[Nasional-m] KKG: MEMBANGUN KEKUATAN NASIONAL UNTUK KEMANDIRIAN BANGSA bag. 2/3

nasional-m@polarhome.com nasional-m@polarhome.com
Mon Aug 26 00:01:56 2002


MEMBANGUN KEKUATAN NASIONAL UNTUK KEMANDIRIAN BANGSA bag. 2/3

Oleh Kwik Kian Gie

Para Hadirin Yth.,

Tadi telah saya katakan bahwa kita tidak mungkin membangun kekuatan
nasional tanpa dilandasi oleh semangat nasionalisme, karena semangat
nasionalisme itulah yang merupakan ruhnya kekuatan nasional. Tetapi
nasionalisme itu sendiri sekarang di persimpangan jalan. Maka marilah kita
berupaya memperoleh kejelasan terlebih dahulu tentang hal ini.

Memang harus diakui bahwa walaupun kita telah merdeka 57 tahun lamanya,
pengertian dan penghayatan nasionalisme oleh banyak orang, dibawah sadarnya
masih banyak didominasi oleh nasionalisme pra kemerdekaan, baik yang
membela maupun yang menentangnya, termasuk Mafia Ekonom Orde Baru. Karena
itulah Mafia Ekonom Orde Baru tidak dapat membayangkan adanya perasaan
nasionalisme yang dapat bersinergi dengan globalisasi. Nasionalisme pra
kemerdekaan fokusnya sederhana dan tunggal, yaitu menumbangkan resim
kolonial untuk menjadi negara yang merdeka dan berdaulat. Apakah founding
fathers kita tidak pernah memikirkan apa yang harus dilakukan oleh bangsa
Indonesia setelah memperoleh kemerdekaannya, serta apa tujuan yang lebih
lanjut dari sekedar merdeka secara politik ? Kalau kita mempelajari sejarah
perjuangan kemerdekaan bangsa kita, jelas sekali jangakauan pemikiran para
founding fathers kita yang sangat luas dan jauh kedepan. Bung Hatta sendiri
merupakan monumen dalam pemikiran pembangunan ekonomi. Tetapi karena
perjuangan kemerdekaan itu sendiri adalah perjuangan yang panjang dan
sangat berat, fokus segala pemikiran dan upaya memang seolah-olah hanya
terpusat pada kemerdekaan politik belaka. Kemudian setelah kita merdeka,
kita langsung dihadapkan pada masalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan
sebagai nation state yang kokoh dan bersatu padu. Segala pemikiran dan
upaya disedot oleh pemahaman dan penghayatan negara bangsa, atau oleh
nation and character building. Yang saya rasakan, betapa sedikitnya
generasi saya (apalagi generasi muda sekarang) yang memahami dan menghayati
betapa sulitnya menempa penduduk negara kepulauan kita menjadi satu bangsa
kesatuan, terutama setelah dijajah dengan politik divide et empera selama
3,5 abad.

Kurangnya penghayatan inilah yang membuat banyak di kalangan elit kita
mencemooh Bung Karno sebagai diktator demagoog yang hanya pandai mengombang
ambingkan sentimen massa dengan retorikanya yang kosong dan keblinger,
tetapi tidak becus mengurus perekonomian negaranya. Namun banyak juga yang
bisa melihat sisi lain dari periode kepemimpinannya, yaitu panggilan
sejarah untuk memimpin  di dalam sebuah periode pembentukan persatuan dan
kesatuan negara bangsa yang baru saja merdeka, tetapi bangsa yang sangat
pluralistik dengan kepulauannya, yang selama 3,5 abad dijajah dengan cara
divide et empera tadi. Maka bagi saya, periode antara 1945 sampai 1966
adalah periode perjuangan keras dan sulit, melalui segala trial and
errors-nya untuk tiba pada pembentukan nasion dan karakter bangsa dengan
negara kesatuan yang mengenal sistem kabinet presidensiil, yang terobsesi
terhadap pengambilan keputusan secara musyawarah dan mufakat, tetapi tidak
mengharamkan pemungutan suara kalau alternatifnya adalah tanpa keputusan
atau kekalutan.

Dan karena itu, menjadi negara bangsa yang demokrasinya bisa menghindari
diktatur mayoritas dan tirani minoritas. Bangsa yang tidak menganut faham
bahwa konsensus nasional adalah 50 % ditambah 1. Bangsa yang secara moril
melalui obesesi musyawarah mufakat selalu mendengarkan dan mencoba
meyakinkan minoritas sampai habis-habisan sebelum mengambil jalan pintas
melalui pemungutan suara. Bangsa, yang partai mayoritasnya tidak
meninggalkan ruang sidang untuk ke WC atau minum kopi selama partai
minoritas berbicara, dan hanya masuk untuk menolak segala usulannya. Tetapi
bangsa yang mayoritasnya terobsesi untuk mencapai keputusan secara
musyawarah dan mufakat, sehingga mendengarkan dan menanggapi minoritas
secara sungguh-sungguh, walaupun minoritasnya hanya 10% saja. Pembentukan
bangsa bercirikan pluralistik yang mempunyai satu bahasa nasional. Bangsa
dengan toleransi beragama yang sulit dicari duanya. Masih segar di dalam
ingatan kita keinginan Quebec di Kanada untuk memisahkan diri karena
kesatuan bahasa mereka yang lain dengan bagian-bagian lain dari Kanada,
yaitu Perancis versus Inggeris. Masih kita saksikan sampai sekarang betapa
bangsa Irlandia yang letaknya di Eropa Barat itu masih saling membunuh
karena perbedaan agama. Masih segar juga di ingatan kita betapa bangsa
Belgia yang sekecil itu dan juga terletak di Eropa Barat masih saling
membunuh karena perbedaan bahasa di kalangan mereka. Kalau kita tempatkan
kondisi kita dalam perspektif ini, sia-siakah periode antara 1945 dan 1966
yang diwarnai oleh pergulatan keras dan tampak semerawut itu untuk
pembentukan nasion dan karakter ? Dan apakah itu bukan nasionalisme yang
masih besar dampak poistifnya sampai hari ini ? Bung Karno juga dicemooh
sebagai orang yang suka gemerlapan, suka terhadap proyek-proyek mercu suar.

Yang dijadikan ajang ejekan ketika itu adalah pembangunan Hotel Indonesia,
Tugu Monumen Nasional dan jalan-jalan raya Thamrin, Jenderal Sudirman,
Jenderal Gatot Subroto, bypass ke Tanjung Priok dan sebagainya. Tetapi
begitu berkuasa, para pengejek itu langsung saja membangun proyek-proyek
yang jauh lebih banyak dan jauh lebih megah daripada era Bung Karno.
Kantor-kantor pemerintah dibangun sebagai gedung-gedung pencakar langit
yang sangat mewah, walaupun dibiayai dengan utang. Sebaliknya, dapatkah
kita membayangkan apa jadinya Jakarta sekarang tanpa jalan-jalan tersebut ?
Dalam waktu singkta, jalan-jalan yang dinamakan mercu suarnya Bung Karno
itu menjadi macet, dan para teknokrat Mafia Ekonom Orde Baru merasa
wajar-wajar dan sah-sah saja membangun jalan tol yang dimonopoli oleh Ibu
Tutut Soeharto. Bisakah kita membayangkan bagaimana Jakarta tanpa Hotel
Indonesia sebelum munculnya hotel-hotel berbintang lainnya ? Hotel
Indonesia juga menjadi kerdil dalam waktu singkat, dan para teknokrat Mafia
Ekonom Orde Baru itu merasa wajar-wajar dan sah-sah saja bahwa kredit dalam
jumlah raksasa dipakai untuk mendanai pembangunan hotel-hotel mentereng,
terutama Hotel Grand Hyatt dengan serampangan yang akhirnya menjadi macet
semuanya.

Setelah semua bank rusak, para teknokrat Mafia Ekonom Orde Baru juga merasa
normal-normal saja bahwa pemerintah menginjeksi dengan surat utang yang
berpotensi membengkak sampai menjadi kewajiban membayar dengan jumlah
ribuan trilyun rupiah. Mengapa ? Karena IMF menganggap wajar. Dengan
mengemukakan ini semuanya, saya hanya ingin mengingatkan betapa tipisnya
apresiasi dan penghayatan kita terhadap perspektif sejarah dari
nasionalisme, yang dari periode ke periode mempunyai panggilan zamannya
sendiri-sendiri, yang membutuhkan gaya kepemimpinan yang sendiri-sendiri
pula, dan yang mempunyai prioritasnya sendiri-sendiri pula, karena
keterbatasan kita sebagai manusia untuk melakukan segalanya seketika.

Bagi saya, periode antara 1945 sampai 1966 adalah periode pembentukan
negara bangsa yang produktif dan telah menghasilkan kehidupan bernegara dan
berbangsa seperti yang saya gambarkan tadi. Eksesnya ada, tetapi zaman apa
yang tidak membawa ekses ? Periode ini adalah tahap akhir dari nasionalisme
lama.

Dengan nasion seperti itu sebagai landasan, kita memulai periode baru di
tahun 1966 dibawah kepemimpinan Pak Harto. Periode ini bercirikan
pembangunan ekonomi secara pragmatik dan teknokratik. Stabilitas sebagai
syarat mutlak bagi pembangunan ekonomi yang berkesinambungan diserahkan
kepada ABRI. Strategi pembangunan diserahkan kepada kaum teknokrat yang
berintikan para cendekiawan dari Universitas Indonesia. Kekalutan moneter
ditanggulangi dengan terbosoan-terobosan sanering uang panas. Inflasi yang
600% diturunkan sampai pada proporsi yang wajar melalui penarikan uang
dengan insentif pemutihan modal dan bunga deposito yang sampai 60% setahun.

Hubungan dengan lembaga-lembaga internasional dan dengan negara-negara
Barat yang membeku dibuka kembali, yang memungkinkan mengalirnya bantuan
luar negeri dan investasi modal asing. Berbagai insentif bagi penanaman
modal, baik asing maupun dalam negeri diberikan, seperti yang tertuang di
dalam undang-undang PMA dan PMDN. Hasilnya menjakjubkan. Angka-angka
statistik mengenai pertumbuhan meyakinkan, sedangkan secara fisik dapat
kita saksikan, bahwa praktis tidak ada lagi jalan yang berlubang-lubang.
Sandang dan pangan serba cukup kalau dibandingkan dengan situasi tahun
1965-1966.  Di kota-kota kecil dan pedesaan kita saksikan kemakmuran dan
kesejahteraan yang mencolok kalau dibandingkan dengan tahun 1965-1966. Di
perkotaan, terutama di Jakarta, asalkan kita tidak memasmuki daerah-daerah
kumuh, kita tidak merasa berada di negara yang sedang berkembang.
Jalan-jalan macet dengan mobil yang harganya ratusan juta sampai milyaran
rupiah. Para entrepreneur dan eksekutif berlalu lalang di restoran-restoran
dan hotel-hotel termahal yang harganya dicantumkan dalam US $, dan tidak
kalah mahal dengan negara-negara maju.

Indonesia yang mengenal sistem lalu lintas devisa bebas dan membuka pintu
lebar-lebar terhadap modal asing memang terkait erat dengan intensifnya
sebuah gejala yang kita kenal dengan globalisasi. Seorang eksekutif dari
perusahaan transnasional garmen di New York yang mengendalikan
perusahaannya di seluruh dunia melalui tilpun, facsimile, computer dan
modemnya, lebih tergantung pada para perancangnya yang ada di Itali, para
akhli marketingnya yang ada di Paris, para pemasok mesin yang ada di Jepang
dan para konglomerat eksportir tukang jahit yang ada di Jakarta, daripada
perusahaan-perusahaan yang ada di tetangganya di New York. Banyak dari
wiraswasta kita yang lebih tergantung pada sumber dana dan pasar
internasional daripada sumber dana dan pasar domestik. Banyak usahawan kita
yang bermitra dengan perusahaan-perusahaan atau para hartawan
internasional, yang beraneka ragam tingkat kemandiriannya di dalam
perusahaan patungan itu.
Perusahaan transnasionalnya merasa dia lihay karena bisa menggunakan orang
sangat ternama menjadi kompradornya. Sebaliknya orang Indonesia yang
bersangkutan sangat bangga, bahwa dia bisa menjadi kaya tanpa modal dan
tanpa konsep, asalkan nurut saja dengan keinginan mitra asingnya. Mereka
berpendidikan Barat, bisa bergaul dan berbahasa Inggeris dengan fasih.
Perilaku dan tata nilainya mengenai apa yang sopan dan apa yang tidak sopan
sudah Barat. Basa basi dan humornya sudah Barat. Dia adalah kosmopolit yang
universal. Di luar negeri, terutama di negara-negara maju dan kaya, dia
mempunyai villa yang mentereng dan mobil yang mahal.

Dalam suasana seperti ini lalu muncul kelompok cukup berpengaruh yang mulai
beranggapan bahwa nasionalisme sudah mati. Nasionalisme adalah mencapai
kemerdekaan politik. Urusan mempertahankan kemerdekaan supaya tidak di
aneksasi oleh negara lain adalah urusan ABRI yang mereka gaji melalui
pembayaran pajak. Urusan keamanan dan kententeraman adalah urusan polisi
yang juga mereka gaji melalui pembayaran pajak. Demikian juga dengan para
birokrat yang menjaga, supaya kehidupan ini menjadi nyaman, tenteram dan
damai, supaya mereka bisa berkiprah secara kontinu. Ya, itu semuanya
diakui. Tetapi terkadang dirasakan menjengkelkan karena memeras. Maka kalau
perlu, digantilah fungsi douane dengan SGS.

Tetapi mereka adalah kelompok kosmopolit yang universal. Mereka yang
mengendalikan arus barang, arus jasa dan arus uang yang tidak mengenal
batas-batas negara. Merekalah yang membangkitkan pendapatan dengan jaringan
nasional maupun jaringan internasionalnya. Mereka yang mengalami setiap
menit, bahwa uang tidak mengenal batas-batas negara. Negara bangsa adalah
mesti, karena biasanya memang harus ada, walaupun nyatanya batas-batas
politiknya pun bisa berubah-ubah seperti yang sedang terjadi di Eropa, baik
Barat maupun Timur. Negara bangsa atau nation states mempunyai kehidupannya
sendiri, sedangkan satuan-satuan produksi, distribusi dengan jaringan
internasionalnya adalah corporate states yang batasan-batasannya tidak sama
dengan batasan-batasan wilayah geografis dan politik. Karena itu, bagi
mereka nation states haruslah berfungsi dan bersifat melayani corporate
states, harus ondergeschikt pada corporate states.

Mereka heran apabila dalam zaman seperti ini masih ada orang yang betreriak
nasionalisme dan patriotisme. Apa yang mau dijadikan sasaran
patriotisme-nya ?

Walaupun ada, dan bahkan cukup banyak dan cukup besar lobi dan pengaruhnya
dari kelompok yang baru saya gambarkan tadi, tetapi di tengah-tengah bangsa
kita toh masih ada yang berpendapat dan berkeyakinan bahwa nasionalisme dan
patriotisme masih relevan. Saya termasuk kelompok ini. Maka menjadi menarik
apa argumentasinya ? Punyakah kita argumentasi yang sekuat argumentasi
mereka ? Bukankah kaum nasionalis di zaman sekarang orang-orang kerdil,
sempit seperti katak di dalam tempurung ? Perlukah manusia merasa mempunyai
ikatan sebagai bangsa, kalau dunia ini sudah terkait dengan komunikasi dan
transparansi yang demikian intens-nya ? Memang manusia selalu membutuhkan
kelompok. Tetapi bukankah kelompok ini diikat dengan kepentingan materi
melalui uang yang konvertibel di seluruh dunia ? Bukankah kesetiaan kita
yang relevan adalah kesetiaan kepada coprorate state-nya masing-masing yang
bisa mempunyai markas besar di mana saja atas dasar pehitungan untung rugi
materialistik dan pragmatik ?

Kalau memang ada ikatan dalam rangka negara bangsa atau nation state yang
bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan meyakinkan, itulah
nasioanlisme baru yang bisa menjawab tantangan zaman sekarang. Adakah itu ?

Bagaimana gambarannya, apa bentuknya dan apa argumentasinya ? Marilah kita
telusuri.

Izinkanlah saya memulai dengan dialog dalam kampanye pemilu yang untuk
pertama kalinya saya alami di dalam hidup saya, yaitu di bulan Maret tahun
1987 di Petak Sinkiang, Jakarta. Ketika kepada massa saya tanyakan, kalau
saya hidup di dalam keluarga yang sangat rukun dan harmonis, apakah berarti
kita memusuhi keluarga tetangga kita ? Massa menjawab serentak dengan
"tidaaak". Lalu saya tanyakan lagi, kalau satu RT sangat rukun, saling
membantu dan harmonis, apakah RT itu mesti bermusuhan dengan RT lainnya ?
Dijawab lagi "tidaaak". Karena dalam rangka kampanye, lalu saya tanyakan
lagi, apakah kalau warga PDI bersatu padu, memperkuat diri, memperbaiki
diri, saling asah, asih dan asuh, apakah dengan sendirinya bermusuhan
dengan PPP dan GOLKAR ? Dijawab lagi dengan "tidaaak". Saya bertanya lagi,
bagaimana kalau partai politik, RT, RW dan keluarga kita bubarkan saja,
karena toh tidak relevan ? Dengan serentak dijawab lagi : "tidaaak".
Setibanya di rumah saya merenung, mengapa saya tanyakan yang terakhir,
yaitu apakah tidak lebih baik dibubarkan saja kalau tidak berhadapan dengan
musuh bersama ? Saya tiba pada kesimpulan, bahwa di bawah sadar, saya
ternyata kerdil, karena saya hanya melihat manfaat pembentukan kelompok
kalau menghadapi musuh. Saya tidak melihat bahwa pembentukan kelompok yang
mempunyai kesamaan, apapun kesamaan itu, ternyata mempunyai daya sinergi
untuk membangkitkan hal-hal yang baik dan berguna bagi umat manusia. Tetapi
massa yang "bodoh" itu, secara naluriah ternyata pandai. Maka mereka
berpendapat, bahwa walaupun tidak ada musuh, pembentukan kelompok tetap
perlu, tetap tidak perlu dibubarkan. Berlakukah opini yang demikian itu
bagi negara bangsa ?

Maka yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, apakah negara bangsa yang
sudah tidak mempunyai musuh penjajah lagi masih berguna ? Apakah negara
bangsa yang kecuali tidak dijajah, juga semakin lama semakin tidak
mempunyai perbedaan ideologi lagi dengan bangsa-bangsa lainnya, masih
relevan dipertahankan ? Beberapa entrepreneur dan eksekutif tadi mengatakan
masih perlu, tetapi hanya untuk menjaga ketertiban, menjaga keamanan dan
keselamatan bagi dirinya, serta membangun infra struktur yang dibutuhkan
oleh corporate state-nya. Maka baginya, nation state haruslah tunduk dan
hanya melayani corporate state yang mereka miliki dan kendalikan. 

Tadi telah saya katakan bahwa saya bukan penganut faham yang demikian. Saya
tetap yakin, bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang selalu membutuhkan
identifikasi dengan kelompok yang mempunyai kesamaan-kesamaan tertentu.
Kesamaan yang paling mendasar adalah kesamaan senasib sepenanggungan dan
atas dasar ini mempunyai kehendak membentuk negara bangsa. Kelompok sebagai
bangsa selalu mempunyai naluri mengambil nilai tambah dari bangsa lainnya.
Caranya yang paling primitif adalah peperangan fisik, saling memusanahkan
dan saling menghalau, supaya memperbesar lahan nafkahnya.
Peperangan-peperangan yang demikian adalah peperangan-peperangan kecil dari
suku-suku primitif atau tribeswar. Dalam bentuknya yang sudah lebih modern
lagi, negara bangsa yang lebih kuat menaklukkan dan menjajah bangsa lainnya
dengan senjata. Tujuan akhirnya adalah melakukan penghisapan nilai tambah
dari negara yang terjajah. Maka kolonialisme menjadi mode di mana-mana di
seluruh penjuru dunia, dan kita menjadi korban Belanda selama 3,5 abad.
Dengan dimensi yang lebih modern dan lebih besar lagi, Jerman Nazi di
belahan Eropa dan Jepang di belahan Asia Timur ingin menundukkan
bangsa-bangsa di sekitarnya untuk mengambil nilai tambah dari seluruh Eropa
bagi Jerman dan di seluruh Asia Timur Raya bagi Jepang. Jepang, bahkan
ingin melebarkan sayapnya lagi ke Pasifik dengan menggempur Pear Harbour. 
Berkecamuklah Perang Dunia ke II yang diakhiri dengan bom atom yang
dahsyat. Setelah itu, terbentuk pengelompokan-pengelompokan antar negara
dengan blok-blok superpowers, NATO dan Pakta Warsawa, masing-masing dibawah
pimpinan Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Mereka mulai melakukan perlombaan
persenjataan. Tetapi senjatanya sudah bukan bom atom lagi, melainkan yang
lebih dahsyat lagi, yaitu bom dan rudal nuklir. Kalau sampai senjata itu
dipakai di dalam pertempuran dengan skala global, akan musnahlah semua
kehidupan di bumi ini. Jepang dan Jerman yang dikalahkan dalam perang dunia
ke II nampaknya yang paling jeli mengenali, bahwa pengambilan nilai tambah
dari bangsa lain tidak bisa lagi dilakukan dengan senjata. Karena
senjatanya sudah nuklir dengan daya musnah yang sangat dahsyat, pengambilan
nilai tambah melalui penjajahan dengan senjata yang mengundang peperangan
nuklir tidak akan terjadi. Tidak akan terjadi, karena manusia juga
mempunyai naluri mempertahankan diri. Maka Jepang dan Jerman, tetapi
terutama Jepang yang paling mengerti dan segera mempraktekkan bahwa
pengambilan nilai tambah dari bangsa-bangsa lain memang tidak berbeda
dengan peperangan antar bangsa, tetapi senjatanya harus diganti dengan
senjata teknologi dan manajemen.
Divisi-divisi militernya harus diganti dengan perusahaan-perusahaan
transnasional. Kegiatan intelijen sangat penting, tetapi yang dicuri
sekarang adalah rahasia membuat micro chips, dan mencuri teknologi paling
canggih.

Mereka membuat dirinya unggul dalam produksi, distribusi, dalam pemenuhan
kebutuhan manusia seluruh jagad, dan melalui cara ini selalu sangat jeli
dan tajam menggait nilai tambah yang setinggi-tingginya. Caranya sangat
beragam disesuaikan dengan situasi dan kondisi negara bangsa yang sedang
"dikerjain". Yang masih primitif dijadikan ajang mencari bahan baku dan
pasaran bagi barang jadinya. Yang lebih canggih disuruh menjadi tukang
jahit. Yang buruhnya masih murah dimasuki dalam bentuk merelokasi
industrinya yang di negaranya sendiri sudah usang. Kalau sudah sangat
canggih seperti Eropa Barat dan AS dimasuki dengan investasi langsung,
membeli real estate, membeli salah satu studio terbesar di Hollywood, dan
seterusnya dan sebagainya. Caranya bermitra juga sangat luwes. Yang bisa
dijadikan komprador boneka ya dijadikan kopmrador. Yang agak pandai dan
ingin mempunyai suara sedikit dalam pengambilan keputusan ya dijadikan
eksekutif sesuai kemampuannya. Tetapi selalu didasarkan atas perhitungan
yang tajam. Senjatanya, sekali lagi, adalah manajemen dan teknologi.

Maka tidak tertutup kemungkinan bahwa nilai tambah yang diraih dari
negara-negara terbelakang oleh negara-negara maju sangat besar. Mungkin
sekali jauh lebih besar daripada ketika menjajah model kuno zaman kolonial
abad ke 18.

Tetapi di dalam penampilannya ada perbedaan yang sangat besar. Kalau dulu
yang terjajah merasa sangat dihina, merasa sakit dan juga secara materi
merasa sengsara. Sekarang lain lagi. Yang dijajah adalah negara yang sudah
merdeka dan berdaulat. Elit yang berkuasa tidak merasa dihina. Mereka
menjadi kaya dan mentereng karena korupsi, walaupun pada hakekatnya adalah
komprador suruhannya belaka. Tetapi kalau yang menjadi suruhan didukung
oleh pemerintah dari negara yang merdeka, dan toh bisa menjadi kaya raya,
dan dengan kekayaannya ini lalu bisa sangat bergaya di negaranya sendiri
maupun di mana saja di seluruh penjuru dunia, penggaitan nilai tambah yang
demikian bisa dirasakan sangat nyaman oleh yang sedang di eksploitasi.

Bersambung kebag. 3/3