formal yang berisi:
a. Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau Tingkat-tingkat
tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa Pandangan tokoh-tokoh bangsa
yang hendak diwujudkan baik untuk waktu sekarang maupun untuk masa yang akan
datang Suatu keinginan dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan
bangsa hendak dipimpin (Sri Sumantri M; 1987).
C.F. Strong memahami konstitusi sebagai suatu kumpulan asas-asas yang
menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan dalam arti luas, hak-hak dari yang
diperintah dan hubungan antarkeduanya. Sementara, K.C. Wheare memberi
pengertian konstitusi sebagai keseluruhan sistem ketatanegaraan dari suatu
negara berupa kumpulan peraturan-peraturan yang membentuk, mengatur atau
memerintah dalam pemerintahan suatu negara.
Dalam dunia politik konstitusi sering digunakan dalam dua pengertian.
Pertama, digunakan dalam arti luas yaitu sistem pemerintahan dari suatu
negara dan merupakan himpunan peraturan yang mendasari serta mengatur
pemerintahan dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya. Kedua, dalam arti sempit
yaitu sekumpulan peraturan yang legal dalam lapangan ketatanegaraan suatu
negara yang dimuat dalam ”suatu dokumen” atau ”beberapa dokumen” yang
terkait satu sama lain. (Dahlan Taib: 1999).
Dari definisi yang telah dirumuskan para pakar, tergambar jelas betapa
pentingnya makna sebuah konstitusi dalam kehidupan suatu negara. Tak bisa
dibayangkan bagaimana jadinya sebuah negara tanpa memiliki konstitusi, atau
memiliki konstitusi dengan kemungkinan multitafsir, dapat merugikan bahkan
menyengsarakan rakyat banyak.

Rumusan Pasal 29
Sejak bergulirnya reformasi, amendemen terhadap UUD 1945 telah dilakukan 3
kali, tahun 1999, 2000 dan 2001. Memasuki perubahan keempat tahun 2002
muncul permasalahan yang cukup alot terutama sekali di seputar rumusan pasal
29 yang membahas soal agama. Diskusi yang alot disekitar pasal ini
sebenarnya menampilkan persoalan yang amat klasik dan sensitif tentang
bagaimana memposisikan agama dalam relasinya dengan negara. Ada kelompok
yang menginginkan agar agama, dalam hal ini Islam, menjadi dasar negara,
sementara itu kelompok lainnya menginginkan Pancasila sebagai dasar negara.
Dalam rapat-rapat yang dilakukan oleh BPUPKI dan PPKI tahun l945 hal itu
telah dibahas dalam diskusi yang alot dan cukup panjang. Sebagaimana
diketahui pada tanggal 18 Agustus 1945 diskusi itu dianggap telah selesai
karena baik rumusan Pembukaan UUD 1945 mau pun pasal 29 UUD 1945 tidak lagi
memunculkan peristilahan yang secara eksplisit merujuk kepada sesuatu agama.
Namun bagi kelompok yang ingin mendasarkan negara Republik Indonesia pada
dasar agama tetap merasa tidak puas dan terus menerus berupaya
memperjuangkan ide itu, baik melalui cara-cara konstitusional maupun dengan
cara-cara lain. Sidang Tahunan (ST) MPR yang didalamnya ada agenda untuk
mengamendemen UUD 1945 dianggap sebagai event yang tepat untuk kembali
menggolkan ide itu.
Dalam ST MPR Agustus 2002 yang lalu ada tiga fraksi di MPR yang tetap
memperjuangkan agar rumusan pasal 29 UUD ayat (1) direvisi dengan
menambahkan rumusan ”dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”. Sementara itu ada juga fraksi yang tetap mempertahankan
naskah asli pasal 29 UUD 1945. Hal yang memerlukan pemikiran secara matang,
tenang dan jernih di seputar usul revisi pasal 29 UUD 1945 ayat (1) itu
pertama-pertama terletak bukan pada fraksi mana yang mengusulkan dan
seberapa besar fraksi yang mendukung. Bukan pula bahwa terdapat jaminan bagi
seluruh warga bangsa, andaikata usul itu diterima dan menjadi ketentuan
perundangan. Persoalan yang mendasar dan substansial dalam konteks ini
adalah pemahaman dan kesepakatan kita bersama sebagai bangsa tentang Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dari catatan-catatan sejarah, kita semua memahami bahwa sejak awal, the
founding fathers negeri ini telah menetapkan fondamen rumah besar Indonesia
bukan agama, tetapi Pancasila.
Bung Karno dalam pidato tanggal 1 Juni 1945 di depan Sidang Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) menegaskan: ”Tetapi dasarnya,
isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah
Pancasila.

Sebagai dikatakan tadi, Saudara-saudara, itulah harus weltanschauung kita.
Entah Saudara-saudara mufakat atau tidak, tetapi saya berjuang sejak 1918
sampai 1945 sekarang ini untuk weltanschauung itu, untuk membentuk
nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia, untuk kebangsaan
Indonesia yang hidup dalam peri kemanusiaan, untuk permufakatan, untuk
sociale rechtvaardigheid, untuk Ketuhanan. Pancasila, itulah yang
berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh tahun... ”
Dasar negara Pancasila secara amat kental termuat dalam rumusan Pembukaan
UUD 1945, terutama sekali pada alinea keempat. Itulah sebabnya mengapa MPR
bersepakat untuk tidak melakukan perubahan Pembukaan UUD 1945, sebab
disadari benar bahwa pada pembukaan itulah subtansi Pancasila sebagai dasar
negara termuat secara lengkap.
Dengan memposisikan diri sebagai negara yang berdasar Pancasila dan bukan
negara berdasar agama maka rumusan pasal 29 UUD 1945 ayat (1) dan ayat (2)
telah memadai.
Negara agama adalah sebuah negara yang diatur menurut ketentuan-ketentuan
hukum agama. Kondisi ini menyebabkan warga negara yang tidak
memeluk/meyakini agama tersebut akan terpinggirkan menjadi warga negara
kelas dua. Sebaliknya para penganut agama, yang agamanya menjadi dasar dari
negara akan mendapat perlakuan istimewa.
Negara berdasarkan Pancasila mengayomi semua warga negara tanpa memandang
latar belakang agamanya. Bahkan, pemerintah memberikan dukungan dan
fasilitas agar agama-agama dapat bertumbuh dengan baik dan para penganut
agama yang berbeda itu mampu mengembangkan dialog dalam semangat kerukunan.
Apabila kita ingin memelihara dan menghargai pemikiran-pemikiran the
founding fathers bangsa kita, maka tak ada pilihan lain kecuali menerima
dengan bulat Pancasila sebagai dasar negara, sebagaimana yang telah termuat
dalam Pembukaan UUD 1945. Konsekuensinya adalah rumusan pasal 29 ayat (1)
dan (2) tetap sebagaimana adanya, tidak mengalami perubahan. Hal-hal yang
berhubungan dengan syariat agama sebaiknya memang tidak masuk dalam
ketentuan UUD atau dalam peraturan daerah, karena bisa menimbulkan sikap
diskriminatif terhadap umat sesuatu agama.
Kita semua bersyukur karena ST MPR 2002 telah menuntaskan masalah ini dengan
musyawarah dan mufakat, dibarengi sikap kenegarawanan yang tinggi dari
segenap anggota MPR. Penuntasan masalah ini menjadi amat penting sehingga
energi dan waktu yang kita miliki akan benar-benar dikosentrasikan kepada
hal-hal konkret dalam mengatasi krisis yang masih membelit kehidupan bangsa.
Gereja-gereja dan umat Kristen Indonesia yang sejak awal memang amat
menghendaki terwujudnya kehidupan beragama, bermasyarakat dan berbangsa yang
sejuk, menyambut baik ketetapan MPR untuk mempertahankan rumusan pasal 29
UUD 1945. Hal yang amat penting dimasa depan adalah bagaimana merealisasikan
sebuah kehidupan yang di dalamnya seluruh agama mendapat ruang untuk
mengaktualisasikan diri secara optimal, sebagai implementasi pasal 29 UUD
1945. Dalam Konteks itu kita berharap agar rumusan pasal 29 UUD 1945 yang
ditetapkan kembali ST MPR 2002 adalah rumusan yang final dan definitif, dan
tidak lagi dipersoalkan, atau diubah-ubah pada setiap persidangan MPR.

Penulis adalah rohaniawan.