[Nasional-m] Muncul Wacana Hukuman Mati Bagi Koruptor

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon Aug 26 23:12:01 2002


Sinar Indonesia Baru
10/8/2002

 Muncul Wacana Hukuman Mati Bagi Koruptor


Jakarta (SIB)
Hukuman mati bagi pelaku korupsi seperti dinyatakan ulama Nahdlatul Ulama
(NU) bisa dibenarkan bila dikaji menurut hukum Islam. "Bisa dibenarkan
pendapat tersebut," kata pakar hukum Islam Dr H Muslim Ibrahim, MA di
sela-sela mengikuti seminar tentang ‘Pemikiran Imam Syafi’i’ yang
diselenggarakan atas kerjasama Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Atase Agama
Kerajaan Arab Saudi di Jakarta, Senin (29/7).
Ketua Pengurus Wilayah NU Yogyakarta Malik Madani selaku juru bicara Komisi
E yang membahas utang luar negeri pada penutupan Kombes dan Munas NU, hari
Minggu (28/7) mengatakan, pejabat yang mengkorup uang negara, sebelum ia
mengembalikan harta hasil korupsinya, maka tidak wajib dishalatkan saat mati
seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW.
Muslim Ibrahim yang dikenal sebagai pakar hukum Islam lulusan Universitas
Al-Azhar Kairo Mesir itu mengatakan, pembenaran pendapat tentang hukuman
mati bagi koruptor itu dilihat dari akibat yang lebih besar dari pencurian
skala kecil.
"Bila dikaji menurut hukum Islam saya kira bisa dibenarkan, sebab korupsi
beda dengan pencurian biasa. Pencurian gampang dibuktikan, sedangkan korupsi
akibatnya lebih besar," tambah dosen program pascasarjana IAIN Ar-Raniry
Banda Aceh itu.
Menurut dia, pelaku korupsi juga dapat disamakan dengan mencuri karena dia
mengambil hak orang lain tanpa diketahui oleh si pemilik hak, termasuk
membuat aturan dan memberi peluang untuk terjadi korupsi.
Dilihat dari sistemnya, tambahnya, korupsi justru lebih parah. Dia mencuri.
Pertama menyembunyikan sebagian besar alat-alat bukti, dan yang kedua bisa
dilegalkan oleh peraturan-peraturan yang sengaja dibuat.
Muslim mengatakan, pelaku korupsi dapat dikatakan sebagai pencuri yang
berlindung di bawah peraturan-peraturan yang berlaku dan sengaja dibuat.
Para pelaku korupsi itu dapat disebut sebagai pencuri yang menggunakan
aturan sistematis.
Begitupun, Muslim Ibrahim yang juga Ketua Umum Majelis Permusyawaratan Ulama
(MPU) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) itu mengatakan, mustahil
dibenarkan pendapat yang melarang shalat jenazah bagi mereka yang mendapat
hukuman mati tersebut.
"Saya kira belum cukup alasan mengeluarkan orang itu (pelaku korupsi yang
dihukum mati) dari agama Islam. Dia belum masuk kategori syirik. Sama saja
dengan pembunuh yang diberi hukuman bunuh, dia masih harus dishalatkan,"
katanya.
Presiden Partai Keadilan (PK) Hidayat Nurwahid juga mendukung rekomendasi
hasil konperensi Besar dan Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) soal
hukuman mati bagi koruptor dan tidak wajib dishalatkannya koruptor yang
beragama Islam bila mati dan belum mengembalikan hasil korupsinya.
"Koruptor memang harus dihukum berat atau hukuman mati dan jangan
disholatkan bila mati. Partai Keadilan mendukung rekomendasi NU itu," kata
Hidayat Nurwahid, menjawab wartawan di Jakarta, Senin (29/7). "Pemerintah
harus menindak tegas para koruptor dan menutup lobang sekecil apapun yang
memungkinkan terjadinya korupsi. Pemerintah jangan menjadi bagian dari
koruptor," katanya.
Ia menambahkan bahwa pihak yang harus dikejar untuk diproses secara hukum
adalah para konglomerat yang melarikan dana ke luar negeri dan para
koruptor. Menurut dia, persoalan korupsi telah menjadi beban yang berat
dalam proses pembangunan bangsa, karena sebagaimana telah diindikasikan oleh
(almarhum) Prof Soemitro Djojohadikusomo bahwa setiap proyek pembangunan
selalu bocor sekitar 30 persen karena dikorupsi.
Sementara soal utang negara kepada pihak asing, katanya, juga jangan
dibebankan kepada setiap rakyat untuk membayarnya, dengan berbagai cara
seperti menaikkan tarif pajak dan menanggung berbagai harga kebutuhan pokok.
"Rakyat jangan diatasnamakan untuk turut dibebani membayar utang negara,"
katanya. Pemerintah agar berhati-hati dalam berhutang karena hal tersebut
bisa saja merupakan rekayasa dari pihak asing seperti Dana Moneter
Internasional (IMF) yang memanipulasi laju tingkat pertumbuhan ekonomi
sehingga dikatakan bahwa Indonesia selalu membutuhkan utang, katanya.
Melanggar HAM
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Hendardi kepada
Buana di Jakarta Senin (29/7) mengatakan pada prinsipnya sangat setuju bila
para koruptor diberikan hukuman berat. Namun, bila hukuman berat yang
dimaksud itu diwujudkan dalam bentuk hukuman mati, maka Hendardi melihat ada
sisi lemah, yakni karena aspek pelanggaran HAM.
Untuk mengatasi kasus korupsi yang tidak berhenti dan jera dilakukan para
pelakunya, Hendardi menyarankan pemerintah untuk membentuk peradilan ad-hoc
bagi penuntasan kasus-kasus korupsi. Karena, misalnya untuk kasus
pelanggaran berat HAM pun bisa dikuak.
Hendardi menegaskan, atas nama penghargaan terhadap HAM dirinya tidak setuju
dengan suara-suara yang menyatakan para koruptor perlu dihukum mati. "Saya
lebih setuju jika para pelaku tersebut dihukum dengan seberat-beratnya,
inilah yang lebih pas bagi mereka," tuturnya.
Tetapi, yang sering yang menjadi kendala dan harus diakui dalam pandangan
Hendardi adalah masih banyaknya kasus ini yang akhirnya malah di SP-3 kan.
Artinya, kasus-kasus itu dihentikan pada tingkat Kejaksaan dan akhirnya
tidak berbekas.
Selain itu, kenyataan juga menunjukkan jika sampai di pengadilan, hukuman
yang diberikan malah lebih rendah dari yang seharusnya. Ia contohkan kasus
koruptor kelas kakap yang akhirnya tidak ada yang ditahan. "Kalaupun ada si
Bob Hasan yang hanya dihukum kurungan selama 6 tahun," imbuhnya.
Dicontohkannya lagi, mengenai kasus Tommy yang seharusnya banyak celah untuk
masuk pada tuduhan korupsi, lagi-lagi ia hanya dihukum atas tuduhan
pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita. "Jadi sampai saat ini tidak
ada statistik yang memperlihatkan pelaku korupsi dihukum berat," katanya.
(Ant/BB/h)