[Nasional-m] Aspek Hukum Penerbitan R&D

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon, 2 Dec 2002 01:05:27 +0100


Suara Karya

Aspek Hukum Penerbitan R&D
Oleh M Khoidin

Senin, 2 Desember 2002
Pemerintah mengeluarkan kebijakan baru dalam penyelesaian kasus BLBI yang
saat ini berada di tangan para konglomerat. Setelah mengeluarkan berbagai
sheme penyelesaian kasus BLBI melalui MSAA, MRNIA, PKPN dan APU, Pemerintah
menerbitkan Letter of Release and Discharge (R&D) kepada sejumlah obligor
yang dipandang kooperatif dalam menyelesaikan hutangnya kepada negara, yang
berisi pembebasan dari tuntutan hukum.

Sebagai langkah awal R&D diterbitkan kepada empat konglomerat besar, yaitu
Sudwikatmono (eks Bank Surya dengan hutang Rp 1,88 triliun), Ibrahim Risjad
(eks Bank RSI dengan hutang Rp 636,8 miliar), The Nin King (eks Bank
Danahutama dengan hutang Rp 18,06 miliar) dan Liem Hendra (eks Bank Budi
Internasional dengan hutang Rp 17,6 miliar).

Tidak tertutup kemungkinan, R&D akan diberikan kepada obligor lain yang
dinilai kooperatif. Konon, Sudono Salim (eks BCA), Syamsul Nursalim (eks
BDNI) dan Bob Hasan (eks BUN) akan segera dibebaskan dengan R&D pula. Sedang
konglomerat Usman Atmadjaya (eks Danamon), Kaharudin Ongko (eks BUN) dan
Samadikun Hartono (eks Bank Modern) saat ini tengah menunggu nasibnya dapat
tidaknya memperoleh R&D setelah mereka meneken MRNIA.

Dengan diterbitkan R&D tersebut maka para obligor diberi kesempatan untuk
menunaikan kewajibannya melalui penandatangan PKPS dan APU, sementara dia
dibebaskan dari tuntutan hukum (pidana). Kebijakan tersebut dimaksudkan
untuk menggugah para debitor agar mempunyai semangat dan itikad baik untuk
segera melunasi hutangnya kepada negara.

Namun beberapa kalangan menolak kebijakan penerbitan R&D tersebut, karena
terbukti meski beberapa kali diterbitkan kebijakan dalam penyelesaian kasus
BLBI/KLBI dengan berbagai macam program, tetapi hasilnya tetap tidak
memuaskan. Sudah saatnya kepada para obligor nakal diterapkan sanksi hukum
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Beberapa klausul dalam R&D tersebut sangat menguntungkan debitor dan
melindungi konglomerat nakal jika ternyata mereka tidak mau membayar
kewajibannya kepada negara. Kepala Bappenas, Menko Ekuin, Kwik Kian Gie,
termasuk salah satu pejabat yang menentang kebijakan tersebut. Menurut Kwik,
meski telah melaksanakan kewajibannya mereka masih harus menghadapi proses
pidana karena melanggar Undang Undang Perbankan.

Kebijakan tersebut sangat menguntungkan konglomerat yang melakukan kejahatan
ngemplang uang negara karena dilindungi oleh penerbitan R&G. Beberapa
konglomerat yang diduga melakukan mark up saat meminjam uang negara atau
melanggar legal lending limit melalui lembaga perbankan, tidak diproses
secara hukum karena kasusnya ditutup dengan menerbitkan R&D.

Tidak Dibenarkan


Kebijakan pengembalian piutang negara di tangan obligor melalui berbagai
program (MSAA, MRNIA, PKPS dan APU) antara Pemerintah dan debitor dalam
perspektif hukum perdata (hukum privat) adalah sah-sah saja dilakukan.
Tujuan yang hendak dicapai oleh Pemerintah semata-mata untuk mengembalikan
uang negara yang nyantol di tangan debitor nakal.

Namun jika ditinjau dari aspek hukum pidana, penerbitan R&D tidak dapat
dibenarkan. Terhadap debitor yang tidak melakukan pelanggaran dalam
memperoleh dan mengunakan BLBI, penerbitan R&D tidaklah menjadi masalah.
Namun bagi debitor yang melakukan kejahatan dengan menggerogoti uang negara
sehingga menimbulkan kerugian triliunan rupiah, tetap harus ditindak dan
dimintai pertanggungjawaban hukum tanpa harus diterbitkan R&D.

Transaksi antara debitor dan BI atau Bank Pemerintah berkaitan perolehan dan
penggunaan uang negara memang termasuk dalam lingkup hukum perdata. Namun
tidak sedikit debitor yang sengaja menilep uang negara, baik dalam bentuk
kredit atau penyalahgunaan BLBI/KLBI, sehingga negara dirugikan ratusan
triliun rupiah. Perbuatan demikian jelas melanggar hukum sehingga harus
diselesaikan melalui pengadilan dengan menyeret pelakunya ke meja hijau.

Jadi, perbuatan debitor dan siapa pun juga yang merugikan negara melalui
lembaga perbankan dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. UU
No. 3/1971 yang diperbarui UU No. 31/1999 telah memberikan ancaman cukup
berat bagi pelaku kejahatan korupsi. Bahkan jika perbuatan korupsi tersebut
menimbulkan kerugian sedemikian besar sehingga berdampak luas dalam
kehidupan masyarakat, maka pelakunya dapat diancam hukuman mati.

Penilepan uang negara dengan menggunakan lembaga perbankan sebagai
sarananya, seperti mark up, pelanggaran BMPK, perampokan BLBI dan KLBI oleh
beberapa konglomerat merupakan kejahatan perbankan. UU Perbankan No. 7/1992
yang telah diperbarui UU No. 10/1998 memberikan ancaman hukuman sangat
tinggi kepada pelakunya, yaitu penjara paling lama 15 tahun dan denda paling
tinggi Rp 15 miliar.

Apabila penilep uang negara tidak diselesaikan melalui jalur yang benar,
dalam arti diselesaikan di luar jalur pengadilan karena mereka bersedia akan
mengembalikan uang kepada negara, maka hal itu merupakan wujud inkonsistensi
dalam penegakan hukum. Pada skala makro dapat memerosotkan wibawa pemerintah
dalam penyelesaian berbagai skandal di Indonesia.

Para debitor yang mempunyai bargaining position kuat karena punya banyak
uang akan seenaknya mengatur Pemerintah meski mereka melakukan perbuatan
yang merugikan negara. Seharusnya penyelesaian kejahatan terhadap keuangan
negara, seperti kasus BLBI dan kejahatan perbankan lainnya ditempuh melalui
dua jalur, yaitu jalur perdata dan jalur pidana.

Pembuatan perjanjian antara Pemerintah dan beberapa debitor dalam berbagai
program harus dianggap sebagai upaya penyelesaian melalui jalur perdata guna
mengembalikan uang kepada negara. Sedang jalur pidananya, yakni jika
terdapat indikasi terjadi tindak kejahatan, maka harus ditempuh untuk
menjerakan para debitor nakal dan penjahat kerah putih lainnya.

Tidak Dapat Dihapus


Pertanggungjawaban pidana tidak dapat dihapus begitu saja dengan
dikembalikannya obyek kejahatan kepada korban. Korban kejahatan dapat
menuntut pertanggungjawaban pidana dan perdata jika menderita kerugian moral
maupun materiil. Meski diterbitkan R&D namun hal itu tidak menghapus
wewenang aparat hukum untuk menindak para konglomerat secara hukum.

Seorang perampok atau pencuri tetap harus diseret ke pengadilan kendati
barang yang dicuri telah dikembalikan kepada korban. Bukan berarti setelah
barang curian/rampokan dikembalikan kemudian pelakunya bebas dari tuntutan
pidana. Tujuan hukum pidana adalah melindungi kepentingan umum, menjerakan
pelaku dan orang lain agar tidak melakukan kejahatan yang sama.

Prinsip pemidanaan ditujukan kepada perbuatan pidana (straf handeling) yang
dilakukan seseorang, bukan akibat atau kerugian yang diderita korban.
Kendati kerugian korban telah mendapat penggantian, perbuatan pidananya
tetap harus diselesaikan secara hokum.

Hukum pidana di Indonesia tidak mengenal kompromi dalam penyelesaian
kejahatan. Hukum pidana kita menganut prinsip siapa yang bersalah melakukan
kejahatan harus dijatuhi hukuman (geen straf zonder shculd). Menurut teori
imputation (Hans Kelsen) seseorang dijatuhi hukuman karena melakukan
perbuatan (kejahatan) yang dilarang oleh undang-undang yang memuat ancaman
hukuman untuk itu.

Dalam hukum pidana yang berlaku di Amerika Serikat memang dikenal lembaga
plea bargaining yang memungkinkan dilakukan kompromi dalam penegakan hukum
pidana. Berdasarkan plea bargaining tersebut seorang pelaku kejahatan bisa
tidak diadili dengan catatan mengembalikan harta hasil kejahatan kepada
korban.

Plea bargaining tidak dikenal dalam hukum pidana di Indonesia, sehingga jika
terjadi kejahatan maka parat penegak hukum wajib mengambil tindakan mulai
penyidikan, penuntutan sampai pengadilan. Kesemuanya itu dimaksudkan untuk
memberikan perlindungan kepada masyarakat umum, disamping kepada korban.

Lain halnya dalam hukum perdata, penegakan hukum baru dilakukan jika
seseorang dirugikan oleh orang lain dan dia mengajukan gugatan ke
pengadilan. Jadi, penyelesaian kejahatan yang merugikan keuangan negara
dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu perdata dan pidana.

Penyelesaian jalur perdata dilakukan melalui gugatan ke pengadilan untuk
pengembalian uang negara yang telah ditilep atau melakukan negosiasi di luar
pengadilan. Sedang jalur pidananya harus ditempuh melalui peradilan pidan
untuk menjerakan para pelaku KKN.

Proses pidana tetap harus dijalankan terhadap koruptor dan pelaku KKN yang
telah mengeruk uang negara. Pengembalian harta hasil KKN tidak dapat
dijadikan alasan pembenar oleh para koruptor untuk menolak pemeriksaan yang
dilakukan aparat penegak hukum.

Pengembalian harta hasil KKN (jika ada) hanya dapat dijadikan alasan untuk
meringankan penjatuhan hukuman oleh hakim kelak. Korupsi, kejahatan
perbankan dan white collar crime tidak hanya merugikan negara, tetapi juga
rakyat secara keseluruhan.

Bagaimana pun uang bank yang dikucurkan kepada debitor nakal dan tidak
dikembalikan, adalah uang rakyat. Karenanya, rakyat secara keseluruhan
berkepentingan agar setiap perbuatan yang merugikan negara dan merugikan
rakyat ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku.

Pemerintah seharusnya tidak gegabah menerbitkan suatu surat yang isinya
menghapuskan suatu tuntutan hukuman. Di sisi lain, aparat penegak hukum
(kepolisian dan kejaksaan) tidak wajib menghiraukan surat seperti itu (R&D)
dan proses hukum tetap dapat dijalankan. Penghentian suatu proses hukum
hanya dapat dilakukan jika didasarkan atas tindakan legal oleh pejabat yang
mempunyai kewenangan untuk itu, misalnya oleh pengadilan.

Penerbitan surat R&D kepada konglomerat dapat dinilai sebagai salah satu
bentuk intervensi oleh Pemerintah terhadap proses hukum (pidana) yang tengah
dijalankan oleh aparat hukum. Intervensi demikian jelas tidak dapat
dibenarkan dalam negara hukum kita. Apalagi jika proses hukum tersebut telah
sampai pada tingkat pemeriksaan di pengadilan.

Di samping itu penerbitan R&D juga bertentangan dengan konsistensi
Pemerintah dalam memberantas KKN. Di satu sisi Pemerintah gembar-gembor akan
memberantas KKN di semua lini kehidupan, namun di sisi lain ternyata
Pemerintah menerbitkan surat R&D kepada konglomerat yang pernah menilep uang
negara dengan alasan mereka kooperatif atau untuk menjaga kondisi
perekonomian agar tidak goncang.

Penegakan hukum harus dilakukan secara tegas dan konsisten, terutama
terhadap para penjahat yang merugikan keuangan negara. Apa pun risikonya,
hukum harus ditegakkan sesuai bunyi yang terdapat dalam Undang-undang.
Penegakan hukum itu kadangkala memang kejam, tetapi ia harus dilakukan
sesuai aturan yang berlaku (lex dura sed tamen scripta).

Penegakan hukum tidak boleh dihentikan dengan alasan ekonomis atau alasan
lainnya. Dalam kondisi apa pun, hukum harus ditegakkan agar terdapat
supremasi hukum di suatu negara. Bahkan jika langit runtuh pun hukum tetap
harus ditegakkan (fiat justitia et pereat mundus). Jangan terjadi
sebaliknya, langit belum runtuh tetapi negara ambruk duluan akibat hukum
tidak ditegakkan. ***
(Penulis adalah dosen Pascasarjana Universitas Jember).