[Nasional-m] Merintis Jalan Bersama Menuju Kesetar

Ambon nasional-m@polarhome.com
Wed Aug 21 01:49:02 2002


Media Indonesia
Rabu, 21 Agustus 2002

Merintis Jalan Bersama Menuju Kesetaraan
Hendardi, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia

KESETARAAN dan kesederajatan dalam hukum dan perlakuan, tanpa diskriminasi
bahwa semua orang dihargai tanpa peduli asal dan warna, baik atas dasar
suku, agama, warna kulit, etnis, gender, usia, adat istiadat, profesi dan
pekerjaan, pangkat dan jabatan, status dan kelas sosial, serta tanpa peduli
batas negeri dan kebangsaan maupun orientasi ideologi dan politik, memang
masih suatu impian.
Perlakuan yang bermartabat dan menghargai setiap orang tanpa peduli asal dan
warna --prinsip tanpa diskriminasi-- belumlah menjadi etos sosial kita.
Demikian pula belum menjadi bagian dari kewajiban dan tanggung jawab negara
atau bagian dari etika politik dan belum termanifestasi dalam pelaksanaan
hukum.
Mewujudkan suatu sistem hukum, politik, dan sosial, yang memungkinkan semua
orang diperlakukan setara dan sederajat, masih menghadapi banyak rintangan.
Ini berarti kesetaraan dan kesederajatan masih menjadi impian kita bersama.
Karena itu, jalan menuju kesetaraan harus dirintis agar dapat dibangun
landasan bersama, sehingga akan terbuka cakrawala yang diimpikan tersebut.
Tiga problem pokok
Pengalaman yang kejam dan buruk tentang hak asasi manusia dan kemanusiaan
serta sejarah politik otoriter dan korupsi luar biasa yang berlangsung di
masa lalu telah menimbulkan kerusakan berat pada masyarakat kita. Saat ini
kita dibebani untuk mewarisi krisis ekonomi, ketidakberdayaan politik dan
sosial, serta macetnya proses penegakan hukum.
Dengan gambaran situasi itu, pada dasarnya setiap upaya perintisan jalan
menuju kesetaraan dipastikan mengandung tiga problem pokok yang harus
diatasi, yaitu hukum (justice), politik (negara), dan sosial (masyarakat).
Pertama, sistem hukum dan peradilan nasional masih banyak kendala yang
menghalanginya agar dapat sesuai dengan norma-norma dan hukum kebiasaan
internasional (international customary law) tentang hak asasi manusia bahwa
setiap orang diperlakukan setara. Adalah fakta bahwa partisipasi masyarakat
dan pada umumnya organisasi nonpemerintah dalam proses pembentukan hukum
(law making process), sebagai proses fundamental bagi seluruh pembentukan
sistem hukum dan peradilan, telah menjadi mata rantai yang paling lemah di
Indonesia.
Kedua, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia menuntut
secara politik tentang pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab negara
(state obligation and responsibility) terhadap semua warganya tanpa
diskriminasi. Orang-orang yang terabaikan dan dilanggar hak-haknya
membutuhkan sebuah negara yang bertanggung jawab untuk merintis penyelesaian
yang adil melalui reformasi politik dan hukum. Dengan proses ini maka mereka
yang terlanggar haknya akan memperoleh hasil yang bermanfaat berkat advokasi
seperti itu.
Ketiga, norma-norma hak asasi manusia termasuk tiga prinsipnya --tanpa
diskriminasi, imparsialitas, dan universalitas-- tidak akan berguna bila
berbagai kalangan masyarakat tidak mengembangkannya sebagai bagian dari
etika politik dan etos sosial. Begitu luasnya pengaruh normatif dan etika
tentang kewajiban warga untuk mengabdi kepada negara telah mengakibatkan
pandangan masyarakat menjadi terjungkir balik. Negara sebagai alat bagi
kepentingan semua orang, seharusnya menjadi 'pelayan' warga.
Negara sebagai 'pelayan' kepentingan warga harus segera dimajukan untuk
dijadikan sebagai pandangan umum dalam menimbulkan kesadaran tentang hak-hak
mereka yang wajib dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh negara. Sehingga
dimungkinkan tumbuhnya norma-norma dan etika tentang kewajiban dan tanggung
jawab negara kepada warganya.
Harapan dan solidaritas
Harapan menuju kesetaraan --perlakuan yang setara tanpa memandang asal dan
warna-- perlu dirintis bersama agar segera bisa dihindarkan banyak orang
menjadi korban diskriminasi, kekerasan negara (state violence), serta
perlakuan kejam (cruel treatment) dan tidak manusiawi (inhuman).
Kaum perempuan dan golongan minoritas adalah golongan yang rawan dalam
perlakuan diskriminasi. Anak-anak rawan dari perlindungan dan pengembangan
diri. Generasi muda rawan pada tekanan sosial dan ekonomi. Pekerja atau
buruh yang telah mengabdikan kerjanya, rawan kehilangan pekerjaan. Para
tersangka dan tahanan juga rawan pada perlakuan yang kejam dan tidak
manusiawi.
Berbagai kebiasaan dan praktik diskriminasi, kurangnya perlindungan, tekanan
ekonomi dan kemiskinan, perlakuan kejam dan tidak manusiawi telah
menciptakan kondisi sosial kaum perempuan dan golongan minoritas, anak-anak
dan generasi muda, kaum pekerja, serta para tersangka dan tahanan, berada
dalam kedudukan yang lemah.
Kaum perempuan dan golongan minoritas memerlukan perlakuan yang sama tanpa
diskriminasi, tanpa memandang dari mana mereka berasal dan apa pula warna
yang melekat pada mereka. Asal-usul dan warna-warni perlu dipandang sebagai
bentuk kekayaan budaya. Anak-anak membutuhkan perlindungan dan pendidikan.
Mereka membutuhkan perhatian khusus, dengan harapan mereka tidak terlantar
dan hidup sengsara, tidak terserang berbagai penyakit, serta tidak pula
putus sekolah.
Generasi muda memerlukan jalan yang lebih terbuka guna mengatasi masalah
ekonomi dan sosial, untuk meraih pekerjaan serta membebaskan mereka dari
pengangguran di masa depan. Kaum pekerja yang telah mengabdikan kerjanya
untuk menghidupi berbagai perusahaan dan menyetorkan pajak penghasilan bagi
negara --dengan dalih krisis-- hendaklah dimungkinkan untuk tidak kehilangan
pekerjaan.
Rasa setia kawan, sikap toleran, dan dermawan sangat dibutuhkan bagi
perintisan jalan menuju kesetaraan. Sebab, tidak ada orang yang dapat
menjadi kuat dan memperoleh kekayaan semata-mata karena usahanya sendiri
tanpa dukungan orang lain. Perlu dicamkan, seseorang menjadi politikus atau
pejabat yang berkuasa karena bersumber dari mandat dan dukungan para
pendukungnya. Seseorang menjadi pengusaha yang sukses karena ditopang oleh
para pekerja dan manajernya.
Dengan dasar itulah maka mereka yang kuat tidak lantas hanya mau menang dan
menyombongkan diri. Namun, bersedia untuk berbagi dengan sesama dan memberi
dukungan yang seimbang untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi oleh
mereka yang lemah.
Pasti, jalan menuju kesetaraan membutuhkan dukungan semua pihak. Ia bukan
jalan eksklusif bagi satu golongan. Jalan menuju ke sana adalah jalan
bersama. Pada hakikatnya jalan semua orang --semua manusia-- tanpa
eksklusivitas.
Secara bersama-sama kita rintis jalan itu. Kita bekerja bersama-sama pula.
Membangkitkan rasa setia kawan, sikap terbuka, toleran, dan dermawan secara
bersama-sama, sehingga tidak ada yang merasa ditinggalkan.***