[Nasional-m] KKG: MEMBANGUN KEKUATAN NASIONAL UNTUK KEMANDIRIAN BANGSA bag. 1/3

nasional-m@polarhome.com nasional-m@polarhome.com
Mon Aug 26 00:01:51 2002


MEMBANGUN KEKUATAN NASIONAL UNTUK KEMANDIRIAN BANGSA bag. 1/3

Oleh Kwik Kian Gie

Dalam rangka memperingati 100 tahun Bung Hatta Tanggal 19 Agustus 2002
Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Panitya Nasional Peringatan 100
tahun Bung Hatta, dan merasa sangat terhormat dijadikan pembicara utama
dalam kesempatan ini. Kepada Keluarga Besar Bung Hatta saya mengucapkan
selamat atas ulang tahunnya yang ke 100. Tidak berlebihan rasanya kalau
dikatakan bahwa bangsa Indonesia beruntung dikaruniai oleh Tuhan salah
seorang putera terbaiknya yang memenuhi panggilan zamannya dengan
memerdekakan bangsa Indonesia, yang memainkan peran penting dalam
meletakkan landasan dan dasar-dasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tanpa mengurangi ruang lingkup kiprah Bung Hatta dalam pembentukan negara
bangsa, perannya terbesar adalah dalam bidang ekonomi dengan
pikiran-pikirannya tentang bagaimana mengisi kemerdekaan dengan pembangunan
ekonomi yang mewujudkan kemakmuran dan keadilan dalam pembagian manfaatnya.

Secara pribadi saya merasa bersyukur dan merasa bangga bahwa saya
memperoleh kesempatan beberapa kali berdiskusi dengan Bung Hatta tentang
berbagai hal, antara lain tentang alma mater kita, yaitu Nederlandsche
Handelshoogeschool yang meningkatkan diri menjadi Nederlandse Economische
Hogeschool dan kemudian memperluas dirinya menjadi Erasmus Universiteit
Rotterdam sampai sekarang.

Kesemuanya ini membuat saya lebih-lebih lagi merasa bahagia dapat
bersumbang saran pada rangkaian diskusi hari ini.

Para Hadirin Yth.,

Aneh rasanya bahwa 57 tahun setelah kita merdeka dan berhasil membentuk
negara bangsa yang berbentuk kesatuan dalam kemajemukan, kita merasa perlu
berbicara tentang  "Membangun Kekuakatan Nasional untuk Kemandirian
Bangsa." Bukankah kita sudah lama merdeka dan berdaulat yang dengan
sendirinya juga mandiri ?

Marilah kita lihat kenyataan dewasa ini. Negara kita yang kaya akan minyak
telah menjadi importir neto minyak untuk kebutuhan bangsa kita. Negara yang
dikaruniai dengan hutan yang demikian luas dan lebatnya sehingga
menjadikannya negara produsen eksportir kayu terbesar di dunia dihadapkan
pada hutan-hutan yang gundul dan dana reboisasi yang praktis nihil karena
dikorup. Walaupun telah gundul, masih saja terjadi penebangan liar yang
diselundupkan ke luar negeri dengan nilai sekitar 2 milyar dollar AS.
Sumber daya mineral kita dieksploitasi secara tidak bertanggung jawab
dengan manfaat terbesar jatuh pada kontraktor asing dan kroni Indonesianya
secara individual. Rakyat yang adalah pemilik dari bumi, air dan segala
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya memperoleh manfaat yang sangat
minimal.

Ikan kita dicuri oleh kapal-kapal asing yang nilainya diperkirakan antara 3
sampai 4 milyar dollar AS. Hampir semua produk pertanian diimpor. Pasir
kita dicuri dengan nilai yang minimal sekitar 3 milyar dollar AS. Republik
Indonesia yang demikian besarnya dan sudah 57 tahun merdeka dibuat lima
kali bertekuk lutut harus membebaskan pulau Batam dari pengenaan pajak
pertambahan nilai setiap kali batas waktu untuk diberlakukannya pengenaan
PPn  sudah mendekat. Semua orang menjadikan tidak datangnya investor asing
menjadi ancaman untuk semua sikap yang sedikit saja mencerminkan pikiran
yang mandiri.

Industri-industri yang kita banggakan hanyalah industri manufaktur yang
sifatnya industri tukang jahit dan perakitan yang bekerja atas upah kerja
dari para majikan asing dengan laba yang berlipat-lipat ganda dari upah
atau maakloon yang membuat pemilik industri perakitan dan industri
penjahitan itu cukup kaya atas penderitaan kaum buruh Indonesia seperti
yang dapat kita saksikan di film "New Rulers of the World" buatan John
Pilger. Pembangunan dibiayai dengan utang luar negeri melalui organisasi
yang bernama IGGI/CGI yang penggunaannya diawasi oleh lembaga-lembaga
internasional. Sejak tahun 1967 setiap tahunnya pemerintah mengemis utang
dari IGGI/CGI sambil dimintai pertanggungan jawan tentang bagaimana dirinya
mengurus Indonesia ? Anehnya, setiap tahun mereka bangga kalau utang yang
diperoleh bertambah. Mereka merasa bangga dapat memberikan pertanggungan
jawab kepada IGGI ketimbang kepada parlemennya sendiri. Utang dipicu terus
tanpa kendali sehingga sudah lama pemerintah hanya mampu membayar cicilan
utang pokok yang jatuh tempo dengan utang baru atau dengan cara gali lubang
tutup lubang. Sementara ini dilakukan terus, sejak tahun 1999 kita sudah
tidak mampu membayar cicilan
pokok yang jatuh tempo. Maka dimintalah penjadwalan kembali. Hal yang sama
diulangi di tahun 2000 dan lagi di tahun 2002. Kali ini pembayaran bunganya
juga sudah tidak sanggup dibayar sehingga juga harus ditunda pembayarannya.

Jumlahnya ditambahkan pada utang pokok yang dengan sendirinya juga
menggelembung  yang mengandung kewajiban pembayaran bunga oleh pemerintah.
Bank-bank kita digerogoti oleh para pemiliknya sendiri. Bank yang kalah
clearing dan harus diskors diselamatkan oleh Bank Indonesia dengan
menciptakan apa yang dinamakan fasilitas diskonto. Setelah itu masih kalah
clearing lagi, dan diselamatkan lagi dengan fasilitas diskono ke II. Uang
masyarakat yang dipercayakan kepada bank-bank dalam negeri dipakai sendiri
oleh para pemilik bank untuk mendanai pembentukan konglomerat sambil
melakukan mark up. Pelanggaran Legal Lending Limit dilanggar selama
bertahun-tahun dalam jumlah yang menghancurkan banknya dengan perlindungan
oleh Bank Indonesia sendiri. Maka ketika krisis ekonomi melanda Indonesia
di akhir tahun 1997, terkuaklah betapa bank sudah hancur lebur.

Kepercayaan masyarakat menurun drastis. Rupiah melemah dari Rp. 2.400 per
dollar menjadi Rp. 16.000 per dollar. Dalam kondisi yang seperti ini
Indonesia yang anggota IMF dan patuh membayar iurannya menggunakan haknya
untuk minta bantuan.

Kita mengetahui bahwa paket bantuan dari IMF disertai dengan
conditionalities yang harus dipenuhi oleh pemerintah Indonesia. Namun tidak
kita perkirakan semula bahwa isinya demikian tidak masuk akal dan demikian
menekan serta merugikannya. Juga tidak kita perkirakan pada awalnya bahwa
kehadiran IMF di Indonesia menjadikan semua lembaga internasional seperti
CGI, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia bersatu padu dalam sikap dan
persyaratan di bawah komando IMF. IMF mensyaratkan bahwa pemerintah
melaksanakan kebijakan dan program yang ditentukan olehnya, yang dituangkan
dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) atau lebih
memasyarakat dengan nama Letter of Intent atau LOI.

Bank Dunia setiap tahunnya juga menyusun apa yang dinamakan Country
Strategy Report tentang Indonesia yang harus dilaksanakan kalau tidak mau
diisolasi oleh negara-negara CGI yang sampai sekarang setiap tahun
memberikan pinjaman kepada Indonesia. Justru karena jumlah utang
keseluruhannya sudah melampaui batas-batas kepantasan dan prinsip
kesinambungan, untuk sementara dan entah sampai kapan kita tidak dapat
hidup tanpa berutang terus setiap tahunnya kalau kita tidak mau bahwa
puluhan juta anak miskin kekurangan gizi dan putus sekolah.

Kalau kita baca setiap LOI dan setiap Country Strategy Report serta setiap
keikut sertaan lembaga-lembaga internasional dalam perumusan kebijakan
pemerintah, kita tidak dapat melepaskan diri dari kenyataan bahwa yang
memerintah Indonesia sudah bukan pemerintah Indonesia sendiri. Jelas sekali
bahwa kita sudah lama merdeka secara politik, tetapi sudah kehilangan
kedaulatan dan kemandirian dalam mengatur diri sendiri.

Para Hadirin yang terhormat,

Kondisi ini sudah merupakan lingkaran setan yang disebabkan karena
terjerumusnya pemerintah kita ke dalam lubang yang disebut jebakan utang
atau debt trap. Karakteristiknya adalah yang secara populer dapat
digambarkan dengan kata "dilematis" atau "maju kena mundur kena."
Memerintah memang selalu harus memecahkahkan masalah-masalah dilematis
seperti ini, tetapi masalahnya tidak mendasar, masalahnya adalah
pilihan-pilihan yang sifatnya teknokratik. Kondisi dilematis yang kita
hadapi sekarang adalah kehilangan kemandirian dalam merumuskan kebijakan.
Karena itu masalahnya menjadi sangat mendasar, apakah putera puteri terbaik
bangsa kita yang masih belum menjual dirinya untuk dijadikan kroni atau
komprador dari bangsa-bangsa lain dibenarkan untuk hanya bertopang dagu,
ataukah melakukan terobosan-terobosan untuk keluar dari situasi dan kondisi
yang serba tidak lagi berdaulat dan mandiri.

Hari ini kita berbicara tentang "membangun kekuatan nasional untuk
kemandirian bangsa." Apa yang tersurat dan tersirat dari tema pokok diskusi
hari ini ? Ada dua hal. Yang satu adalah bahwa kita memang sama-sama
merasakan atau bahkan meyakini bahwa setelah 57 tahun merdeka kita telah
kehilangan kemandirian. Yang lain adalah bahwa kita tidak mau menerimanya,
sehingga kita merasa perlu membangun kekuatan nasional untuk kemandirian
bangsa. Membangun kekuatan nasional tidak dapat dilepaskan dari semangat
nasionalisme. Pengertian nasionalisme itu memang dipertanyakan dalam dunia
yang sedang dalam arus besar globalisasi. Banyak kaum teknokrat kita yang
mempertanyakan apakah nasionalisme masih relevan sekarang ini ? Maka
masalah ini akan kami bahas cukup panjang lebar.

Kalau selama penjajahan yang tiga setengah abad lamanya itu kita dihadapkan
pada kekuatan senjata kaum penjajah, yang kita hadapi sekarang bukanlah
senjata, melainkan pikiran-pikiran yang membuat kita tidak dapat bergerak
secara merdeka. Mengapa ? Bukankah kita negara yang sudah merdeka dan
berdaulat penuh ? Memang, tetapi kalau kita berani melanggar
pikiran-pikiran yang dominan atau main stream thoughts dari masyarakat
internasional, kita dianggap melakukan pelanggaran kontrak, dianggap
melakukan contract breuk yang harus dihukum dengan diisolasinya Indonesia
dari masyarakat internasional. Beranikah kita menghadapi isolasi dengan
segala konsekwensinya ? Musuh kita untuk meraih kembali kemandirian bangsa
bukan hanya aturan main yang ditentukan oleh lembaga-lembaga internasional,
tetapi di dalam Indonesia diperkuat oleh sekelompok elit intelektual bangsa
Indonesia yang besar pengaruhnya dalam pembentukan opini publik, betapapun
tidak masuk akalnya pikiran-pikiran mainstream yang menjelma menjadi
aturan, konvensi, dogma dan doktrin yang bagaikan sabda Tuhan yang mutlak. 

Kita tidak mungkin memperoleh kembali kemandirian kalau kita tidak berani
melakukan terobosan yang inovatif dan kreatif. Inovasi dan kreativitas
memang selalu harus menerobos penghalang yang sudah menjadi aturan main,
konvensi, dogma dan doktrin. Namun untuk melakukan itu semuanya ada
biayanya, ada resikonya dalam bentuk kesengsaraan sementara. Ketika itu
nanti terjadi, adalah para komprador dan kroni bangsa kita sendiri yang
menghujat dan menakut-nakuti melalui penguasaan dan pengendalian
pembentukan opini publik. Ini tidak mengherankan. Dalam setiap zaman selalu
ada saja pengkhianat bangsa, komprador dan kroni yang dengan bangga dan
dengan senang hati menyediakan dirinya untuk melayani kepentingan
kekuatan-kekuatan global ketimbang membela kepentingan rakyatnya sendiri.
Dalam bidang ekonomi kelompok ini sangat kuat karena mereka berkesempatan
membangun jaringan nasional maupun internasional. Mereka adalah Mafia
Ekonom Orde Baru. 

Maka untuk meraih kemandirian, kita harus menggalang kekuatan nasional
untuk melibas atau paling tidak mengkerdilkan pengaruh Mafia Ekonom Orde
Baru itu.
Mereka tidak punya pendirian. Mereka sudah mulai berpengaruh ketika Bung
Karno mendirikan KOTOE. Mereka menjadi pemegang kendali mutlak selama zaman
Orde Baru. Dalam era Gus Dur, mereka melekatkan diri melalui pembentukan
berbagai dewan penasihat, tim asistensi dan sebagainya yang disponsori dan
dipaksakan kepada Gus Dur oleh kekuatan-kekuatan internasional. Dalam era
Megawati sekarang ini, mereka bahkan mengendalikan banyak Eselon I dan II
dari semua departemen dengan Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) yang rapi
bagaikan kabinet. Para angggotanya tidak patuh kepada Presiden Megawati,
tetapi kepada Presidennya sendiri yang dilengkapi dengan para Menteri tanpa
bentuk pula, tetapi de facto yang berkuasa atas bagian-bagian penting dari
birokrasi resmi.

Bagaimana caranya ? Slogan para komprador itu adalah bahwa nasionalisme
sudah mati dan tidak relevan lagi dengan arus globalisasi yang semakin hari
semakin deras. Doktrin mereka adalah bahwa Indonesia harus menjadi bagian
dari borderless world, tidak boleh memasang pagar apapun juga untuk
melindungi dirinya sendiri. Sistem lalu lintas devisa haruslah bebas
mengambang total, BUMN harus dijual kepada swasta, sebaiknya swasta asing,
karena hanya merekalah yang mampu mengurus perusahaan. Pendeknya
liberalisasi total, globalisasi total, dan asingisasi total. Slogan
propaganda mereka adalah "Apakah A Seng lebih baik daripada Asing ?", dan
"BUMN minta diinjeksi uang oleh pemerintah, tetapi perusahaan asing
membayar pajak kepada pemerintah."

Maka dalam rangka membangun kekuatan nasional, yang pertama harus kita
lakukan adalah menumbangkan doktrin-doktrin anti nasionalisme yang terus
menerus tanpa bosannya harus kita ulangi lagi dan ulangi lagi. Cara inilah
yang diterapkan oleh Bung Karno dalam menggalang kekuatan nasional. Mafia
Ekonom Orde Baru paham betul tentang hal ini. Itulah sebabnya mereka
mencemooh yang ingin menggalang kekuatan nasional melalui kampanye atau
pengulangan tentang yang salah dan perbaikannya akan diperjuangkan sebagai
membosankan, tidak mempunyai pokok pembicaraan lain, sudah kuno, dan
seterusnya.

Marilah kita bahas apakah benar bahwa nasioanlisme memang sudah mati dan
tidak relevan lagi ? Tidak dapat dipungkiri bahwa tatanan dunia telah
berubah banyak, dan globalisasi adalah hal yang riil. Namun kalau dikatakan
bahwa nasioanlisme sudah mati dan tidak relevan lagi adalah kesalahan
besar. Lagi-lagi adalah kelompok Mafia Ekonom Orde Baru yang sangat gigih
menyuarakan bahwa  nasionalisme adalah bagaikan katak dalam tempurung,
hanya dianut oleh orang-ornag kuno yang tidak berpendidikan dan sudah
sangat ketinggalan zaman tentang bagaimana dunia bekerja.

Presiden George W. Bush, baik dalam tutur katanya maupun dalam
simbolisme-nya jelas seorang nasionalis sejati. Setiap hari dia menyematkan
pin bendera Amerika Serikat pada dadanya, hal yang dilakukan oleh banyak
dari para menterinya. Lebih dari itu, Bush menganjurkan supaya setiap orang
Amerika setiap harinya menyematkan bendera Amerika di dadanya, dan hampir
setiap department store menjualnya. Sebaliknya dengan susah payah saya
mencari pin bendera merah putih di Jakarta dan tidak berhasil dengan
kwalitas yang baik. Akhirnya saya membelinya dari Amerika melalui internet.

Sekarang dengan mengacu pada pengalaman di tahun 1942, semua majalah di
Amerika dianjurkan untuk memasang bendera Amerika pada cover-nya.
Kata-katanya adalah : "July 1942 United we stand. In July 1942, America's
magazine publishers joined together to inspire the nation by featuring the
American flag on their covers. Be inspired." Bagaimana Mafia Ekonom Orde
Baru ? Beranikah Anda menghujat Amerika sebagai ketinggalan zaman, katak
dalam tempurung, tidak mengerti globalisasi dan seterusnya ?

Pada tanggal 18 Maret 2002 Uni Eropa berkumpul di Barcelona
menyelenggarakan konperensi tingkat tinggi yang kesimpulannya penuh dengan
nasionalisme Eropa. Memang sudah bukan negara-negara Eropa secara
individual, tetapi menjadi Uni Eropa. Jelas sekali semangat kebangkitan
kembali nasioanlisme Eropa yang terang-terangan membandingkan dirinya
dengan Amerika Serikat dengan semangat yang tidak mau kalah. Kita tidak
perlu mengemukakan fakta-fakta betapa Malaysia, Jepang dan RRC tidak pernah
tidak nasionalistis.

Jauh sebelum itu, Edith Cresson sebagai Menteri Perdagangan Perancis
membeli paberik elektronik Thomson dengan teknologi primitif untuk
dijadikan BUMN. 
Paberik ini dibeli dan dijadikan BUMN karena kalah bersaing dengan Jepang
dan mengalami kerugian besar. Ketika ditanya oleh parlemen Perancis
mengapa, karena tidak menguasai hajat hidup orang banyak, dijawab bahwa dia
tidak bisa melihat pasaran cosumers electronics Perancis di dominasi oleh
Jepang.

Bukankah ini nasionalisme ? Ataukah harus dikatakan bahwa parlemen Perancis
adalah katak dalam tempurung ?

Philips membeli Grundig yang adalah saingannya dan hampir bangkrut. Ketika
saya tanyakan langsung kepada Prof. Dekker, Komisaris Utama Philips dia
menjawab bahwa dia tidak bisa menerima pasaran elektronik Jerman didominasi
oleh Jepang.

Ketika Hollywood dibeli oleh Sony, Sony dibuat bangkrut oleh para artis
yang menandatangani kontrak dan terang-terangan tidak muncul ketika harus
dibuat filmnya. Mereka menantang Sony supaya semua artis dituntut. Apakah
sikap ini bukan nasionalisme Amerika ? Dan apakah ini nasionalisme sempit ?

Ketika IMF menekan kami untuk membebaskan bea masuk beras dan gula sampai
nol persen, Eropa, Amerika dan Jepang memberlakukan bea masuk yang tinggi
untuk produk-produk pertanian demi melindungi para petaninya. Apakah itu
bukan nasionalisme, yang bahkan sangat tidak adil dan mau menangnya sendiri
?

Dengan mengatakan ini saya menjalani resiko disebut kampungan, karena hanya
dapat menyebutkan fakta-fakta dari negara lain, tetapi tidak mempunyai daya
nalar untuk menjelaskan mengapa nasionalisme masih relevan dalam era
globalisasi yang semakin dipicu oleh revolusi micro chips dan revolusi
telekomunikasi yang masih belum berakhir ?

Mungkin saya kampungan. Namun izinkanlah saya memeras otak mencoba memahami
fenomena yang sedang berlangsung tanpa memusnahkan bangsa sendiri, dan
tanpa membuat bangsa kita menjadi kuli di negaranya sendiri dan menjadi
bangsa kuli dari bangsa-bangsa lainnya di dunia.

Bersanbung kebag. 2/3