[Nasional-m] Perkawinan Campuran dalam Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian

nasional-m@polarhome.com nasional-m@polarhome.com
Mon Aug 26 02:48:01 2002


Kompas

Senin, 13 Mei 2002

Perkawinan Campuran dalam Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian


Junita Sitorus
Pembedaan perlakuan hukum antara laki-laki dan perempuan dalam
perkawinan antarbangsa (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menyebutnya Perkawinan Campuran) sudah tidak sesuai lagi
dengan semangat perlindungan hak asasi manusia (HAM) dalam era
reformasi ini.

Dalam kaitan itu, tulisan ini mengambil momentum penyusunan Rancangan
Undang-Undang (RUU) Kewarganegaraan dan RUU Keimigrasian saat ini
oleh pemerintah untuk diajukan ke DPR, sebagai wacana agar persamaan
kedudukan perempuan dan laki-laki di muka hukum dalam perkawinan
campuran ini diberikan.

Absennya perlindungan kepada kelompok kawin campur bermula pada UU No
62/1958 tentang Kewarganegaraan yang membedakan perkawinan antara
laki-laki Warga Negara Indonesia (WNI) dan perempuan Warga Negara
Asing (WNA) dengan laki-laki WNA dan perempuan WNI (patriarchal view
of gender). Dalam UU tersebut, perempuan WNA yang menikah dengan laki-

laki WNI boleh menjadi WNI segera setelah dia mengajukan permohonan
untuk itu dengan syarat melepaskan kewarganegaraan asalnya. Di lain
pihak, seorang laki-laki WNA yang menikah dengan perempuan WNI tidak
mendapat perlakuan hukum yang serupa. Laki-laki tersebut tetap WNA
dan istrinya boleh tetap WNI, serta anak-anak yang lahir ikut
kewarganegaraan ayahnya.

Ada beberapa asas yang dianut secara ketat dalam UU Kewarganegaraan
itu yang berdampak pada absennya rasa keadilan bagi perkawinan
campuran ini.

Pertama asas patriarki. UU Kewarganegaraan yang dibuat pada masa UUD
Sementara 1950 mengadopsi asas patriarki dari hukum positif yaitu
hukum adat yang mengakui ayah sebagai pembawa garis keturunan.

Kedua, anti-bipatride. Penerapan asas ius sanguinis (hubungan darah)
oleh UU ini dan untuk menghindarkan bipatride, UU ini tidak menganut
asas ius soli bagi anak sah dari ibu WNI.

Ketiga, kedudukan anak. Permohonan naturalisasi yang mensyaratkan
bertempat tinggal di Indonesia lima tahun berturut-turut atau 10
tahun tidak berturut-turut tidak berlaku bagi anak. Karena UU ini
menganggap umur dewasa menentukan kewarganegaran adalah 21 tahun.
Juga, anak asing dari perceraian oleh pengadilan dan anak asing yatim
dari ayah asing yang masing-masing hak asuh diberikan pada ibu WNI
statusnya masih tetap asing sampai dia berumur 18 tahun. Kedudukan
anak sebagai WNA dalam kedua kasus tersebut akan merepotkan ibunya
dan terkesan bertentangan dengan prinsip yang dianut UU ini bahwa
secara sosiologis selalu ada hubungan kekeluargaan antara ibu dan
anak.

Sementara itu, jika mereka memilih bermukim di Indonesia, perangkat
hukum keimigrasian secara substantif tidak mengatur orang asing dalam
perkawinan campuran ini. Ayah dan anak tersebut diperlakukan (kurang
lebih) sama dengan orang asing lainnya. Sepertinya ada kontradiksi
dengan apa yang dianut dalam UU kewarganegaraan ini yaitu asas
kesatuan kewarganegaraan dalam perkawinan. Jika secara eksplisit
diamanatkan dalam UU tersebut, setidaknya harus ada kemudahan khusus
dalam perangkat hukum Keimigrasian.

UU No 9/1992 tentang Keimigrasian, misalnya, bahkan tidak menyinggung
tentang masalah ini. Hanya dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 32/1994
serta Surat Keputusan (SK) Menkeh No.M.02-IZ.01. 10-1995 dapat
mengurangi beban ibunya karena anak asing tersebut boleh mendapat
Izin Tinggal Sementara (Itas) atas jaminan ibunya. Pasal ini
sebenarnya kemudahan setengah hati karena syaratnya hanya jika
ayahnya belum memiliki Itas. Jika ayah sudah memilikinya anak akan
menjadi status ikutan dalam Itas ayahnya.

Selanjutnya, suami yang WNA tidak diizinkan memiliki Itas dengan
jaminan istri, paling hanya boleh memiliki izin kunjungan sosial
budaya selama tiga bulan yang bisa diperpanjang sampai enam bulan.
Sesudah itu harus keluar wilayah Indonesia. Cara lain untuk mendapat
izin bertempat tinggal adalah dengan bekerja. Sebagai orang asing,
bekerja berarti dipekerjakan suatu perusahaan tertentu, berinvestasi
di Indonesia, atau mendirikan perusahaan. Dalam SK Menkeh No.M.02-
IZ.01.10-1995 disebutkan orang asing yang boleh bekerja di Indonesia
hanya yang benar-benar tenaga ahli langka, top executive atau
investor dengan jumlah investasi yang tidak kecil.

Dalam kasus ini, jika suami bekerja berarti mendapatkan Itas (satu
tahun) dan anak-anaknya juga. Hidup masih terasa lebih mudah jika
suami masih tetap bekerja. Kesulitan besar akan muncul jika kontrak
kerja suami berakhir dan berarti izin tinggal di Indonesia berakhir
juga. Jika masih ingin bermukim di Indonesia, suami beserta anak
asing tersebut harus meninggalkan Indonesia untuk mendapatkan visa
baru yang hanya berupa visa kunjungan saja. Bahkan, jika keadaan
memaksa, sering suami dan anak tersebut masuk dengan visa turis yang
tidak dapat diperpanjang atau dikonversi. Dengan kata lain UU
Keimigrasian ini menyarankan pasangan ini untuk bermukim di luar
wilayah Indonesia saja.


***
TELAAH sosiologis yang terlalu teoritis tanpa melihat fakta perubahan
dan globalisasi dan penerapan selective policy pada kedua UU ini
telah menuai pandangan sinis tentang perlindungan hak asasi terhadap
perempuan di Indonesia. Isu HAM dan isu kesetaraan jender yang
dilekatkan pada perkawinan campuran ini terletak pada beberapa fakta.

Pertama, merupakan hak asasi manusia untuk memilih tinggal di
negaranya tanpa memandang dengan warga negara mana dia menikah.
Pembedaan pengaturan kewarganegraan dan izin keimigrasian antara laki-

laki dan perempuan WNI dengan pasangan masing-masing WNA jelas sangat
diskriminatif.

Kedua, adalah HAM seperti diakui oleh UU No 62/1958 untuk menyatukan
kewarganegaraan kedua mempelai dan anak-anaknya. Karena jika suami
atau anak-anak dideportasi misalnya, berarti sama dengan mengusir
ibunya dari Indonesia.

Ketiga, adalah HAM mendapatkan penghidupan layak seluas-luasnya tanpa
dibatasi. Suami WNA dalam kasus ini mendapat izin tinggal untuk
bekerja hanya jika sebagai investor, top eksekutif, atau tenaga ahli
langka.

Perkawinan adalah ikatan batin yang suci dan diridhai Ilahi. Dalam
konsep demokrasi modern, negara tidak boleh mengintervensi warganya
kepada siapa dia menikah. Seperti dalam sebuah keluarga, adalah wajib
menerima pasangan hidup anaknya sebagai anggota keluarga.

Pengakuan negara terhadap suami dan anak-anak WNA, melalui pemberian
hak yang sama memohon pewarganegaraan seperti bagi pasangan asing
dari laki-laki WNI dari perkawinan campuran ini adalah suatu
keniscayaan. UU ini tidak bisa menjadi tameng menahan arus
globalisasi, karena konsep bangsa secara sosiologis yang mengacu pada
ciri rasial akan menjadi usang.

Tentang hukum adat sebagai hukum positif yang menganut asas patriarki
adalah masalah lain yang tidak berhubungan. Asas antibipatride dan
anti-apatride tetap bisa dipertahankan karena pewarganegaraan dalam
kasus ini melalui permohonan dengan syarat menanggalkan lebih dulu
kewarganegaraannya. Pewarganegaraan perkawinan campuran tidak
berkaitan dengan prinsip kebijakan selektif, jadi harus dibedakan
dari menjadi negara penerima imigran (immigrant state). Karena
perkawinan memiliki nilai sakral sehingga negara jangan menjadi
rintangan bagi perikatan manusia ini.

DPR telah meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women (CEDAW) pada 24 Juli 1984 dan
diundangkan dalam UU No 7/1984. Pengakuan Indonesia akan Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan itu
seharusnya jangan hanya law in books.

Dengan UU ini berarti Indonesia menghendaki juga penghapusan
terhadap "segala pembedaan, pengucilan, atau pembatasan atas dasar
jenis kelamin, ... pembatasan atas kebebasan pokok di bidang politik,
ekonomi, sosial, budaya atau apa pun oleh kaum perempuan terlepas
dari status perkawinan mereka dan atas dasar persamaan laki-laki dan
perempuan".


* Junita Sitorus, Pengamat masalah perempuan, bekerja di Direktorat
Jenderal Imigrasi.

-----------------------------------------------------------------
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0205/13/dikbud/perk34.htm