[Nasional-m] Konsep Informasi Reproduksi Remaja

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sat Aug 31 07:48:17 2002


Suara Merdeka
Sabtu, 31 Agustus 2002 Karangan Khas

Konsep Informasi Reproduksi Remaja
Oleh: Mochamad Widjanarko

BARU-baru ini kota Yogya kembali digegerkan hasil penelitian seks pranikah
suatu lembaga di kota itu yang menyatakan 97,05% mahasiswi dari 1.660
responden telah melakukan hubungan seks pranikah.
Paparan itu membuat banyak kalangan mempertanyakan detail hasil dan
validitas penelitian, serta menjadi polemik di kalangan pendidik, keluarga
dan kaum agama.
Di sisi lain, hasil temuan itu menambah daftar panjang penelitian yang telah
banyak dilakukan sebelumnya.
Seperti dilakukan oleh Eko, seorang remaja di Kota Gudek terhadap
teman-temannya yang menemukan 8,53% dari responden yang berjumlah 461 orang
telah melakukan senggama (Minggu Pagi, 9 Januari 1983).
Juga penelitian yang dilakukan Faturochman (1989) di Kabupaten Tabanan dan
Bandung di Bali, dengan subyek 324 remaja yang 4,9% respondennya pernah
melakukan hubungan sek pranikah.
Kemudian penelitian Pusat Penelitian Kependudukan, UGM (1991) pada remaja
berumur 14-24 tahun di Manado, mengungkapkan laki-laki 151 orang dan 146
orang perempuan terbukti 26,6% melakukan perilaku seks pranikah.
Penelitian lain dilakukan oleh Lembaga Konselor Sahabat Remaja di Medan yang
melaporkan data tahun 1990 ada 80 remaja usia 14-24 tahun hamil sebelum
menikah. (Tempo, 28 September 1991).
Fakta ilmiah ini, sesungguhnya merupakan perwujudan dari wajah asli perilaku
seks remaja Indonesia yang bisa dideteksi oleh kalangan yang konsen di
bidang reproduksi remaja dan fenomena perilaku hubungan seksual pranikah di
kalangan remaja.
Tidak dapat dipungkiri hal seperti itu banyak terjadi di kota-kota kecil dan
besar Indonesia.
Perubahan sosial menurut Suparlan (182:107) adalah adanya perubahan dalam
struktur sosial dalam pola-pola hubungan sosial yang mencakup sistem status
hubungan dalam keluarga, sistem kekuasaan dan perubahan penduduk.
Perubahan kebudayaan adalah perubahan dalam sistem pengetahuan yang dimiliki
oleh masyarakat, mencakup nilai, aturan, atau norma yang digunakan sebagai
pegangan dalam kehidupan.
Menurut penulis, perubahan perilaku seks pranikah remaja tidak terlepas dari
pertama, hasil percontohan (modeling).
Salah satunya adalah terbukanya akses iformasi seksual, dimana informasi
dapat diperoleh melalui media elektronika seperti siaran televisi, video,
LCD, VCD dan media cetak bahkan teknologi mo dern: internet.
Kedua, adanya anggapan informasi seks hanya menjadi otoritas kaum dewasa dan
bukan anak-anak dan remaja, sehingga seks yang hadir dalam kehidupan remaja
tidak dikenal secara utuh dan terpotong-potong.
Hal ini ditambah lagi, tidak memungkinkan untuk membicarakan seks secara
terbuka dalam keluarga karena adanya rasa "tabu". "Belum saatnya buat anak
kecil, ini untuk orang dewasa," begitu kilah orang tua.
Ketiga, bisa jadi perubahan perilaku seks di kalangan remaja Indonesia,
karena dengan munculnya sikap memermisifkan hubungan seks pranikah sebagai
"gugatan" dibombardirnya remaja oleh konsumerisme global yang semakin
meluas.
Keadaan ini dipicu pula oleh berbagai macam tayangan, terbitan media cetak
dan elektronik pasca reformasi sehingga memunculkan gaya hidup baru menuju
perilaku seks bebas serta adanya kegagalan negara dalam merekonstruksi
"pagar" muatan moralis di sekat-sekat wadah yang bernama keluarga.
Pendidikan
Bagaimana remaja bisa berpikir fair dan terbuka sesuai porsi perkembangannya
serta berperilaku seks yang sehat jika nyaris di setiap hari disuguhi
rangsangan perilaku seks berupa adegan berciuman, percumbuan, kekerasan
seksual dalam pacaran dan kekerasan dalam rumah tangga, atau kehamilan yang
tidak diinginkan yang semakin marak ditayangkan oleh media elektronik dan
media cetak.
Realitas yang lain, remaja membaca dan mendengar banyak ditemukannya orang
tua yang melakukan hubungan seks di luar perkawinan yang sah (adanya WIL
atau PIL).
Juga informasi adanya "oknum" pendidik yang melakukan pemaksaan seksual pada
anak didiknya, atau yang paling parah adalah peristiwa orang tua yang
melakukan hubungan seks dengan anak kandungnya sendiri.
Proses alur rangsangan yang diterima remaja semakin diperparah lagi dengan
tidak ada atau minimnya informasi berupa kesehatan reproduksi yang betul dan
benar yang bisa diterima oleh remaja, baik itu melalui institusi keluarga,
pendidikan dan kalangan agama.
Belajar dari hasil penelitian yang ada dan bayangan perilaku seksual remaja
yang tidak terdeteksi, diperlukan suatu konsep atau kertas kerja yang bisa
digulirkan dan dipertanggungjawabkan.
Bisa jadi perlu digagas adanya pendidikan kesehatan reproduksi sehat bagi
remaja di sekolah dan keluarga.
Pembongkaran dan penataan perilaku seks remaja tidak sehat menuju perilaku
seks sehat dan bertanggungjawab harus segera dilakukan dan ditindaklanjuti
dengan melibatkan banyak pihak seperti pendidik, petugas kesehatan,
psikolog, agamawan, orang tua dan aktivis LSM yang konsen di kesehatan
reproduksi remaja.
Pendampingan-pendampingan akan sosialisasi informasi perilaku seks yang
sehat dan betul bagi remaja sudah saatnya dilaksanakan secara terbuka dan
metode belajar demokratis (peer group) dari remaja, oleh remaja dan untuk
remaja merupakan salah satu metode yang perlu diimplementasikan.
Kesehatan reproduksi sendiri adalah keadaan kesejahteraan fisik, mental dan
sosial yang utuh dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan, dalam
segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi-fungsi serta
proses-prosesnya (Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan,
1994).
Pendidikan kesehatan reproduksi remaja bisa meliputi sebagian kecil dari
pengetahuan tentang alat reproduksi dan fungsinya, mitos-mitos yang
berkaitan dengan seksualitas, perilaku seksual serta penyakit menular
seksual seperti sifilis, gonore, herpes genitalis dan HIV/AIDS.
Langkah lanjut, diperlukan dukungan nyata akan upaya-upaya yang telah
dimulai seperti yang diimplementasikan oleh sebuah SLTP di Kota Kendal,
institusi pendidikan formal yang telah memasukkan kesehatan reproduksi
menjadi materi muatan lokal yang diajarkan di kelas II dan III, seminggu
satu jam pelajaran (Suara Merdeka, 3 Agustus 2002).
Akhirnya, pendidikan kesehatan reproduksi remaja sudah saatnya diberikan dan
diinformasikan sesuai dengan tugas perkembangannya. Apakah masih ada remaja
yang tidak tahu akan kesehatan reproduksinya? Pertanyaan ini semakin meluas
manakala melihat fakta yang terjadi di sekeliling kehidupan remaja.
Salah satu kehidupan remaja adalah memiliki waktu dan kesempatan yang besar
untuk dapat mengakses informasi akan seks karena berhubungan dengan
perkembangan reproduksinya. Remaja masih memiliki banyak waktu untuk
mengembangkan cara berpikir, serta memantapkan konsep dari teori menjadi
praksis termasuk dalam berperilaku seks yang sehat dan bertanggungjawab.
Oleh karenanya, pengaburan dan pemotongan informasi seks di kalangan remaja
akan membuat remaja mengalami kebingungan.
Perlunya remaja, untuk mengetahui secara benar dan betul informasi kesehatan
reproduksi merupakan langkah awal munculnya adanya generasi muda yang
berperilaku seks sehat yang bertanggungjawab. (18)
-Mochamad Widjanarko Koordinator Divisi Kesehatan Reproduksi YLSPL (Yayasan
Lembaga Studi Psikologi dan Lingkungan) Semarang.