[Nasional-m] Selamat Tinggal Rasionalitas!

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue Aug 27 23:24:01 2002


SUARA PEMBARUAN DAILY

Selamat Tinggal Rasionalitas!
Oleh Benny Susetyo Pr

Belakangan ini masyarakat bawah terjangkiti demam sebuah lagu dangdut yang
mengupas peran Mbah Dukun untuk meluluskan cinta seorang pemuda, melalui
jampi-jampi dan kekuatan alam gaib. Pada saat yang sama, ternyata demam alam
gaib itu tidak saja dialami oleh masyarakat bawah, bahkan masyarakat kelas
atas juga ditimpa hal yang sama. Mereka dibuai dalam mimpi tentang harta
karun.
Cerita harta karun itu bukan cerita untuk anak-anak kecil yang mau tidur
saja, ternyata masyarakat yang telah mengklaim diri sebagai pewaris zaman
pencerahan juga masih sangat mempercayai harta karun.
Geger penggalian harta karun di Batutulis Bogor merupakan cermin semakin
bingungnya negeri ini dalam menghadapi krisis multidimensional. Situs
bersejarah yang diduga menyimpan harta karun itu tidak saja menarik untuk
dikaji secara mendalam mengapa terjadi, melainkan juga karena melibatkan
pejabat publik sekelas Menteri Agama. Realitas seperti itu sebenarnya
menggambarkan sebuah realitas kekuasaan yang absurd (kosong). Daya nalar
sudah mati, dan apa pun bisa dilakukan. Tidak peduli, meminta to- long pada
IMF sampai pada hantu.
Kekuasan yang absurd itu menjelma menjadi irasionalitas yang sulit untuk
dijangkau dengan nalar, sebab di dalamnya ada kekuatan supranatural yang
tentu saja tidak bisa dinalar. Itulah sebenarnya cermin dari kekuasaan kita
yang tidak percaya pada kekuatan sistem dan juga kekuatan pikiran manusia.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa sejak zaman Bung Karno, Pak Harto, Gus Dur,
sampai Bu Mega, para petinggi kita sedikit banyak dikelilingi oleh kekuatan
supranatural. Terutama cerita klenik Pak Harto yang sangat terkenal itu.
Dasar Pemerintahan
Kita perlu mengingat bahwa berulangkali Bung Hatta meletakkan dasar-dasar
pemerintahan secara rasional yang bisa dikontrol. Dengan meletakkan sistem
pemerintahan yang memiliki mekanisme, maka hal itu memungkinkan sebuah
kinerja yang bisa diawasi. Namun, lama-kelamaan kekuatan daya kharisma
selalu mengalahkan kekuatan sistem rasional yang dibangun itu. Ini membawa
akibat lahirnya peristiwa-peristiwa yang menggetirkan dan menggelikan itu.
Peristiwa itu bukan dilakukan rakyat biasa tetapi seorang intelektual yang
memiliki kemampuan nalar sekaligus seorang yang ahli agama. Tapi mengapa
realitasnya bisa berubah seratus derajat? Dari mana ide itu tiba-tiba
diperoleh tanpa mempertimbangkan dimensi keintelektualannya? Rupanya publik
menjadi terheran-heran akan peristiwa yang terjadi di Batutulis, Bogor itu.
Mungkin publik tidak melihat apa yang ada di balik peristiwa itu sebenarnya
sebagai sebuah cerminan betapa merosotnya mutu kenalaran seseorang, ketika
daya nalar bisa dikalahkan oleh kekuatan magis. Sebenarnya peristiwa itu
merupakan bagian dari ketidakmampuan kekuasaan untuk melihat realitas yang
terjadi. Seorang ahli sosiologi Max Weber pernah mengingatkan akan kemampuan
manusia untuk membaca realitas. Kemampuan untuk membaca realitas itulah yang
perlu dimiliki oleh mereka yang berkuasa. Mengapa? Agar mereka tidak salah
menangkap realitas. Realitas masyarakat sangat membutuhkan pemerintahan yang
berwibawa, bersih, jujur dan menegakkan keadilan.
Namun realitas itu dibaca secara salah oleh kekuasaan. Kekuasaan melihat
bahwa pemerintah butuh uang karena kebutuhan itu yang paling urgen. Demi
menjaga nama kekuasaan agar bisa terus lestari maka daya nalar dimatikan
digantikan dengan kekuatan klenik.
Tidak Berdaya
Realitas itu menunjukkan bahwa sebenarnya pemerintahan saat ini sudah tak
berdaya lagi. Ketidakberdayaan itu terjadi karena fungsi manajemen
pemerintahan tidak berjalan. Terjadi kemandekan proses yang rasional dan
bisa dimengerti semua pihak. Realitas yang sebenarnya terjadi dalam dinamika
masyarakat adalah ketidakmampuan yang berujung pada sikap frustrasi. Ketika
kekuasaan merasa frustrasi maka ketidakmampuan membaca realitas itu paling
mudah menjual impian, yaitu mitos harta karun.
Jadi, realitas itu sebenarnya mencerminkan kondisi elite politik yang telah
kehilangan orientasi. Mengapa hal itu terjadi? Karena para elite politik
kurang dewasa. Seperti pernah dikatakan oleh Kant bahwa ketidakdewasaan
adalah ketidakmampuan untuk mempergunakan pemikiran sendiri tanpa bimbingan
orang. Ketidakdewasaan itu merupakan kesalahan sendiri, yakni ketidakmampuan
untuk berpikir. Di samping itu juga karena orang tidak memiliki ketegasan
dan keberanian untuk mempergunakan pemikirannnya tanpa bimbingan orang lain.
Di sinilah letak persoalan betapa mudahnya para pemimpin kita terjebak pada
ketergantungan penasihat spiritual yang mempengaruhi segala keputusan
publik, yakni karena pemimpin tidak berani mengambil risiko atas
keputusannya sendiri. Semua keputusan diselesaikan di bawah meja tanpa
sepengetahuan publik. Akibatnya, penasihat spritual begitu laku dipakai oleh
para elite politik hanya sekadar untuk menghibur bahwa kekuasannya tetap
lestari. Demi itu, semua saran dukun pun tidak lagi dinalar dengan
mempertimbangkan aspek yang lain. Di situlah uniknya negeri ini: kehidupan
beragama sangat kuat di satu sisi tapi di sisi lain, perdukunan juga begitu
kuat.
Realitas itu riil terjadi tanpa kita bisa menolak. Realitas seperti itu ada
dalam lingkaran kekuasaan politik Indonesia. Oleh karena itu, realitas itu
harus dibaca sebagai ketidakmampuan elite politik untuk mengatasi persoalan
krisis multidimensional. Lantas karena ketidakmampuan itulah mereka lari
mencari jimat dan pusaka.
Ada juga dugaan kuat bahwa sebenarnya ini adalah gejala untuk mengalihkan
perhatian terhadap ketidakmampuan seorang pemimpin. Bila realitas itu yang
terjadi, maka selamat tinggal dunia rasionalitas. Bila itu ditinggalkan di
ruang publik, maka segalanya akan sulit untuk dikontrol karena semua serba
absurd dan maya. Segala yang absurd memang sulit untuk dinalar, dan
ironisnya hal itu justru dijadikan sebagai logika kekuasaan. Maka, silakan
saja bongkar prasasti di Batutulis, dan selamat tinggal rasionalitas!
Penulis adalah budayawan, tinggal di Malang.


Last modified: 27/8/2002