[Nasional-m] Komisi Latah Untuk Aceh

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sat Aug 31 07:48:09 2002


Suara Karya

Komisi Latah Untuk Aceh
Oleh Munir

Jumat, 30 Agustus 2002
Beberapa orang mantan pejabat negara - di antaranya ada yang pernah
dilibatkan dalam penanganan masalah Aceh - mengusulkan kepada pemerintah
agar membentuk komisi nasional yang menangani penyelesaian soal Aceh.
Gagasan tentang pembentukan Komisi Nasional Penyelesaian Aceh ini diusulkan
ketika terjadi kontroversi terhadap gagasan pemberlakuan keadaan darurat di
Provinsi Aceh - suatu gagasan yang ternyata semakin tidak mendapat dukungan.
Sayang sekali, gagasan tentang pembentukan komisi nasional itu tidak jelas
betul menyebutkan target dan tujuan yang akan dicapai. Yang sayup-sayup
terdengar, justru komisi itu diperlukan untuk memperkokoh kedudukan tim
penasihat Wakil Presiden yang bertanggung jawab memberikan pertimbangan
dalam pengambilan kebijakan menyangkut berbagai masalah Aceh.
Gagasan pembentukan komisi semacam itu kini memang sedang menjadi modis.
Banyak kalangan lebih terkonsentrasi membentuk kelembagaan penyelesaian
sengketa ketimbang mencari pemecahan akar persoalan itu sendiri. Hampir
semua soal diusulkan dipecahkan dengan membentuk komisi. Kecenderungan yang
berkembang, pengusul tidak perlu lagi melihat bahwa komisi-komisi itu
memiliki kapasitas atau tidak untuk menyelesaikan persoalan yang menjadi isu
garapannya. Misalnya, seberapa besar komisi-komisi itu menjadi suatu sinyal
kesepakatan seluruh komponen untuk mencari pemecahan yang diserahkan dengan
otoritas cukup.
Sebuah gagasan tentang pembentukan komisi nasional untuk menyelesaikan
persoalan Aceh tentu harus dilihat dari konteks bagaimana masalah Aceh
diletakkan dalam peta berbagai kepentingan subyek-subyek yang bermain dalam
persoalan itu. Kita sudah mafhum bahwa persoalan Aceh terjadi dan tidak
mudah diselesaikan karena ketidakcakapan Jakarta merumuskan pikiran atau
gagasan-gagasannya dan kemudian melaksanakan kewajibannya bagi tuntutan
keadilan masyarakat di wilayah tersebut. Ini menyangkut penyelesaian ekonomi
yang telah melahirkan kemiskinan akut pada sebagian besar rakyat Aceh.
Selain itu, juga karena adanya tuntutan menyangkut pengakuan atas eksistensi
politik rakyat Aceh.
Kesemua tuntutan itu jelas memberikan syarat mengenai kesiapan pemerintah
menjamin peradilan yang jujur terhadap pelaku kejahatan HAM. Tentu kita akan
melihat bagaimana pemerintah harus bertarung melawan mereka yang terdesak
oleh tuntutan itu. Bagaimana kita berharap itu dapat dijawab dalam saat ini,
sementara dunia pengadilan yang memiliki otoritas untuk itu justru sibuk
membebaskan mereka yang dituduh melakukan pelanggaran berat HAM.
Mendistribusi ekonomi yang adil memang kemudian dijawab dengan memperbanyak
bugdet untuk wilayah Aceh. Tetapi kenyataan menunjukkan, dana yang cukup
besar itu justru disalurkan pada penguatan operasi TNI dan Polri. Lebih jauh
dana sisanya akan dikonsentrasikan untuk pembangunan di wilayah nonkonflik
di Provinsi Aceh, dan seterusnya. Jadi, problemnya justru terjadi perebutan
budget "antarpemain" di Jakarta ketimbang peningkatan anggaran itu untuk
kesejahteraan rakyat. Masalah ini tentu masih bisa kita tambahkan sejumlah
daftar kekacauan para penentu kebijakan di Jakarta dalam klaimnya mencarikan
penyelesaian bagi konflik berdarah di Aceh.
Dengan konteks politik itu jelas bahwa gagasan tentang pembentukan Komisi
Naisonal Penyelesaian Aceh jauh dari kemungkinan memperoleh ruang dukungan
yang cukup bagi tujuannya. Tentu para penggagas bukan orang yang naif dan
tidak memahami konteks politik Jakarta dengan berbagai kepentingannya.
Tetapi tampaknya gagasan tersebut lebih didasari oleh kelatahan eforia
pembentukan berbagai komisi, atau bahkan semata mencari pintu masuk untuk
memperoleh keuntungan jangka pendek di balik sengketa itu.
Akhirnya kita hanya bisa berharap agar gagasan itu tidak sekadar latah
ataupun mencari keuntungan di langit ketidakjelasan hari ini. Kejujuran
nasional bagi penyelesaian soal Aceh amat dibutuhkan. Pemecahan masalah Aceh
ke depan tidak bisa diletakkan pada kerja pembuatan komisi-komisi yang
bersifat ad hoc yang tidak memiliki nyawa cukup untuk menundukkan nafsu
Jakarta.***
Munir adalah mantan Koordinator Kontras.