[Nasional-m] 155 Anggota DPR/MPR Belum Serahkan Daftar Kekayaan

Ambon nasional-m@polarhome.com
Fri Aug 23 10:48:02 2002


Kompas
Jumat, 23 Agustus 2002

Pengumuman KPKPN
155 Anggota DPR/MPR Belum Serahkan Daftar Kekayaan

Jakarta, Kompas - Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN),
Kamis (22/8), mengumumkan 155 nama anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang belum juga mengembalikan daftar
kekayaannya. Pengumuman 88 anggota MPR dan 67 anggota DPR tersebut merupakan
hukuman moral atas keengganan wakil rakyat melaksanakan perintah
Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
"Kita akan menunggu reaksi anggota DPR/MPR selama satu atau dua minggu ke
depan. Berapa yang mengembalikan akan kami catat, yang tidak akan kami
laporkan kepada polisi dengan memakai ketentuan Pasal 216 KUHP atau
melaporkannya ke pengadilan (sebagai perbuatan melawan hukum-Red)," ujar
Ketua Sub-Komisi Legislatif KPKPN Abdullah Hehamahua.
Dari 155 nama anggota DPR/ MPR yang diumumkan KPKPN, terdapat beberapa nama
pimpinan DPR/MPR, pemimpin partai, serta figur publik. Mereka antara lain
Wakil Ketua MPR Agus Widjojo, Ketua Fraksi Utusan Daerah MPR Oesman Sapta,
Ketua DPP PDI-P Lukas Karl Degey, Ketua Fraksi Partai Golkar MPR Fachmi
Idris, Tutty Alawiyah, dan Subiakto Tjakrawerdaya.
Hehamahua mengatakan, sebelum mengumumkan 155 nama wakil rakyat itu, KPKPN
telah memberikan peringatan secara tertulis tiga kali. Pada peringatan kedua
tanggal 6 Maret 2002, KPKPN mengumumkan kepada publik nama 157 anggota DPR
dan tanggal 16 April 2002 sebanyak 92 anggota MPR. Namun, dalam kurun lima
bulan, hanya 65 anggota DPR/MPR yang mengembalikan formulir kekayaannya.
Alasan anggota DPR/MPR memang macam-macam. Ada yang bersifat teknis seperti
kesulitan mengumpulkan dokumen pendukung kekayaan atau pengisian formulir
yang rumit. Ada pula yang bersifat nonteknis seperti pengumuman kekayaan
akan mengganggu privasi penyelenggara negara.
"Malah ada seorang mantan menteri Orde Baru mengatakan tidak mau
mengembalikan formulir kekayaannya karena ia merasa tidak melakukan KKN,"
ujar Hehamahua.
Kalaupun beberapa nama yang diumumkan sudah tidak duduk di DPR dan MPR lagi,
katanya, bukan berarti sudah lepas kewajiban mereka melaporkan harta. Sebab,
UU No 28/ 1999 memerintahkan pemeriksaan harta dilakukan sebelum, semasa,
dan setelah menjabat.
Ia mengemukakan, untuk alasan teknis, KPKPN sebenarnya tidak terlalu ketat
menerapkan peraturan. Kelengkapan dokumen dapat disusulkan setelah formulir
diserahkan, sementara kesulitan pengisian sudah ada buku panduan.
"Kalau dirasakan sulit juga, KPKPN selalu siap sedia setiap waktu untuk
memberi penjelasan. Namun, kalau karena alasan privasinya terganggu, lebih
baik dia jangan jadi wakil rakyat. Selaku public figure, rakyat berhak
mengambil sebagian dari privasinya," Hehamahua menjelaskan.
Tidak sengaja
Wakil Ketua MPR dari unsur Fraksi TNI/Polri Letjen Agus Widjojo yang
dihubungi terpisah mengakui belum menyerahkan formulir kekayaan kepada
KPKPN. Keterlambatan tersebut disebabkan perpin-dahan tugasnya dari Markas
Besar TNI ke DPR/MPR dan untuk memenuhi persyaratan-persyaratan dari KPKPN.
"Tidak ada unsur kesengajaan untuk tidak menyerahkan formulir tersebut. Ini
hanya masalah teknis saja dan sekarang saya sudah siap untuk
menyerahkannya," kata Agus.
Mengenai banyaknya anggota Fraksi TNI/Polri yang belum menyerahkan formulir
KPKPN, menurut penasihat Fraksi TNI/ Polri itu, mungkin disebabkan perbedaan
penafsiran ketentuan terhadap anggota Fraksi TNI/Polri yang sudah tidak
aktif lagi di DPR/ MPR. Sebagian besar dari nama-nama anggota Fraksi TNI/
Polri yang diumumkan KPKPN sudah diganti.
Penasihat Fraksi PDI-P DPR Imam Mundjiat mengaku belum menyerahkan karena
kesulitan mencari bukti-bukti kekayaannya seperti dipersyaratkan KPKPN. Ia
juga berjanji segera menyerahkan formulirnya ke KPKPN begitu persyaratan
dipenuhi.
"Untuk mencari surat misalnya mobil yang sudah dijual, saya mesti mengecek
ke Balikpapan. Rumit betul prosesnya. Tadinya saya menganggap harta saya
tidak terlalu banyak sehingga tidak terlalu penting untuk meninjau kembali
formulir. Nanti akan saya proses lagi," ujar Imam, yang juga Ketua DPD PDI-P
Kalimantan Timur.
Ketua Fraksi Utusan Daerah (F-UD) di MPR Oesman Sapta mengatakan bahwa
dirinya berniat melaporkan harta kekayaannya kepada KPKPN. Kalaupun hingga
saat ini belum menyerahkan, hal itu lebih disebabkan persoalan teknis, bukan
oleh sebab lain.
"Saya ini kan pengusaha. Aset-aset saya selama ini banyak dan tidak tercatat
rapi. Sehingga, kalau dilaporkan keliru, nanti bagaimana? Bisa-bisa saya
dianggap melanggar hukum. Karena itu, saya ingin lebih cermat," ucapnya.
Oesman juga menegaskan bahwa sebagai anggota MPR yang juga pengusaha, ia
malah merasa beruntung didesak KPKPN untuk melaporkan seluruh harta
kekayaan. Sebab, jika pada masa sebelumnya tidak tahu-menahu soal harta
kekayaan pribadi yang terinci, kini menjadi terdorong untuk merapikan aset
yang dimiliki. "Jadi, ini soal waktu saja," tandasnya lagi.
Sementara itu, tentang batas waktu yang tinggal dua minggu untuk menyerahkan
laporan, ia mengatakan akan berupaya semaksimal mungkin melengkapi formulir.
Namun, ia juga berharap pada KPKPN memberikan toleransi bila ada pelaporan
yang terlewatkan.
Melanggar Kode Etik DPR
Berdasarkan undang-undang dan peraturan pelaksanaannya, tenggat pengembalian
formulir kekayaan penyelenggara negara hanya 14 hari setelah formulir
diterima. Dalam kaitan ini, KPKPN telah memberikan toleransi lebih dari satu
setengah tahun. Kecuali terhadap anggota DPR dan MPR yang merupakan
pengganti antarwaktu selama tiga bulan.
Selain melanggar Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas KKN, khusus anggota DPR juga telah melanggar
kode etik buatan mereka sendiri. Pasal 9 Kode Etik DPR yang disahkan tanggal
16 Oktober 2001 berbunyi, Anggota (DPR) wajib melaporkan kekayaannya secara
jujur dan benar, sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan.
Selain sanksi moral, Hehamahua meminta kepada pemimpin partai politik
menjatuhkan sanksi internal terhadap anggotanya di DPR/MPR. Misalnya tidak
diberi jabatan di partai atau tidak dicalonkan lagi dalam pemilu berikutnya.
Ancaman tidak dicalonkan lagi bila tidak melaporkan hartanya kepada KPKPN
pernah diungkapkan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri beberapa waktu
lalu. Namun, realisasi ucapan itu masih akan dibuktikan tahun 2004 nanti.
Hehamahua juga meminta kepada masyarakat untuk menjatuhkan sanksi budaya
kepada anggota DPR dan MPR. Bentuknya bisa dengan tidak menghadiri undangan
atau tidak mengundang wakil rakyat dalam hajatan yang digelar.
"Saya setuju dengan fatwa ulama NU agar para koruptor Muslim yang meninggal
dunia tidak dishalatkan. Bentuk-bentuk hukuman seperti ini yang sebenarnya
perlu diterapkan di masyarakat," tandas Hehamahua. (SUT/SAH/BUR).
Search :










Berita Lainnya :
•155 Anggota DPR/MPR Belum Serahkan Daftar Kekayaan
•FOTO: Memakai Masker
•Investasi Jeblok, Istri Tak Berani Pulang ke Rumah
•Kinerja Instansi di NTB Memprihatinkan
•Paraguay Permalukan Brasil
•Pemberhentian Gubernur Kalsel Tak Berpijak UU
•Perampokan Bersenjata, 75.000 Dollar AS Amblas
•Perubahan UUD 1945 Masih Menganut Perspektif Lama
•QSAR Kolaps, Ribuan Investor Berebut Aset