[Nasional-m] Pemikiran Politik Sjahrir dan Tan Malaka Pasca-Proklamasi RI

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue Aug 20 01:39:19 2002


Sinar Harapan
19/8/2002

Pemikiran Politik
Sjahrir dan Tan Malaka Pasca-Proklamasi RI
Oleh Aria Wiratma

Tanggal 17 Agustus 1945, proklamasi kemerdekaan Indonesia dinyatakan. Sehari
kemudian, langkah pertama untuk melembagakan negara segera diambil. Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidangnya yang pertama,
yang menghasilkan tiga keputusan, yaitu disahkannya Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945; memilih Soekarno dan Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden;
dan untuk sementara waktu Presiden dibantu oleh sebuah Komite Nasional.
Berpacu melawan waktu, kiranya ungkapan yang dapat menggambarkan situasi
pada waktu itu. Proklamasi Kemerdekaan, UUD, dan pemilihan presiden serta
wakil presiden menjadi tepat pada waktunya. Pada tanggal 19 Agustus 1945,
Yamamoto, kepala staf balatentara Jepang di Jawa, memberitahukan Soekarno
dan Hatta bahwa Jepang telah menerima syarat-syarat kapitulasi Postdam.
Sehingga berdasarkan syarat-syarat tersebut, bantuan menuju kemerdekaan
adalah tidak mungkin. Jepang diharuskan untuk mempertahankan status quo di
daerah jajahan dan harus menyerahkannya kepada sekutu.
Dengan demikian, terlembaganya negara yang baru terbentuk itu menjadikan
bargaining position bangsa Indonesia menjadi lebih kuat untuk mengadakan
perundingan dengan kekuatan-kekuatan asing.
Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 merupakan pintu menuju babak baru dalam
perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Sebuah babak di mana bangsa Indonesia
berhasil mangambilalih kekuasaan pemerintah dari tangan penjajah. Namun,
kemerdekaan yang diperolehnya itu ternyata mengalami gejolak yang bukan saja
berasal dari luar – yaitu adanya keinginan Belanda untuk kembali menguasai
Indonesia – tetapi juga yang berasal dari bangsa Indonesia sendiri, seperti
persaingan perebutan kekuasaan.
Terutama yang berasal dari dalam, gejolak yang timbul mengakibatkan
ketidakstabilan serta ambivalensi politik yang besar.
Gejolak-gejolak politik dalam negeri tersebut ditimbulkan karena
pengambilalihan kekuasaan dan pengalihfungsian lembaga-lembaga buatan Jepang
untuk sesuai dengan tujuan-tujuan negara yang baru terbentuk.
Maka tak heran kalau politik kepemimpinan Soekarno-Hatta merupakan suatu
kesinambungan dari masa sebelumnya. Namun demikian, kekalahan Jepang atas
Sekutu serta ketidakpastian tentang keinginan-keinginan Sekutu,
mengakibatkan pelaksanaan politik kesinambungan tersebut semakin sulit.

Sjahrir dan ”Perjuangan Kita”
Pada tanggal 10 November 1945, Kementerian Penerangan mengumumkan penerbitan
sebuah buklet yang ditulis oleh Sjahrir. Buklet itu berjudul ”Perjuangan
Kita”. Tulisan itu mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap pemikiran
politik di Indonesia, terutama di kalangan pemuda. Soebadio Sastrosatomo,
seorang pengikut Sjahrir bahkan berpandangan bahwa kalau Maklumat Politik
tanggal 1 November 1945 merupakan pedoman untuk negara, maka buklet tersebut
dimaksudkan untuk rakyat dan masyarakat Indonesia.
Tulisan tersebut merupakan diagnosis masalah-masalah kontemporer Indonesia
yang paling jelas terartikulasikan dan satu-satunya program yang koheren
bagi pengembangan perjuangan nasionalis selama tahun-tahun konflik fisik
dengan Belanda. Selama revolusi fisik, isi program Sjahrir ini hanya bisa
dibandingkan dengan program Tan Malaka dalam Persatuan Perjuangan. Soekarno
sendiri tidak mengeluarkan pernyataan publik yang luas sebagai pandangannya
sendiri dalam fase perjuangan nasional ini.
Dalam kaitan tersebut, Ben Anderson berpandangan bahwa sikap Soekarno
tersebut sangat kontras dengan sikapnya pada periode sebelum dan sesudah
fase ini (revolusi fisik) sebagai seorang ideolog.
Dalam buklet itu, Sjahrir menegaskan, terutama kepada pemuda untuk bertindak
dengan penuh tanggung jawab, berjuang dengan segenap jiwa revolusionernya.
Ia juga menyerukan untuk menghindari kekerasan anti-asing dan anti-indo,
serta mengerahkan kekuatan untuk membentuk pemerintahan yang demokratis.
Ide tentang revolusi demokratis itu dikemukakan Sjahrir untuk melawan
kecenderungan fasisme yang masih membekas akibat pengaruh pendudukan Jepang
(Alfian: 1977).
Revolusi nasional baginya bukanlah yang nomor satu, akan tetapi
demokrasi-lah yang utama. Bahkan revolusi nasional dianggapnya hanya buntut
dari revolusi demokrasi.
Perjuangan demokrasi yang dicita-citakannya itu harus dimulai dengan
membersihkan diri dari noda-noda fasis Jepang, yaitu dengan menyingkirkan
orang-orang yang sudah menjual jiwa dan kehormatannya kepada fasis Jepang.
Sjahrir mengatakan bahwa gejolak-gejolak politik yang timbul di dalam negeri
Indonesia itu tidak terlepas dari pemerintah negara RI itu sendiri. Padahal
katanya, kalahnya Jepang atas Sekutu serta terlambat datangnya tentara
Sekutu untuk mengganti Jepang sebetulnya memberikan kesempatan yang baik
bagi pemerintah untuk menyusun kekuasaan negara. Hal tersebut tidak bisa
tercipta oleh karena mereka yang berada di pemerintahan adalah para
kolaborator dengan Jepang.
Menurut Sjahrir, kedudukan Indonesia pada waktu itu sangatlah lemah.
Indonesia berada di daerah yang dipengaruhi oleh kekuatan
imperialisme-kapitalisme Amerika dan Inggris. Oleh karena itu, menjadi tidak
bijaksana kalau Indonesia memusuhi dua kekuatan tersebut. Nasib Indonesia
menjadi tergantung pada keadaan dunia internasional, sehingga harus
menyesuaikan diri dengannya. Diplomasi yang luwes dan pintar menjadi jalan
satu-satunya untuk menjamin kemerdekaan Indonesia agar Amerika dan Inggris
tidak mendukung penuh Belanda.

Setelah melalui usaha-usaha yang panjang, akhirnya Sjahrir tanggal 14
November 1945 diangkat menjadi perdana menteri dan segera mengumumkan
kabinetnya. Naiknya Sjahrir sebagai perdana menteri menunjukkan kepada
Belanda bahwa republik ini bukan bentukan Jepang. Sehingga dapat menaikkan
posisi diplomatik Indonesia di hadapan Sekutu dan dunia internasional.

Tan Malaka dan ”Minimum Program”
Keberhasilan Sjahrir menduduki jabatan sebagai perdana menteri tak
sertamerta menghilangkan gejolak-gejolak yang ada. Persoalan demi persoalan
muncul akibat ketidakpuasan terhadap kabinet yang baru terbentuk itu.
Anderson (1988) menilai ada dua hal yang menjadi fokus permasalahan.
Pertama, kabinet tersebut jelas tidak mewakili semua golongan, bahkan hanya
dikuasai oleh pemimpin-pemimpin dari Partai Sosialis dan beberapa orang
profesional yang buta politik. Kedua, isi program kabinet tersebut yang
mengutamakan diplomasi daripada perlawanan bersenjata.
Salah satu kelompok yang keras menentang kebijakan-kebijakan Sjahrir itu
adalah kelompok Tan Malaka. Kelompok penentang ini–terutama sekali para
pemuda– menyatakan bahwa kemerdekaan yang telah diproklamasikan bukan
merupakan sesuatu yang harus dirundingkan. Kemerdekaan itu adalah seratus
persen milik bangsa Indonesia. Kecenderungan seperti itu semakin memuncak
setelah terjadinya pertempuran di Surabaya tanggal 10 November 1945. Para
pemuda dan rakyat rela dan berani mempertaruhkan nyawa. Walaupun hanya
bersenjata seadanya untuk melawan tentara Sekutu.
Tan Malaka yang melihat secara langsung peristiwa itu menganggap bahwa
semangat yang muncul pada waktu itu merupakan tanda untuk dapat menggerakkan
massa guna merealisasikan revolusi total. Baginya, pertempuran-pertempuran
amat penting dilakukan dengan pengorganisasian serta kepemimpinan yang kuat.
Bukan semata-mata hanya dilakukan dengan perundingan-perundingan.
Pada tanggal 2 Desember 1945, tiga minggu setelah diterbitkannya ”Perjuangan
Kita”, Tan Malaka mengeluarkan sebuah brosur yang berjudul ”Muslihat”.
Brosur itu berisi ajakan kepada semua golongan atau lapisan untuk bersatu
mengadakan perlawanan bersama–revolusi total–lengkap dengan strategi
dasarnya. Strategi itu antara lain perlunya membentuk laskar rakyat,
pembagian tanah pada si miskin, hak buruh dalam mengontrol produksi, membuat
rencana ekonomi perang, pengusiran tentara asing, dan perlucutan senjata
Jepang. Kunci dari strategi itu adalah bahwa revolusi mempunyai tiga segi,
yaitu politik, ekonomi, dan militer (Alfian: 1977).
Ide revolusi Tan Malaka semakin mendapatkan sambutan–terutama di kalangan
pemuda. Hal itu terutama sesuai dengan semangat zaman yang sedang
menggelora. Mereka memandang ide Tan Malaka merupakan alternatif baru dalam
revolusi. Apalagi kemudian bila dibandingkan dengan ”Perjuangan Kita” milik
Sjahrir yang mengutamakan perundingan atau jalur diplomasi. Ide Tan Malaka
yang tertulis dalam ”Muslihat” adalah jawaban yang radikal atas tulisan
Sjahrir tersebut. Maka bukan suatu yang salah kalau Tan Malaka memberikan
judul tulisannya dengan ”Muslihat”.
Dalam kongresnya di Solo tanggal 15-16 Januari 1946, Persatuan Perjuangan
memutuskan sebuah program politik yang disebut ”Minimum Program” yang
terdiri atas tujuh pasal. ”Minimum Program” itu didasarkan pada pidato Tan
Malaka pada kongres sebelumnya di Purwokerto tanggal 3-5 Januari 1946.
Adapun isi ”Minimum Program” itu antara lain: berunding atas pengakuan
kemerdekaan seratus persen; pemerintahan rakyat (dalam arti sesuainya haluan
pemerintah dengan kemauan rakyat); tentara rakyat (dalam arti sesuainya
haluan tentara dengan kemauan rakyat); melucuti tentara Jepang; mengurus
tawanan bangsa Eropa; menyita dan menyelenggarakan pertanian (kebun);
menyita dan menyelenggarakan perindustrian musuh (pabrik, bengkel, tambang,
dll.).
Program itu, menurut Tan Malaka, juga berisikan perjuangan anti-kapitalis
dan anti-imperialis yang dapat dengan mudah dimengerti dan dilaksanakan oleh
rakyat jelata.
Jelas bahwa pandangan Tan Malaka yang termaktub dalam ”Minimum Program”
Persatuan Perjuangan sangat bertentangan dengan ide Sjahrir dalam ”
Perjuangan Kita”. Terutama sekali pasal satu tersebut. Pasal ini menantang
kebijakan damai yang diajukan Sjahrir terhadap Inggris dan mencoba
memperoleh dukungan mereka dalam perundingan-perundingan dengan Belanda. Hal
itu tidak terlepas dari pandangan Tan Malaka yang menganggap persatuan dalam
menyelesaikan revolusi adalah perjuangan untuk menghadapi musuh bersama. Hal
itu dilakukan hingga tercapai kemerdekaan seratus persen. Baginya, bukan
persatuan untuk berkompromi yang berarti berkhianat kepada kemerdekaan
seratus persen sebagaimana amanat Proklamasi 17 Agustus 1945.

Catatan Penutup
Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, bagi bangsa Indonesia bukan
berarti pengambilalihan kekuasaan pemerintahan dari tangan penjajah semata.
Namun lebih dari itu, merupakan langkah awal untuk menapak ke masa depan
yang baru. Bagi bangsa Indonesia, proklamasi adalah sebuah momentum untuk
mewujudkan cita-cita yang pernah diangankan, seperti yang tercetus pada
Sumpah Pemuda tahun 1928.
Namun yang pasti, baik pemikiran Sutan Syahrir maupun Tan Malaka, memberikan
pemahaman bahwa proklamasi bukan akhir dari perdebatan pemikiran mengenai
masa depan Indonesia.

Penulis adalah anggota Studi Klub Sejarah, Universitas Indonesia..