[Nasional-m] Negarawan Rakyat, Rakyat Negarawan

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue Aug 20 01:39:17 2002


Kompas
Selasa, 20 Agustus 2002

Negarawan Rakyat, Rakyat Negarawan
Oleh Indra J Piliang

AMAT minim keterlibatan rakyat dalam Sidang Tahunan (ST) MPR 2002. Hanya 125
lembaga negara, pemerintah, dan organisasi yang menyampaikan masukan pada
Panitia Ad Hoc (PAH) I MPR untuk mengamandemen UUD 1945. Aspirasi perorangan
dan lembaga lain hanya 127 pucuk surat.
Ke mana partisipasi 206 juta rakyat? Padahal, tiap helaan kalimat anggota
MPR mendentumkan kata "rakyat". Gagalnya pembentukan Komisi Konstitusi (KK)
Independen lewat Pasal 37, Aturan Peralihan, atau Aturan Tambahan, dan hanya
lewat Ketetapan (Tap) MPR No I/MPR/2002, menunjukkan MPR sepakat menyandera
nasib bangsa dan negara dalam genggamannya.
Rendahnya partisipasi publik atas amandemen UUD 1945 menunjukkan lemahnya
legitimasi MPR dalam arti metodologi dan prosedur amandemen konstitusi.
Ditambah kurangnya aksi demonstrasi selama ST, kian menjauhkan MPR dari hati
publik. Telah terjadi semacam mosi tidak percaya masyarakat atas apa pun
yang berlangsung di Senayan. Dengan keadaan itu, masihkah MPR percaya
sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara dan rakyat, yang berguna
memberi stimulus hidupnya dinamika demokrasi?
Meski UUD memberi angin segar atas tatanan ketatanegaraan baru, terasa
sekali dinginnya proses politik di MPR. Ada sejumlah perubahan UUD 1945 yang
amat penting: (1) Pemilihan presiden secara langsung; (2) Keluarnya
TNI/Polri dari DPR/MPR tahun 2004; (3) Hapusnya Fraksi Utusan Golongan dari
MPR; (4) Dianutnya sistem bikameral (DPR dan Dewan Perwakilan Daerah/DPD);
dan (5) Dibubarkannya Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Nasib Fraksi Utusan Daerah (F-UD) tak begitu diperhatikan karena terakomodir
lewat DPD yang dipilih dalam pemilu. Padahal, DPD berbeda dengan F-UD.
Tetapi, keputusan mengejutkan untuk tak mengubah bentuk negara kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) dalam Pasal 37 Ayat (4) adalah bentuk
konservatisme baru MPR, juga taruhan besar atas keluarnya Fraksi TNI/ Polri
dari DPR/MPR. Kompas (12/08/ 2002) mengatakan, "(MPR)...agar secara cerdas
dan cekatan menangkap dan mengerti konsekuensi serta implikasi dari
perubahan-perubahan itu. Misalnya, apa implikasi paham yang tetap Negara
Kesatuan, tetapi kini juga akan diwujudkan dalam lembaga MPR yang
bikameral."
Bikameralisme dalam negara kesatuan adalah terobosan dan variasi baru dari
perkembangan teori dan definisi hukum tata negara dan ilmu politik "khas"
Indonesia. Ataukah, Indonesia tak menganut bikameralisme, sebagaimana
lazimnya di negara-negara federal? Dari sisi ini saja, MPR jauh telah
melampaui batas kewenangannya, melebihi yang dilakukan the founding fathers
and mothers, juga menutup alam pikiran generasi mendatang.
Fondasi ketatanegaraan seperti ini akan membuka perdebatan baru, apalagi MPR
tak menyiapkan naskah akademis. MPR tak memperhatikan Penjelasan UUD 1945:
"Untuk mengerti sungguh-sungguh maksudnya UUD dari suatu negara, kita juga
harus mempelajari bagaimana teks itu terjadi, harus diketahui
keterangan-keterangannya dan harus diketahui dalam suasana apa teks itu
dibikin". Begitu pun pemangkasan dasar-dasar demokrasi ekonomi yang digagas
Mohammad Hatta dalam perubahan Pasal 33 UUD 1945, tepat sehari menjelang
satu abad Bung Hatta. Inikah kado ulang tahun MPR untuk Bung Hatta?
***
MPR telah menjadi algojo berdarah dingin untuk membunuh masa lalu dan
mengebiri masa depan. Prestasi dan "lompatan besar" ketatanegaraan yang
dilakukan MPR menjadi kehilangan akar ketulusan nurani. Friksi dan aksi di
luar Gedung MPR/DPR seakan menutupi keputusan final PAH I dan Komisi A MPR.
Terlepas dari tugas konstitusionalnya, MPR melakukan satu patahan sejarah.
Sejarah sebagai spirit, the idea of the human imagine of the world, dan the
process to be and not to be as human being, ditelikung tanpa memberi
kesempatan kepada masyarakat luas sebagai makhluk sejarah untuk
menyumbangkan gagasan, mimpi, dan imajinasinya. Ketika sejarah dipatahkan
oleh rezim demi rezim, sehingga menggeleparkan nyawa dan membuncahkan darah
atas dasar elastisitas pemahaman dan interpretasi konstitusi, MPR kini
mengulanginya.
Keduanya mempunyai implikasi serius berupa pengingkaran atas perubahan di
masa datang. Atas nama hak, MPR mengubah banyak hal. Sebaliknya, juga atas
nama hak, MPR membungkam kemungkinan perubahan nanti.
MPR lupa membaca Penjelasan UUD 1945: "Kita harus senantiasa ingat kepada
dinamik kehidupan masyarakat dan negara Indonesia. Masyarakat Indonesia
tumbuh, zaman berubah, terutama pada zaman revolusi lahir batin sekarang
ini. Karena itu, kita harus hidup dinamis, harus melihat segala gerak
kehidupan masyarakat dan negara Indonesia. Berhubung dengan itu, janganlah
tergesa-gesa memberi kristalisasi, memberi bentuk (Gestaltung) kepada
pikiran-pikiran yang mudah berubah. [...] Jadi yang paling penting ialah
semangat. Maka semangat itu hidup, atau dengan lain perkataan, dinamis."
Progresivitas ST MPR 2002 tercederai atas patokan bentuk NKRI, tanpa
penjelasan memadai. Bentuk final negara akan mematikan dinamika, juga
semangat hidup, dari perubahan pikiran yang mungkin terjadi di kalangan
generasi mendatang. Hak sejarah itulah yang direnggut MPR.
Apabila terjemahan Pasal 37 Ayat (4) UUD terjadi sembarangan, lewat
peraturan perundangan lainnya, yang kembali hadir adalah negara yang amat
otoriter. Negara akan membatasi banyak publikasi, diskusi, juga pemikiran
ilmiah yang berkembang dan berproses, baik di kampus, ilmuwan, juga
masyarakat. Katakanlah diskusi bentuk negara federal, juga semangat
desentralisasi dan devolusi skala luas untuk menghambat sentralisasi yang
mudah jatuh kepada otoritarianisme, bahkan totalitarianisme.
Apakah diskusi negara federal akan dibubarkan, juga publikasi ilmiah akan
dihanguskan? Federalisme bukan jaminan bagi kedamaian, atau harapan yang
lain. Federalisme, sebagaimana unitarianisme, hanya alat mencapai negara
kesejahteraan (welfare state) dengan cara memilah-milah berdasar kebutuhan
masyarakat majemuk dan plural.
Nancy Bermeo menulis, tidak pernah ada keberhasilan kekerasan gerakan
separatis di dalam negara demokrasi federal (Journal of Democracy: April
2002, 108). Militer jarang menembaki warga negaranya, termasuk dalam Negara
Federal Uni Soviet sebelum bubar tahun 1989. Soviet akhirnya pecah, terutama
menjadi negara-negara muslim, mengingat Soviet memiliki 50 juta lebih warga
muslim (Galia Colan:1990, 197). Tetapi, bergabungnya negara-negara Asia
Tengah itu dengan Uni Soviet adalah akibat ekspansi dan kolonialisasi.
Setelah pecah, negara-negara itu tenggelam dalam bentuk baru kediktatoran
(FEER, 9/5/2002). Sebaliknya yang terjadi di negara-negara unitarian
(kesatuan), dengan masifnya tingkat kekerasan aparatur negara atas rakyatnya
sendiri.
***
PEMBENTUKAN KK versi MPR juga tak memberi ruang kepada rakyat untuk menjadi
negarawan. Kecuali KK bekerja secara partisipatoris, transparan, dan
melibatkan setiap orang dewasa yang punya hak suara dalam pemilu untuk
beraspirasi. Elitisisme amandemen UUD 1945 hendaknya tak terulang. Hak-hak
rakyat harus diberikan untuk turut menentukan hitam-putihnya negara ini.
Bukan hanya kewajiban membayar pajak, dan membiarkan tanah dan airnya
digunakan negara.
Apabila elite politik tetap minta dihargai rakyat, penghargaan lebih tinggi
patut juga diberikan kepada rakyat. Salah satunya dengan melibatkan rakyat
dalam proses amandemen konstitusi berikutnya, dengan cara dan saluran yang
bervariasi.
Idealnya semangat perubahan konstitusi adalah gelombang baru untuk
menggerakkan energi positif dalam kalbu dan jiwa rakyat. Dari sinilah patut
disusun struktur organisasi, jaringan, informasi, komunikasi, juga sarana
dan prasarana lain untuk mendapatkan spirit rakyat, termasuk lewat KK yang
dibuat BP MPR.
Sudah saatnya rakyat disapa tentang apa yang ada dalam hati nuraninya, mulai
dari yang tinggal di pulau-pulau terpencil, lembah-lembah dalam, juga
pegunungan tinggi, bahkan korban penggusuran, konflik sosial dan pengungsi.
Begitu pun rakyat yang hidup dalam masyarakat dan wacana global dan
kosmopolitan, yaitu ratusan ribu yang bekerja dan belajar di berbagai
sekolah dan kampus di luar negeri.
Mereka itu di Internet sudah mendiskusikan UUD ideal berbulan-bulan, tetapi
tak ada saluran ke MPR.
Andai pun konstitusi baru yang dihasilkan tidak seideal pendapat "kalangan
pakar" juga "elite politik", setidaknya satu syarat telah terpenuhi: tangan
kekuasaan bersalaman, bergenggaman, dan bergandengan dengan tangan rakyat.
Rakyat tak lagi dianggap sebagai pengikut, tetapi sebenar-benarnya
negarawan. Siapkah (ego) kita?
INDRA J PILIANG Peneliti Politik dan Perubahan Sosial CSIS Jakarta
Search :










Berita Lainnya :
•Bom Waktu Konstitusi Baru
•Negarawan Rakyat, Rakyat Negarawan
•POJOK
•REDAKSI YTH
•TAJUK RENCANA
•Tentang Nasionalisme Indonesia