[Nasional-m] Penyederhaan Parpol ala Baru

Ambon nasional-m@polarhome.com
Wed Aug 21 01:24:14 2002


Jawa Pos
Rabu, 21 Agt 2002

Penyederhaan Parpol ala Baru
Oleh Kacung Marijan

Minat untuk mendirikan parpol di negeri ini sangat besar. Kenyataan bahwa
hanya sedikit partai yang bisa memperoleh kursi di lembaga perwakilan pada
Pemilu 1999 tidak menyurutkan peminat untuk mendirikan parpol baru.
Buktinya, hingga kini sudah lebih dari 200 partai yang terdaftar di Depkeh
dan HAM.

Apakah kecenderungan seperti itu berarti membawa Indonesia ke arah sistem
multipartai yang berlebihan dan bercorak sentrifugal? Kalau kita mengkaji
RUU Partai Politik dan RUU Pemilu yang sekarang dibahas DPR, kecenderungan
seperti itu sulit terjadi. Kedua RUU itu pada dasarnya merupakan bentuk
rekayasa kelembagaan (institutional engineering) untuk membawa Indonesia
kembali ke sistem kepartaian pluralisme sederhana (simple pluralism). Yakni,
sistem kepartaian yang hanya terdiri atas beberapa partai dan secara
ideologis tak berbeda jauh.

Di RUU Partai Politik, paling tidak, kecenderungan seperti itu tergambar
pada pasal 2 tentang syarat-syarat pembentukan partai dan pasal 4 tentang
asas dan ciri partai. Di dalam pasal 2, pendirian partai memang mudah
dilakukan. Partai cukup didirikan minimal 50 orang. Tetapi, untuk memperoleh
pengakuan, cukup sulit. Partai itu harus memiliki kepengurusan minimal 50
persen dari jumlah provinsi yang ada, 50 persen dari jumlah kabupaten/kota
di provinsi-provinsi itu, dan 50 persen dari kecamatan-kecamatan di
kabupaten/kota tersebut.

Sementara itu, untuk mencegah konflik-konflik politik yang bermuara pada
ideologi, RUU itu juga mensyaratkan setiap partai berasas Pancasila. Memang,
masing-masing partai masih diperbolehkan untuk memiliki ciri-ciri tertentu,
baik bersifat keagamaan maupun cirri-ciri yang lain. Hanya, semua ciri itu
harus tetap di bawah satu payung umum, ideologi Pancasila.

Proses rekayasa kelembagaan menuju sistem kepartaian pluralisme sederhana
itu semakin tampak kalau kita kaitkan dengan syarat-syarat partai yang dapat
mengikuti pemilu sebagaimana terdapat di dalam RUU Pemilu. Di dalam RUU itu,
persyaratannya lebih berat dibandingkan dengan persyaratan tentang pengakuan
partai. Di dalam pasal 14 disebutkan, partai politik boleh mengikuti pemilu
kalau memiliki pengurus lengkap minimal 2/3 provinsi yang ada. Syarat yang
sama juga untuk kabupaten/kota.

Dalam RUU Pemilu juga disinggung tentang electoral threshold (ET). Yakni,
untuk bisa mengikuti pemilu berikutnya, parpol minimal harus memperoleh 3
persen dari jumlah kursi DPR; 4 persen dari jumlah kursi DPRD provinsi yang
tersebar dari minimal separo provinsi yang ada; dan 4 persen dari jumlah
kursi DPRD kabupaten/kota dari minimal separoh kabupaten/kota yang ada.

Sekiranya kedua RUU itu diloloskan DPR, besar kemungkinan partai-partai yang
benar-benar eksis, dalam artian bisa mengikuti pemilu secara rutin, tidak
akan lebih dari 10 partai. Bahkan, bisa jadi lebih kecil daripada jumlah
itu, yakni sekitar 5 partai politik. Itu berarti sistem kepartaian yang
muncul tidak jauh berbeda dengan sistem kepartaian pada awal-awal
pemerintahan Orde Baru.

Upaya rekayasa kelembagaan untuk menyederhanakan partai seperti itu sah-sah
saja. Apalagi, rekayasa kelembagaan itu juga melibatkan proses politik yang
demokratis, yakni melalui pemilu. Lolos tidaknya partai politik di dalam ET,
misalnya, ditentukan para pemilih, bukan oleh penguasa. Meskipun, yang
menentukan besaran ET itu adalah penguasa sekarang.

Meski demikian, upaya rekayasa seperti itu pada dasarnya justru menyimpan
kontradiksi, bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi. Di dalam
demokrasi, misalnya, mendirikan partai politik dan mengikuti pemilu secara
jurdil merupakan salah satu pilar penting. Kalau pilar seperti ini dikebiri,
berarti memasung kehidupan demokrasi.

ET memang bisa menjadi salah satu instrumen penting untuk menyederhanakan
partai. Hanya, makna electoral threshold-nya yang harus diubah. Baik di
dalam UU Pemilu maupun di dalam RUU Pemilu yang dibahas sekarang ini, ET
dipahami sebagai prasyarat minimal perolehan suara untuk dapat mengikuti
pemilu berikutnya.

Dalam konteks yang lebih demokratis, ET bisa dipahami sebagai prasyarat
suara minimal bagi partai untuk bisa duduk atau mendudukkan wakilnya di
parlemen. Misalnya, kalau suara partai kurang dari 2 persen, ia tidak
memiliki hak untuk duduk di parlemen. Kursi yang ditinggalkan bisa diberikan
kepada partai-partai lain yang lolos dalam electoral threshold. Tetapi,
dalam pemilu berikutnya, partai-partai yang tidak lolos electoral threshold
tersebut masih bisa mengikuti pemilu. Dengan demikian, hak partai untuk ikut
dalam perebutan kekuasaan secara sah tidak dicabut.

Selain itu, semangat yang ada di dalam kedua RUU itu masih bercorak
sentralistik. Padahal, saat ini kecenderungan sistem pemerintahan adalah
bercorak desentralistik. Itu berarti, baik sistem kepartaian maupun sistem
pemilu, seharusnya memberi ruang yang lebih besar ke arah bangunan sistem
kepartaian dan sistem pemilu yang bercorak kedaerahan.

Di dalam sistem kepartaian, misalnya, seharusnya dibuka ruang untuk
partai-partai yang tidak hanya bercorak kedaerahan, tetapi juga
partai-partai yang berbasis pada daerah-daerah tertentu. Partai-partai
demikian, bisa jadi, memiliki akar dan keterkaitan dengan konstituen yang
lebih dekat.

Di dalam konteks desentralisasi itu juga, sistem pemilu seharusnya
memberikan ruang kepada calon-calon independen. Calon-calon demikian, di
daerah-daerah tertentu, bisa jadi memiliki tingkat keterwakilan yang lebih
besar daripada calon dari partai-partai politik.

Mudah-mudahan para wakil rakyat yang sedang membahas kedua RUU itu tidak
hanya bersemangat untuk membangun sistem kepartaian pluralisme sederhana,
tetapi juga tetap memegang teguh prinsip-prinsip dasar di dalam demokrasi.
*. Kacung Marijan, dosen FISIP Unair yang kini tengah menyelesaikan program
doktor di The Australian National University (ANU), Canberra