[Nasional-m] Mafia Peradilan di Indonesia (1)

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon Aug 26 23:12:29 2002


Sinar Harapan
26/8/2002

Sejarah dan Modus Operandi
Mafia Peradilan di Indonesia (1)
Oleh
Frans H Winarta, SH, MH

Salah satu bentuk korupsi yang telah begitu mendarah daging di negara kita
adalah korupsi dalam lembaga peradilan atau dikenal dengan istilah judicial
corruption. Praktek-praktek judicial corruption ini dilakukan oleh para
aparat penegak hukum itu sendiri (law enforcement agencies) dan secara
kolektif mereka dikenal dengan sebutan mafia peradilan. Daniel S. Lev,
seorang pengamat politik hukum Indonesia, mengatakan bahwa:
”The mafia peradilan is after all a working system that benefits all its
participants. In some ways, in fact, for advocates, who otherwise are
excluded from the collegial relationships of judges and prosecutors, it
works rather better and more efficiently than the formal system.”
Dari penelitian yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) pertengahan
tahun 2002 terungkap bahwa mafia peradilan merupakan korupsi yang sistematik
yang melibatkan seluruh pelaku yang berhubungan atau berkaitan dengan
lembaga peradilan mulai dari polisi, jaksa, advokat, panitera, hakim sampai
petugas di lembaga pemasyarakatan.
Dahsyatnya korupsi di lembaga peradilan Indonesia juga dapat dilihat dari
catatan Daniel Kaufmann dalam laporan Bureaucratic and Judiciary Bribery
tahun 1998 yang mengatakan tingkat korupsi di peradilan Indonesia paling
tinggi di antara negara-negara Ukraina, Venezuela, Rusia, Kolombia,
Yordania, Turki, Malaysia, Brunei, Afrika Selatan dan Singapura.
Salah satu alasan sulitnya memberantas mafia peradilan di Indonesia adalah
karena masih bersemayamnya ideologi judicial corruption. Menurut deklarasi
International Bar Association (IBA) pada konperensi dua tahunan (17-22
September 2000) di Amsterdam, yang dikutip berdasarkan rekomendasi para
pakar hukum Center For the Independence of Judges and Lawyers (CIJL),
disimpulkan bahwa judicial corruption terjadi karena tindakan-tindakan yang
menyebabkan ketidakmandirian lembaga peradilan dan institusi hukum (polisi,
jaksa, advokat dan hakim).
Khususnya kalau hakim atau pengadilan mencari atau menerima berbagai macam
keuntungan atau janji berdasarkan penyalahgunaan kekuasaan kehakiman atau
perbuatan lainnya, seperti suap, pemalsuan, penghilangan data atau berkas
pengadilan, perubahan dengan sengaja berkas pengadilan, pemanfaatan
kepentingan umum untuk keuntungan pribadi, sikap tunduk kepada campur tangan
luar dalam memutus perkara karena adanya tekanan, ancaman, ne-potisme,
conflict of interest, favoritisme, kompromi dengan pembela (advokat),
pertimbangan keliru dalam promosi dan pensiun, prasangka memperlambat proses
pengadilan, dan tunduk kepada kemauan pemerintah dan partai politik.
Adanya judicial corruption dan sulitnya memberantas judicial corruption
adalah karena selama ini institusi hukum kita seperti polisi, jaksa,
advokat, dan khususnya para hakim bekerja dalam situasi yang tidak kondusif
untuk mengembangkan sikap judicial discretion, yaitu sikap imparsial dan
independen dalam memutus suatu perkara. Yang dimaksud dengan judicial
discretion adalah:
ìenlightened by intelligence and learning, controlled by sound principles of
law, of firm courage coned with the calmness of a cool mind, free from
partiality, not swayed by sympathy nor warped by prejudice, not moved by any
kind of influence save alone the overwhelming passion to do that which is
just …”
Terjemahan bebasnya:
”inteligensi dan kemauan belajar, dikontrol oleh prinsip-prinsip hukum,
didukung keberanian dan pikiran yang dingin, bebas dari pengaruh luar dan
tidak goyah karena simpati ataupun prasangka, pengaruh atau campur tangan
dari luar, kecuali oleh keinginan besar untuk menegakkan keadilan.”
Sejarah Mafia Peradilan
Jika ditarik akar permasalahan yang melatarbelakangi timbulnya judicial
corruption dan tidak adanya sikap judicial discretion dalam lembaga hukum
kita adalah bahwa kondisi tersebut sebenarnya merupakan akibat langsung dari
politik hukum negara kita yang secara sistematis telah membatasi bahkan
mengekang ruang gerak lembaga hukum kita.
Pemerintah kita memilih untuk menerapkan Herziene Indonesisch Reglement
(HIR) sebagai hukum acara perdata kita daripada Reglement op de
Rechtsvordering (Rv), hukum acara yang berlaku untuk orang atau peradilan
Eropa, yang justru menjamin akses kepada advokat (access to legal councel)
dan hak asasi manusia pada umumnya.

Apabila kita telaah lebih jauh dapat dikatakan pengaturan dalam HIR kurang
dituntut persyaratan yang ketat bagi para hakim dan jaksa, serta kurang
memberikan perlindungan kepada para terdakwa. Jaksa di Landraad (pengadilan
negeri bagi golongan pribumi) adalah pejabat yang rendah bila dibandingkan
dengan officier van justitie di Raad van Justitie (pengadilan tingkat
banding bagi golongan Eropa) dan berpendidikan rendah. Selanjutnya, HIR
mengatur pihak-pihak yang berperkara dapat tampil sendiri dalam sidang
pengadilan dan untuk selanjutnya memperoleh segala bantuan yang mereka
perlukan dari hakim atau panitera pengadilan. Akibatnya, seringkali mereka
yang berperkara di pengadilan harus tampil membela dirinya sendiri dari
segala tuduhan yang diarahkan kepada mereka atau dibantu oleh pokrol bambu
(zaakwaarnemer) yang tidak memiliki ilmu pengetahuan hukum yang memadai
untuk berperkara. Hakim di satu sisi dituntut bertanggung jawab menciptakan
keadilan bagi pihak yang berperkara, namun di sisi lain oleh HIR diberikan
kesempatan untuk dapat juga memberikan bantuan hukum bagi mereka.
Kondisi ini jelas akan berpotensi menciptakan conflict of interest antara
hakim dan hak terdakwa dalam mengambil keputusan demi keadilan bagi kasus
tersebut.
Hal tersebut di atas jelas berbeda dengan sistem peradilan bagi orang-orang
Eropa dimana mereka telah mengenal lembaga advokat dalam kultur hukum Eropa.
Ketentuan mengenai peran advokat untuk memberikan bantuan hukum diatur
secara jelas dalam hukum acara peradilannya, yakni adanya ketentuan mengenai
kewajiban legal representation by a lawyer, baik di dalam perkara perdata
maupun perkara pidana.
Dalam kondisi yang demikian tentunya profesi advokat dapat tumbuh dan
berkembang bagi advokat-advokat Belanda yang beracara dalam pengadilan
Eropa. Sedangkan di pengadilan-pengadilan pribumi, peran advokat dalam
membantu mereka yang berperkara dikecilkan sehingga eksistensi advokat
dianggap seakan tidak penting dan tidak berkembang.
Pada masa itu Belanda jelas menilai pengacara pribumi (inlander) sebagai
sumber korupsi karena kegemarannya berperkara, potensinya menyalahgunakan
hukum serta sikap-sikap lainnya yang dinilai dapat menimbulkan keributan dan
memperluas kekacauan sosial budaya.
Di sisi lain, pokrol bambu yang tidak mempunyai kualitas memadai dan
tersebar di wilayah pedesaan, lebih mengutamakan kedekatan tertentu dengan
pejabat-pejabat di lingkungan peradilan untuk melaksanakan fungsinya, yakni
menjadi jembatan penghubung antara masyarakat tradisional dengan
pengadilan-pengadilan pemerintah.
Malahan, komersialisasi pendampingan hukum juga lebih hidup dalam praktek
pokrol bambu, dengan memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat serta
menyalahgunakan hubungan dengan para pejabat peradilan, sehingga pendekatan
lobby lebih dikuasai oleh pokrol bambu dalam menyelesaikan permasalahan
hukum yang ditangani daripada mengemukakan argumentasi-argumentasi hukum.
Setelah kemerdekaan RI, kondisi advokat Indonesia sebagaimana pada masa
penjajahan Belanda, terus berlanjut. Hal ini akibat pilihan konstitusi kita,
yaitu Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa:
“Segala badan negara dan peraturan yang masih ada langsung berlaku selama
belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”.
Dengan adanya Aturan Peralihan tersebut di atas maka peraturan yang
diberlakukan pada pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia sebelum
kemerdekaan tetap berlaku selama belum ada penggantinya, sehingga peraturan
seperti HIR tetap menjadi pedoman beracara dalam hukum positif Indonesia.
Kebijakan untuk mempertahankan sistem hukum dan sistem peradilan yang lama,
diawali oleh terbitnya Undang-undang No. 1 Tahun 1946 mengenai Peraturan
Hukum Pidana, yang menetapkan bahwa untuk hukum pidana Indonesia berlaku
Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie yang berlaku pada tanggal 8
Maret 1942.
Ketentuan hukum berikutnya yang dikeluarkan oleh pemerintah pasca
kemerdekaan adalah Undang-undang No. 1 Tahun 1950 tentang Susunan dan
Kekuasaan Jalannya Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia. Di dalamnya
ditentukan bahwa Mahkamah Agung memegang pengawasan tertinggi atas jalannya
peradilan, sehingga tingkah laku perbuatan pengadilan-pengadilan dan para
hakim di pengadilan mendapat pengawasan yang cermat dari Mahkamah Agung.
Kemudian, Undang-undang mengenai Mahkamah Agung tersebut terus berlanjut dan
mengalami beberapa kali perubahan, antara lain lewat Undang-undang No. 13
Tahun 1965 yang khusus dikeluarkan dalam rangka mendukung politik hukum
rezim Soekarno, guna memastikan bahwa Mahkamah Agung sebagai pemegang
kekuasaan kehakiman tidak lepas dari intervensi presiden dan tunduk kepada
presiden sebagai pelaksana revolusi. Perubahan selanjutnya atas
Undang-undang mengenai Mahkamah Agung dilakukan masih tetap dalam konteks
politik pembenaran atas campur tangan Presiden terhadap soal-soal pengadilan
demi kepentingan revolusi, yakni melalui Undang-undang No. 19 Tahun 1964
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Walaupun kemudian UU No. 19 Tahun 1964 tersebut diubah kembali dengan
Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman dimana di dalamnya diatur mengenai prinsip-prinsip peradilan
modern, seperti dimulainya penghargaan akan independensi dan imparsialitas
lembaga peradilan serta prinsip jaminan hak asasi manusia dalam
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.
Namun hal tersebut sebenarnya tidak menghasilkan pembaharuan yang memadai
karena masih terganjalnya kemandirian peradilan secara kelembagaan dan
otonomi hakim secara fungsional oleh sistem dua atap yang terus
dipertahankan.
Itulah sebabnya mengapa hingga kini dalam sistem peradilan dan hukum kita
timbul judicial corruption dan tidak adanya sikap judicial discretion dalam
diri aparat penegak hukum kita, khususnya para hakim, yang kemudian
menimbulkan praktek-praktek mafia peradilan dalam lembaga hukum kita.

Penulis adalah advokat dan anggota Komisi Hukum Nasional


Copyright © Sinar Harapan 2002