[Nasional-m] KKG: MEMBANGUN KEKUATAN NASIONAL UNTUK KEMANDIRIAN BANGSA bag. 3/3

nasional-m@polarhome.com nasional-m@polarhome.com
Mon Aug 26 00:02:02 2002


MEMBANGUN KEKUATAN NASIONAL UNTUK KEMANDIRIAN BANGSA bag. 3/3
Oleh Kwik Kian Gie
------------------------------------------------------------------------------

Dari uraian tadi jelas, bahwa percaturan dunia diwarnai oleh hubungan antar

negara yang semuanya sudah merdeka secara politik, menyempitnya perbedaan
ideologi antar negara, sedang berlangsungnya proses regionalisasi negara
bangsa di mana-mana, menciptakan pengelompokan-pengelompokan baru atas
pertimbangan yang lebih banyak di dominasi oleh pertimbangan ekonomnis,
tetapi di motori oleh semangat nasioanlisme baru dengan daerah geografis
yang lebih luas.

Nasionalisme baru adalah nasionalisme yang mengenali dengan tajam interaksi

antarbangsa zaman sekarang dan mampu mengantisipasi perkembangannya.
Maksudnya tidak hanya memantau sambil menutup dirinya, tetapi ikut bermain
di dalam percaturan dan interaksi antar bangsa di dunia. Namun orientasi
dari pengenalan dan kewaspadaan ini bukan untuk kemakmuran orang seorang,
melainkan untuk seluruh bangsanya seadil mungkin. Semanagt nasioanlisme
baru dalam menciptakan dan merebut nilai tambah tidak mau kalah dengan
bangsa lain, tetapi tidak melalui penutupan diri, melainkan melalui
semangat saling mengungguli.

Dengan demikian, seorang nasionalis baru adalah orang yang menghitung
dengan tajam dan enggan menerima tawaran menjadi komprador mitra dagang
asing, kalau dari  perhitungannya dia tahu bahwa nilai tambah secara tidak
adil dan tidak seimbang lebih menguntungkan mitra asingnya daripada
bangsanya.
Seorang nasionalis baru adalah orang yang merasa sangat terganggu ketika di
luar negeri menyaksikan alangkah kalahnya negaranya sendiri dalam segala
bidang, dalam kemakmuran, dalam penguasaan teknologi dan manajemen, dalam
kebersihan, dalam keadilan sosialnya, dan menterjemahkan rasa malu itu ke
dalam semangat tidak mau kalah dan ingin mengejar ketinggalannya. Orang
yang bukan nasionalis baru adalah orang yang ketika menyaksikan semuanya
itu lalu berkeinginan menetap saja di luar negeri, atau tidak menetap,
tetapi membeli rumah, mobil, minta izin tinggal, supaya dari waktu ke waktu
bisa menikmati kemakmuran negara lain itu, dan memikirkan bagaimana dia
bisa meningkatkan kemakmurannya di luar negeri yang sudah nyaman dengan
menggait nilai tambah dari negaranya sendiri, kalau perlu hanya sebagai
komprador saja. Seorang nasionalis baru ketika mengunjungi paberik langsung
melakukan catatan-catatan dan pemotretan-pemotretan dengan semangat ingin
meniru membuat barang. Orang yang bukan nasionalis baru hanya berkeinginan
memilkiki produk untuk konsumsinya sendiri supaya bisa lebih bergaya. 
Seorang yang bukan nasionalis baru tanpa perasaan terganggu memakai barang
mewah buatan luar negeri dengan bangganya, sedangkan nasionalis baru juga
memakainya, tetapi selalu diliputi perasaan penasaran mengapa bangsanya
tidak bisa membuat barang yang sama. Seorang yang bukan nasionalis baru mau
saja bermitra dengan perusahaan asing untuk menggait nilai tambah bagi si
asing tanpa perasaan terganggu. Seorang nasionalis baru mungkin juga
melakukan dan berbuat yang sama, tetapi selalu diganggu oleh perasaan
penasaran, mengapa dia tidak bermitra juga dengan perusahaan asing di
negara si asing juga, supaya sama derajatnya. Seorang nasionalis baru
berusaha keras supaya memperlakukan para akhli Indonesia sama dan sederajat
dalam perlakuan, dalam kepercayan dan dalam penggajian dengan para akhli
asing, asalkan pendidikannya di sekolah yang sama di luar negeri, dan
pengetahuan yang dimilikinya maupun kepandaiannya sama. Seorang yang bukan
nasionalis baru cenderung masih dilekati oleh jiwa yang terjajah, yang
selalu lebih menghargai para akhli asing, terutama yang bule, walaupun
pilihan yang dihadapinya, yang bangsanya sendiri juga tamatan dari sekolah
yang sama, dan bisa menunjukkan bahwa dia paling sedikit sama pandainya,
sama pengalamannya, dan lebih mengenal Indonesia daripada para akhli asing
itu.

Karena nasionalisme baru begitu terkait dengan interaksi bangsa-bangsa
lain, ekspor memegang peranan penting. Kalau kita analisa tahapan-tahapan
kemampuan sesuatu bangsa dalam ekspor, bisa kita bedakan sebagai berikut :

1. Mengekspor barang buatannya sebagai "tukang jahit". Design, spesifikasi,
cara membuatnya, mesin-mesinnya, prosedur produksi dan administrasinya,
bahan bakunya, semuanya ditentukan oleh perusahaan asing yang akan
menampung produknya untuk dipasarkan di luar negeri. Merk juga harus
memakai merk dari prinsipal. Untuk jasanya, mitra Indonesia yang "tukang
jahit" ini memperoleh imbalan sekedarnya. Biasanya sangat kecil.

Tetapi dari bekerja sebagai "tukang jahit" ini, dia menguasai pengetahuan
dan ketrampilan untuk membuat produk yang eksak sama. Maka dia mulai
meningkatkan dirinya ke dalam tahapan yang berikutnya, yaitu

2. Membuat barang yang eksak sama, tetapi memakai merknya sendiri. Dengan
demikian ternyata bahwa harga pokoknya jauh lebih rendah dari harga yang
dijual di luar negeri dengan merk prinsipalnya. Jadi dia sekarang sudah
bisa membuat barang yang kwalitasnya eksak sama, tetapi dengan memakai
merknya sendiri.

Ini adalah tindakan yang sangat prinsipiil dan krusial, karena dia sekarang
dipaksa untuk bisa meyakinkan konsumen di luar negeri, bahwa produknya
tidak kalah dalam kwalitas, tetapi sangat menang murah dalam harga. Hanya
merknya yang masih belum terkenal. Dia harus melakukan promosi dan
advertensi supaya merknya dikenal dan diakui sebagai sama baiknya dengan
merk lain yang ditiru. Tahap berikutnya adalah :

3. Dia mulai memasukkan features, kemampuan-kemampuan tambahan dari produk
yang tadinya ditiru 100 %. Contohnya adalah PC buatan Taiwan, yang meniru
IBM, tetapi ditambah kemampuannya, sedangkan harganya jauh lebih murah.
Tindakan ini memperkuat kedudukannya di pasar. Tahapan selanjutnya adalah :

4. Dia sudah berani merubah design produknya supaya tampak lebih indah dan
lebih cantik. Dia sudah mulai berani beradu dalam bidang estetika.

5. Dia melakukan penelitan dan pengembangan sendiri, sehingga untuk barang
yang fungsinya sama, yaitu memenuhi kebutuhan manusia akan barang yang
dihasilkannya, dia sudah mendasarkan diri pada penemuan dan terbosoan
teknologi sendiri. Misalnya, TV yang sama-sama TV-nya sudah meningkat dari
sistem analog menjadi sistem digital. Musik yang tadinya atas dasar pita
diganti menjadi piringan laser, dan sekarang compact disc.

Jelas bahwa untuk meningkatkan kemampuan dari tahapan ke tahapan seperti
yang digambarkan tadi, orang membutuhkan dedikasi semangat yang luar biasa
besarnya. Juga membutuhkan berani mempertaruhkan modalnya untuk pnelitian
dan untuk merugi kalau gagal.

Pertanyaannya adalah kekuatan apa yang bisa membuatnya demikian, kalau dia
sebagai komprador, sebagai tukang jahit saja sudah bisa menjadi sangat kaya

? Kekuatan penggerak atau driving force ini bagi bangsa Jepang dan Jerman
jelas adalah obsesi untuk unggul, obsesi supaya seluruh bangsanya disegani
dan dihargai di mana-mana diseluruh penjuru dunia. Mereka adalah nasionalis
modern. Orang yang bukan nasionalis baru sudah akan sangat puas dengan
menjadi kaya sebagai komprador. Kebanggaannya adalah kebanggaan karena dia
kaya, dan karena itu bisa hidup di luar dengan gaya orang-orang di luar
negeri yang sudah maju. Dia cenderung mengindentikkan dirinya dengan bangsa
yang sudah maju di negaranya. Walaupun tidak suka, dia memaksakan dirinya
minum wine, lebih menyukai steak, dan bahkan tartar atau daging mentah
serta bekecot dengan nama yang lebih keren atau escargot. Dia berbuat
sebisanya supaya bisa berbicara mengenai musik klasik Barat, supaya bisa
berbicara mengenai lukisan. Dia tidak mempunyai kebutuhan supaya dengan
pengalamannya dan kontaknya meningkatkan kemampuan seluruh bangsanya supaya
bisa menjadi bangsa yang lebih disegani oleh bangsa-bangsa lain.

Sampai sekarang saya hanya berbicara mengenai nasionalisme baru dalam
kaitannya dengan percaturan ekonomi dan bisnis dunia, karena dengan telah
lama merdekanya Indonesia, dan dengan semakin tiadanya perbedaan ideologi
antar bangsa, kegiatan bangsa-bangsa lebih terpusat pada perolehan nilai
tambah dari mana saja.

Namun dapatkah nasionalisme dan patriotisme ada kalau tidak ada demokrasi
dan keadilan ?
Kadar besar kecilnya demokrasi sangat berpengaruh terhadap nasionalisme
baru. Bagi mereka yang merasa tidak cukup mempunyai hak-hak demokrasi,
adalah lumrah apabila mereka ini lambat laun tergelincir pada suasana batin
yang apatis, yang masa bodoh. Mereka dalam bentuknya yang ekstrim bisa
merasa warga negara kelas dua atau lebih rendah lagi. Mereka tidak lagi
atau kurang merasa merupakan bagian dari bangsanya, sehingga semua naluri
yang masih ada untuk membela bangsanya secara keseluruhan semakin lama
semakin pudar. Karena itu, demokrasi adalah syarat mutlak bagi
nasionalisme.
Demokrasi memberikan perasaan bahwa dia ikut memiliki negara bangsanya.
Karena itu demokrasi adalah syarat mutlak bagi nasionalisme baru yang
begitu gamblang, sehingga tidak banyak yang bisa di analisa kecuali
menyebutnya. 
Bagi saya, kalau kita berbicara mengenai nasionalisme baru, sebenarnya
sudah termasuk di dalamnya sebagai satu nafas adalah juga patriotisme,
demokrasi dan keadilan sosial ekonomi. Hanya dengan itu semuanya sebagai
satu paket, semuanya menjadi bisa ada. Kalau salah satu daripadanya tidak
ada, keseluruhannya menjadi kabur.

KESIMPULAN

Istilah nasionalisme baru memang pada tempatnya, karena dengan telah
lamanya kita merdeka, dan dengan berubahnya dunia dengan segala
dinamkianya, fokus nasionalisme yang ingin kemerdekaan bagi bangsa kita
secara politik sudah lama kita peroleh. 

Setelah itu kita dihadapkan pada masalah sangat mendasar, yaitu masalah
nation dan character building bagi bangsa yang wilayahnya berkepulauan,
pluralistik, berbhineka. Dengan sumpah pemuda, di tahun 1928 kita sudah
bertekad untuk membentuk negara bangsa yang berbentuk negara kesatuan,
negara yang tunggal ika. Dapat kita bayangkan betapa beratnya periode
antara tahun 1945 dan 1966. Seperti tadi telah saya kemukakan, kita telah
berhasil dengan cukup gemilang.

Dalam mengisi kemerdekaan dengan pembangunan ekonomi secara nyata yang
teknokratik dan pragmatik, negara kita terbuka bagi dunia luar. Sektor
swasta secara sistematis diberi kesempatan yang lebih besar. Semua orang
berkiprah dalam bidang pembangunan ekonomi, dalam bidang produksi dan
distribusi. Semuanya berlangsung di dalam suasana interaksi antar bangsa
yang semakin intens, di dalam dunia yang semakin mengecil dengan revolusi
microchips dan revolusi telekomunikasi melalui satelit. Dalam suasana
seperti ini kita berkiprah secara intens pula, sehingga kurang sempat
memikirkan, masihkah nasionalisme relevan ? Pendangakalan intelektualisme
terjadi karena terdesak oleh intens-nya dunia produksi, distribusi dan
konsumsi, dan intensnya interaksi antar bangsa, dimana Indonesia termasuk
di dalamnya.

Setelah penelusuran dalam bidang ekonomi, bisnis, produksi, distribusi,
konsumsi, regionalisasi dan internasionalisasi, saya tiba pada kesimpulan
bahwa lebih daripada yang sudah-sudah ternyata nasionalisme, patriotisme,
demokrasi dan keadilan sosial ekonomi masih sangat relevan. Pertarungan
memperoleh nilai tambah masih valid, tetapi bentuknya berubah. Penghisapan
nilai tambah melalui senjata dan pendudukan berganti menjadi teknologi dan
manajemen. Divisi-divisi militernya berubah menjadi perusahaan-perusahaan
transnasional. Proses penghisapannya melalui kemitraan dan investasi
langsung, lebih beraneka ragam, lebih luwes dan lebih sophisticated
sehingga sangat sulit dikenali.

Untuk pengenalan apakah di dalam interaksi antar bangsa ini kita
diuntungkan atau dirugikan membutuhkan kalkulasi yang konkret. Benarkah
bahwa di dalam kenyataannya kita lebih diuntungkan oleh modal asing karena
adanya lapangan kerja, karena adanya transfer of knowledge dan transfer of
technology.
Benarkah bahwa kita diuntungkan secara fair dan adil karena pendapatan
pajak. Bukankah keuntungan mereka jauh lebih besar dari kita dan kita akan
bisa mendapatkan lebih seandainya kita mau bekerja keras dan mau
membebaskan diri dari konvensi, dogma, doktrin serta mitos-mitos yang oleh
negara-negara maju dipaksakan kepada kita melalui para kompradornya yang
sangat berpengaruh. Kesemuanya ini hanya dapat diketahui kalau kita
melakukan kalkulasi yang eksak dan konkret. Bukan sekedar merumuskannya
secara garis besar. Nasionalisme baru menuntut kemampuan-kemampuan baru dan
dimensi pemikiran mikro yang bagi kita relatif baru ini.

Tidak ada negara yang bangkrut seperti halnya perusahaan, karena negara
dapat berutang. Tetapi yang demikian itu bisa kita peroleh sebagai
komprador dengan nilai tambah yang tidak sebanding kecilnya. Maka yang
menjadi masalah bagi kita bukannya akan bangkrut atau tidak secara
ekonomis, tetapi akan menjadi bangsa kelas terkemuka atau kelas belakang.
Apakah kita akan menjadi bangsa yang diremehkan atau menjadi bangsa yang
disegani.

Modal kita hanya semangat, yaitu nasionalisme baru, patriotisme baru,
demokrasi dan keadilan sosial ekonomi.

Akhir kata, apakah yang menjadi driving force terbetuknya Eropa bersatu ?
Keuntungan materi sematakah ataukah Eropa Barat sebagai kelompok negara
yang demikian tuanya, akhirnya menemukan kembali nasionalisme barunya juga
?

Kita sering mendengarkan bahwa Jepang maju karena mempunyai sistem life
time employment, mempunyai TQC dan QCC, mempunyai MITI, mempunyai sistem
pendidikan yang terseleksi sejak SD dengan jalur elit yang
berkesinambungan.
Tetapi jarang yang menanyakan, mengapa justru Jepang mempunyai segalanya
ini dan bangsa lain tidak punya ? Bisakah jawabnya adalah karena bangsa
Jepang tidak pernah pudar nasioanlisme dan patriotisme-nya, dan bangsa
Jepanglah yang paling awal mampu menterjemahkannya ke dalam nasioanlisme
baru, yang arena pertempurannya adalah perolehan nilai tambah dari
bangsa-bangsa yang telah merdeka. Dan karena itu senjatanya harus berubah
menjadi penguasaan teknologi dan manajemen ?

Relevansi mengenai pentingnya keterkaitan dengan negara bangsanya mungkin
bisa lebih ditonjolkan dengan contoh, bahwa apabila negara melalui
pemerintahnya membela kepentingannya dengan memberikan subsidi seperti
sertifikat ekspor, dia justru terkena sanksi penutupan negara penerima
barangnya, seperti halnya dengan AS belum lama berselang dalam hal ekspor
tekstil. Dalam keadaan sulit dia berteriak minta perlindungan dan subsidi.
Apabila subsidi diberikan, dia akan terkena sanksi oleh negara pengimpor
barangnya. Apakah negara bangsanya masih dirasa tidak relevan dalam
kaitannya corporate states versus nation states ?

Kalau nasionalisme baru toh harus diberi definisi, saya kira definisi yang
paling tepat adalah semangat yang selalu ingin meningkatkan kemampuan
penciptaan kekayaan negaranya, tetapi bersedia bekerja sama dengan
bangsa-bangsa lain, dengan syarat bahwa di dalam kerjasama ini kita tidak
dirugikan dan tidak merugikan negara lain. Sifat kerjasama dan interaksi
adalah untuk mencapai sinergi dan tidak saling menghisap.

Para Hadirin Yth.,

Ketidak mandirian kita sekarang sudah memasuki tahapan yang sangat
membahayakan. Saya tidak perlu berpanjang lebar karena sudah diperdebatkan
dan diliput secara panjang lebar.

Kita sedang dalam proses dipaksa untuk benar-benar mengeluarkan uang ribuan
trilyun rupiah membayar obligasi rekapitalisasi perbankan beserta bunganya.
Perkiraan yang dihitung dengan cermat oleh BPPN menunjukkan bahwa kewajiban
pemerintah untuk membayar obligasi rekap beserta bunganya bervariasi antara
1000 sampai 14.000 trilyun rupiah. Maka kalau kita ingin mengenakkan diri
sendiri, tidak mungkin pemerintah harus membayar kurang dari tiga ribu
trilyun rupiah. Obligasi atau surat utang yang semula dimaksud sekedar
sebagai instrumen sekarang dipaksakan oleh IMF untuk dibayar betul.
Obligasi yang tadinya harus ditarik kembali sebelum bank dijual, sekarang
dipaksakan harus tetap melekat pada bank yang dijual seperti halnya dengan
BCA. Dalam LOI terbaru, tidak lebih lambat dari bulan September Bank Niaga
harus dijual dengan pola yang sama, dan Bank Danamon serta Bank Mandiri
juga harus dijual dengan pola yang sama. Telah dibuktikan pula bahwa utang
pokok obligasi yang jatuh tempo memang tidak mampu dibayar dan ditunda
pembayarannya. Bahkan, sudah dan akan diterbitkan obligasi baru, yang
kesemuanya akan menjadikan APBN kita di tahun-tahun mendatang pasti tidak
sustainable. Tetapi IMF tidak mau tahu, mengajukan berbagai perhitungan
yang sama sekali tidak masuk akal, dan lagi-lagi, dibela oleh Mafia Ekonom
Orde Baru. Bukankah mengherankan dan mengejutkan bahwa selama 32 tahun Orde
Baru pemerintah tidak pernah berutang dalam negeri, karena takut terjadi
crowding out. Tetapi sekarang merasa tidak apa-apa menerbitkan surat utang
yang bersama-sama dengan bunganya mengakibatkan kewajiban pembayaran oleh
pemerintah sebesar ribuan trilyun rupiah ?

IMF melakukan tekanan pada Tim Ekonomi pemerintah untuk melakukan semuanya
yang jelas karena sudah kehilangan kemandiriannya, dan dampak ketiadaan
kemandirian ini sudah membawa kita pada ambang kehancuran. Maka sebagai
tindak lanjut dari diskusi hari ini kita memang sudah harus membangun
kekuatan nasional untuk memperoleh kemandirian kita sendiri demi
menyelematkan kemerdekaan, kedaulatan dan kemandirian bangsa, sehingga
dengan demikian dapat menghindarkan diri dari ketergantungan yang permanen
dari masyarakat internasional.

Habis
*****