[Nasional-m] Sejarah dan Modus Operandi Mafia Peradilan di Indonesia (2-Habis)

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue Aug 27 21:00:21 2002


Sinar Harapan
27/8/2002
Sejarah dan Modus Operandi Mafia Peradilan di Indonesia (2-Habis)
Oleh
Frans H. Winarta, SH, MH

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa mafia peradilan merupakan
korupsi yang sistematik yang melibatkan mulai dari polisi, panitera,
advokat, jaksa, hakim, petugas di lembaga pemasyarakatan sampai petugas
parkir di pengdilan pun tidak ketinggalan. Demikian pula dengan peran pers
yang ikut berperan dalam praktek para mafia peradilan. Para pelaku korupsi
di pengadilan, khususnya para advokat, ada yang mempunyai ”hubungan baik”
dengan para jurnalis agar namanya selalu dimuat dalam kolom berita di koran
tersebut sehingga masyarakat hanya tahu nama-nama mereka saja.
Hal ini pun dilakukan dengan tujuan untuk mempengaruhi putusan hakim yang
belum mempunyai kekuatan hukum tetap dan membuat putusan hakim yang
mengandung judicial corruption tersebut memperoleh legitimasi melalui
liputan media-media massa besar.
Selanjutnya, mari kita lihat modus operandi yang dilakukan oleh mafia
peradilan dalam peradilan pidana yang melibatkan antara lain mulai dari
polisi, panitera, advokat, jaksa dan hakim serta petugas di lembaga
pemasyarakatan.
Dalam perkara pidana umum misalnya, praktek korupsi yang dilakukan oleh
mafia peradilan di tingkat penyelidikan akan mencegah suatu kasus meningkat
statusnya menjadi penyidikan (kepolisian). Uang ”damai” yang diberikan oleh
seorang tersangka kepada penyidik (polisi) akan membuat kasusnya tidak
sampai pada tingkat penuntutan (kejaksaan).
Demikian pula jaksa akan memperpanjang proses penyidikan sambil menunggu
uang ”pelicin” yang harus diberikan oleh tersangka, atau dengan cara lain
jaksa juga dapat menawarkan tuntutan yang lebih ringan apabila tersangka
memberikan sejumlah uang. Dalam modus operandi seperti ini tidak hanya
melibatkan jaksa dan tersangka saja, tapi juga advokat yang mendampinginya
selama pemeriksaan.
Sedangkan dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi misalnya, jaksa yang
memiliki wewenang untuk mengubah status saksi menjadi tersangka, dapat
merubah status untuk meringankan tersangka, misalnya menjadi saksi saja,
terdakwa saja atau terdakwa yang berstatus tahanan kota, tahanan rumah atau
tidak ditahan sama sekali. Salah satu modus yang juga paling banyak
digunakan adalah melepaskan tersangka dengan cara menghentikan penyidikan.
Ketika akhirnya tersangka sampai juga diajukan ke meja hijau, maka tersangka
akan dihadapkan dengan masalah adanya uang ”proses” di bagian administrasi
pengadilan dan masalah pemilihan majelis hakim yang dalam hal ini dapat ”
diatur” oleh pengacara yang sudah memiliki hubungan baik dengan kalangan
hakim.
Lalu, ketika perkara sudah sampai pada putusan maka tidak tertutup
kemungkinan untuk berkolusi dengan hakim. Negosiasi dilakukan untuk
menentukan jumlah uang yang harus disediakan oleh pengacara atau terdakwa.
Modus yang dilakukan sangat beragam, bisa melalui jaksa, panitera atau
langsung dengan hakimnya sendiri.
Selain itu, jalannya sidang juga dapat diselenggarakan pada pukul 08.00 pagi
saat pengadilan masih sepi, tapi kemudian vonis sudah dijatuhkan dan berita
acara langsung ditandatangani oleh hakim, jaksa, panitera dan pengacara.
Lain lagi di dalam lembaga pemasyarakatan dimana ternyata ada biaya ”tidak
resmi” yang seolah-oleh terstandarisasi, misalnya untuk 1 kali kunjungan
pihak lembaga pemasyarakatan akan memasang tarif mulai dari Rp 10.000 sampai
Rp 50.000. Para sipir penjara pun turut memperdagangkan kewenangannya,
misalnya dengan memberikan sejumlah uang secara rutin kepada sipir penjara,
seorang napi dapat keluar untuk mengunjungi istrinya atau dapat memperoleh
fasilitas istimewa di dalam penjara.
Demikian juga dalam peradilan perdata, pola korupsi yang dilakukan oleh para
mafia peradilan pun tidak jauh berbeda, misalnya, saat mendaftarkan perkara,
pihak panitera tidak memberikan rincian seluruh biaya yang harus dibayar
oleh para pihak. Untuk mendapatkan majelis hakim yang ”favorable”, para
pengacara harus berlomba menghubungi Ketua Pengadilan Negeri yang mempunyai
wewenang untuk menentukan komposisi majelis hakim, atau, biasanya pihak yang
bersengketa lebih memilih pengacara yang umumnya telah memiliki hubungan
baik dengan kalangan hakim.
Selain itu, modus lainnya adalah dalam menentukan diterima atau tidaknya
suatu alat bukti tergantung kepada jumlah uang yang diberikan oleh para
pihak. Putusan juga tidak lagi dijatuhkan atas dasar hukum dan rasa
keadilan, tetapi lebih berdasarkan kepada ”kedekatan” (lobby) dan uang.
Dengan imbalan sejumlah uang, maka hakim tidak lagi ragu untuk menjatuhkan
putusan yang menguntungkan pihak yang memberikan uang yang lebih besar
daripada pihak lainnya.
Pola lainnya yang digunakan untuk membayar hakim adalah dengan mengundang
hakim yang bersangkutan sebagai pembicara dalam sebuah seminar hukum.
Menurut ICW, ada hakim di Jakarta yang menerima honor sebagai pembicara
sebuah seminar Rp 300 juta.
Dengan demikian, seminar hukum hanya digunakan sebagai kedok dan biasanya
seminar tersebut pun diselenggarakan oleh firma hukum atau LSM yang dimiliki
oleh pengacara yang bersangkutan.
Teknik lainnya untuk membayar hakim sebagai imbalan karena memenangkan
perkaranya adalah berupa ”sumbangan” untuk perkawinan anak hakim. Kemudian,
agar putusan yang dijatuhkan tidak menimbulkan kecurigaan, maka beberapa
pengacara menjalin hubungan yang erat dengan kalangan jurnalis dengan
memberikan suatu imbalan tertentu.

Malahan, baru-baru ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengeluhkan
hal tersebut bahwa putusannya yang dianulir oleh pengadilan negeri, yang
sudah diketahui putusannya sehari sebelum putusan tersebut dijatuhkan, tidak
dapat membantah iklan pengumuman yang memuat putusan pengadilan negeri
tersebut karena selain tidak mempunyai dana untuk itu, juga karena semua
media massa ”dibungkam” untuk tidak memuat bantahan KPPU atas iklan
pengumuman putusan pengadilan negeri yang belum mempunyai kekuatan hukum
tetap (in kracht van gewijsde) tersebut dengan cara-cara kooptasi dan
kekuatan ekonomi, antara lain dengan tidak memuat press release dan press
conference KPPU yang membantah iklan pengumuman tersebut.
Selanjutnya, proses banding, kasasi dan peninjauan kembali hingga suatu
putusan memiliki kekuatan hukum tetap, masih sering dimanfaatkan untuk
berkolusi oleh Ketua Pengadilan Negeri, juru sita dan pengacara. Dalam hal
dilakukan sita pun, maka juru sita akan ”memainkan” obyek sitaan atau
melakukan bermacam manipulasi.

Kesimpulan
Timbulnya judicial corruption dan tidak adanya sikap judicial discretion
yang kemudian menimbulkan praktek mafia peradilan pada lembaga hukum kita
adalah tidak terlepas dari sejarah dan budaya sistem hukum negara kita
selama ini.
Sebagaimana kita ketahui bahwa sistem hukum kita selama ini lebih banyak
diintervensi oleh kepentingan politik dan ekonomi sehingga keadilan tidak
lebih dari sekadar barang komoditas yang diperjualbelikan. Lembaga
pengadilan sebagai instrumen utama penegakan hukum telah dijadikan ”pasar”
untuk memperjualbelikan keadilan dan menjadi sumber korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN).
Demikian pula nilai-nilai keadilan telah dicampuradukkan dengan berbagai
bentuk intervensi kekuasaan maupun intervensi komersial. Ukuran
menguntungkan atau tidak menguntungkan suatu perkara dipandang hanya dari
kacamata politis dan ekonomis.
Dan terlebih lagi, yang membuat keadaan sistem hukum kita semakin parah
adalah bahwa praktek-praktek curang dan koruptif tersebut di atas dilakukan
secara sistematis oleh para aparat penegak hukum itu sendiri dengan
sebutan ”mafia peradilan”. Praktek-praktek koruptif yang sering mereka
lakukan dapat dikategorikan sebagai ”judicial corruption” sesuai dengan
deklarasi IBA tersebut di atas.
Tidak dapat dipungkiri bahwa advokat pun secara langsung maupun tidak
langsung turut menciptakan terjadinya mafia peradilan dan judicial
corruption. Padahal, posisi advokat dalam sistem hukum kita mempunyai peran
yang sangat vital dan krusial, hanya advokatlah yang memiliki akses menuju
keadilan dan penghubung antara masyarakat dengan negara melalui institusi
hukumnya.
Namun yang terjadi adalah sekarang profesi advokat lebih dikenal sebagai ”
broker” perkara yang berdiri tepat di antara kliennya dan aparat penegak
hukum (hakim, jaksa dan polisi) sebagai pembeli dan penjual keadilan.
Peran advokat yang seharusnya memberikan jasa hukum dan mewakili kliennya
perlahan diganti dengan peran ”mendekati” aparat penegak hukum agar perkara
yang ditanganinya dapat dimenangkan dengan cara apa pun. Advokat yang
seharusnya berperan secara konsisten menjembatani kepentingan masyarakat
dalam sistem peradilan, justru turut terlibat dan menjadi bagian dari mafia
peradilan dan judicial corruption.
Keadaan tersebut didukung pula oleh iklim budaya hukum masyarakat Indonesia
dimana mereka lebih menghendaki agar perkaranya dapat dimenangkan dengan
cara apa pun tanpa mempedulikan nilai keadilan dan kebenaran yang terkandung
di dalamnya serta etika dan moral. Celakanya, budaya ini telah tertanam
dalam kehidupan masyarakat Indonesia berpuluh-puluh tahun lamanya.
Demikian pula halnya dengan pers (wartawan) dan media massa yang secara
tidak langsung turut berperan bagi terciptanya keadaan tersebut di atas.
Wartawan lebih cenderung untuk memuat berita-berita yang menonjolkan para
advokat yang terlibat dalam mafia peradilan dan judicial corruption sehingga
akibatnya masyarakat lebih mengenal para advokat yang melakukan
praktek-praktek curang dan koruptif tersebut ketimbang para advokat yang
tetap konsisten mempertahankan nilai-nilai keadilan dan kebenaran.
Melihat gambaran tersebut di atas memang sudah saatnya kita sadar bahwa
negara kita harus melakukan reformasi total, terutama di bidang hukum,
walaupun hal ini sudah bukan merupakan hal yang baru lagi bagi kita
sekarang. Untuk memperbaiki keadaan tersebut di atas memang bukanlah
pekerjaan mudah. Upaya melakukan reformasi hukum perlu dukungan dari semua
pihak yang terkait, terutama political will dari pemerintah mengingat
pemerintahlah yang memiliki kekuatan memaksa untuk memberantas KKN dan
praktek-praktek ”curang” lainnya di lembaga peradilan kita.
Menurut hemat saya dapat dikatakan di sini bahwa ada beberapa hal yang dapat
dilakukan untuk memberantas praktek-praktek judicial corruption yang
dilakukan oleh mafia peradilan, yaitu antara lain:
Perbaikan institusi hukum (polisi, jaksa, hakim dan advokat) dalam hal
sistem rekrutmen, mengadakan program pelatihan atau program Continuing Legal
Education (CLE) secara konsisten, pembekalan etika profesi hukum,
profesionalisme, dan lain sebagainya terutama dalam lembaga Mahkamah Agung
sebagai sentra penegakan hukum.
Perlu dukungan dan peran serta masyarakat luas (public support) terhadap
pemberantasan praktek-praktek korupsi tersebut di atas. Oleh karena itu
diperlukan diseminasi program Gerakan Nasional Anti-Korupsi kepada
masyarakat umum dan mendidik masyarakat agar tahu dan mewaspadai bahaya
korupsi dengan berani melawan, mengadu, melaporkan praktek-praktek korupsi
yang dilakukan oleh para aparat penegak huukm serta menolak atau jangan
larut terlibat dalam suap, pungli dan sebagainya.
Mendidik masyarakat agar menyadari bahwa korupsi merupakan perbuatan yang
merendahkan harkat dan martabat manusia (human dignity) Indonesia serta
menciptakan bad governance, sehingga bangsa Indonesia tidak bisa berdiri
sejajar dengan bangsa-bangsa lain, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang
tidak mandiri, manajemen pemerintah menjadi tidak efisien dan tidak efektif,
menjadi bangsa yang tidak produktif, kehidupan masyarakat menjadi tidak
tentram karena masyarakat harus menanggung pajak yang tinggi, mengakibatkan
defisit APBN yang harus ditutup dengan cara menaikkan pajak, menaikkan harga
BBM, tarif listrik, bea masuk, tol, biaya angkutan, dan lain-lain (het doel
heiligd de middelen).
Demikianlah gambaran secara umum sejarah dan modus operandi yang sering
dilakukan oleh para mafia peradilan di lembaga peradilan. Kiranya hal
tersebut di atas dapat dijadikan pelajaran bagi kita semua untuk mengetahui
dan memberantas segala trik-trik dan modus operandi yang sering dilakukan
oleh para mafia peradilan.
Kelak, kalau anda berpraktek sebagai penegak hukum atau advokat, saya
harapkan anda, sebagai generasi muda harapan bangsa, tidak ikut terlibat
dalam praktek-praktek koruptif sebagaimana diuraikan tersebut di atas, namun
memiliki moralitas dan integritas yang tinggi, profesional, mempunyai
komitmen untuk membela kebenaran dan keadilan tanpa rasa takut, memiliki
pendirian yang teguh berpihak kepada keadilan dan kebenaran dan tidak selalu
hanya memikirkan keuntungan bagi diri sendiri.

Penulis adalah advokat dan anggota Komisi Hukum Nasional  .