[Nasional-m] Fanatisme, Tafsir Wacana Totaliter

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon Aug 26 23:12:39 2002


Sinar Harapan
26/8/2002

Fanatisme, Tafsir Wacana Totaliter
Oleh
Ermina dan Susetyo KS

Jika melihat realitas yang terjadi saat ini, setidaknya menyisakan sebuah
kegundahan. Sebuah pertanyaan yang tidak pernah bisa terjawabkan secara
memuaskan. Masih saja ada hal yang mengganjal, dengan segudang ambiguitas
yang melatarbelakanginya.
Satu hal yang senantiasa mengganjal adalah, begitu mudahnya muncul sikap
fanatisme. Fanatisme yang pada akhirnya akan berbuntut pada terciptanya
konflik-konflik kekerasan. Semuanya teramat sulit untuk dihindari. Yang
justru tersisa pada saat ini, adalah fanatisme dengan latar belakang
ideologi dan agama. Keduanya, dengan mudah mencuat ke permukaan. Sangat
sensitif, dan mempunyai resiko besar manakala terbungkus oleh konflik.
Patut diakui pula, bahwa lahan subur dari begitu mudahnya muncul
sensitivitas dan sikap fanatik ini, bukanlah berakar pada kalangan yang
tidak berpendidikan. Namun, justru bisa mengarah dan berakar subur pada
kalangan yang memang menisbikan dan ketidakmampuan dalam membedakan antara
fiksi dan fakta, antara kebenaran dan kesalahan dalam perspektif
normatifnya. Kalangan ini memang dengan mudah disulut sikap fanatisme dan
sensitivitas ideologis-agamanya. Bahkan, kaum intelektual sekalipun,
manakala memenuhi prasarat di atas, bukan tidak mungkin juga rentan terhadap
sikap fanatisme.
Tidaklah mengherankan, justru berangkat dari akar fanatisme sempit, telah
melahirkan implementasi yang serius, sebagai pintu awal lahirnya
konflik-konflik baru. Dengan demikian, akar fanatisme justru telah
menisbikan dimensi kemanusiaan universal. Tak pelak bahwa, sikap fanatisme
juga telah melakukan peremehan realitas. Realitas akan adanya perbedaan,
kesetaraan, dan semacamnya.
Jika fakta membuktikan bahwa fanatisme yang menjadi akar dari konflik
ideologis dan agama kian mendistorsi dimensi kemanusiaan universal, maka
sekali lagi patutlah digulirkan sebuah kajian kritis tentang pemetaan
fanatisme dalam demarkasi yang konstruktif. Ini sangat penting. Karena,
fanatisme yang menyembul dalam dataran psikologis komunal malah mengalami
sejumlah pembiasan dan memunculkan ironi-ironi konflik kekerasan.

Wacana Totaliter
Pada dasarnya fanatisme adalah wacana totaliter. Sekadar contoh, seorang
pemeluk agama melakukan pembunuhan karena dibenarkan secara teologis, namun
ia sendiri tak mempunyai acuan wacana lain untuk bisa membenarkan wacana
teologis yang ia yakini tersebut. Dengan demikian pula, mediasi budaya
sebagai ru-ang sosial pencipta relasi humanis menjadi terabaikan.
Maka, implementasi selanjutnya adalah, bahwa adanya pengalaman terciptanya
hubungan kongkret antarmanusia dengan maknanya, secara sistematis mengalami
penolakan. Makna hubungan relasi, sebelum adanya fanatisme, justru tak
mempunyai definisinya yang jelas.
Sekadar catatan, bahwa sejarah telah membeberkan fakta bahwa, filsuf
Eichmann, Dr. Otto Hunche dan Dr. Bradfisch bukanlah sosok yang tidak
berpendidikan. Dunia mengakui pemikiran-pemikiran kritisnya. Namun mereka
menjadi pengagum dan begitu fanatik terhadap Nazi. Tersimpulkan secara
kongkret bahwa lahan subur dari fanatisme memang bukan masyarakat yang
bodoh. Namun justru akan terjadi pada orang-orang yang tidak berdaya pada
pilihan realitas dan maknanya yang telah terjadi.
Sehingga, fanatisme dalam satu perspektif teologis, pada akhirnya tidak akan
pernah lagi mempertanyakan kebenaran dan makna dari wacana. Jika fakta yang
seringkali melatarbelakangi sikap fanatisme semacam ini, tidaklah
mengherankan jika upaya untuk pengambilan jarak kognitif mengalami jalan
buntu. Upaya untuk melakukan dekonstruksi atau mempertanyakan kembali sebuah
keyakinan, tak akan pernah terjadi. Yang acapkali muncul justru percikan
konflik kekerasan yang lahir dari fanatisme.
Relasi dan hubungan kongkret antarmanusia tidak lagi mempunyai maknanya yang
utuh manakala sikap fanatisme begitu dominan. Upaya untuk mengambil jarak
yang konstruktif bagi terciptanya sikap kritis terhadap keyakinan,
terkalahkan oleh kepentingan diri dan kelompok.
Dialog telah dianggap sebagai senjata bagi pihak-pihak yang lemah. Otokritik
lantas ditabukan. Sehingga, fanatisme bukan semata-mata datang dari isi
gagasan suatu ideologi ataupun agama, tetapi lebih pada bentuk pemikiran.
Sikap peremehan realitas inilah, yang menutup diri pada penemuan aspek
ideologis sebuah agama. Tindakan fanatisme, telah menggumpal dengan
mencirikan dirinya pada aspek-aspek narcissic yang radikal. Semua yang
diyakini dianggap paling benar, paling sahih untuk dilakukan. Asalkan sesuai
dengan visi dan kepentingan diri, ataupun kelompok yang mengatasnamakan
sikap fanatik.
Realitas serba totaliter, secara prinsip telah menempatkan setiap individu
dalam harkat kebebasannya. Kebebasan ini dapat dipahami sebagai upaya untuk
membangun tata ruang ordo sosial religius yang sesuai dan relevan dengan
kepentingan-kepentingan dirinya sendiri. Fanatisme telah menyembunyikan
secara terus menerus adanya gagasan akan perubahan.
Fanatisme agama, mempunyai sasaran utama untuk bisa mengahancurkan pemeluk
agama lain. Sementara purifikasi juga telah dilakukan pada pemeluk agamanya
sendiri. Tampak jelas bahwa, relativitas radikal dari fanatisme adalah bukan
realitas yang menentukan nilai dan makna, tetapi justru tindakanlah yang
pada akhirnya akan membangun sebuah realitas. Realitas yang identik dengan
wacana totaliter yang beku, subordinan dan menghancurkan. Sayang, jika
kehidupan agama-agama pada saat ini justru diarahkan oleh adanya pragmatisme
fanatik dalam penyikapanannya terhadap makna-makan pada ruang sosial
religiositasnya.

Otokritik
Terbukti memang, bahwa konflik antarumat beragama dalam batasan wilayah
manapun tidaklah terlepas dari sikap fanatik. Fanatisme bukan sekadar akan
menyerang mereka yang tidak terdidik semata. Tetapi, kaum intelektual
sekalipun juga menjadi sasasaran empuk dari sikap fanatisme yang destruktif
dan totaliter.
Sebuah daya pikat yang dipunyai fanatisme adalah kemampuannya untuk bisa
menjembatani masa dan ketiadaan kemunafikan. Sebuah wacana totaliter yang
eksklusif tentunya. Cara pandang yang hitam putih dan generalisum, dengan
mudah mereduksi kualitas realitas yang penuh dengan keberagaman, perbedaan
dan daya hidup. Upaya untuk mencapai titik balik pada penghancuran nilai
keberagaman menjadi pangkal tolak dari fanatisme komunal dan religiositas.
Mungkin, sepanjang sikap fanatik masih begitu dominan dalam ruang publik
keseharian, akan muncul kebingungan dan ambigu yang tinggi intensitasnya.
Adanya pilihan-pilihan atas nama telogi yang tertup tanpa adanya
dekonstruksi, pengambilan jarak dan otokritik, telah menghancurkan semuanya.
Pada satu sisi memang kehidupan beragama ini menciptakan peningkatan
kualitas mutual hubungan antar individu. Namun, ketika sikap fanatik yang
menonjol, maka yang lantas muncul adalah keterasingan. Keterasingan akan
adanya bentuk-bentiuk keyakinan teologis. Keterasingan yang melempar
individu pada bentuk-bentuk dan nilai kemanusiaan yang kongkret dalam
kesehariannya.
Sungguh ironis, jika kehidupan beragama justru ternisbikan oleh sikap
fanatisme yang menghancurkan dimensi kemanusiaan universal-nya.

Kedua penulis adalah peneliti pada Institut Studi Arus Informasi Media
(ISAIM) Yogyakarta   .