[Nasional-m] PRT dan Kapitalisme Sang Majikan

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon, 9 Dec 2002 00:13:53 +0100


Suara Merdeka
Senin, 9 Desember 2002  Karangan Khas

PRT dan Kapitalisme Sang Majikan
Oleh: Agnes Widanti

SALAH satu ciri kapitalisme adalah, adanya distingsi antara privat dan
publik. Perbedaan privat dan publik juga menyebabkan perbedaan moralitas
antara privat dan publik. Moralitas publik adalah impersonal, hubungan
individu hanya melalui pengantaraan harta milik yang mereka punyai, kemudian
saling dipertukarkan melalui pasa dan universal.

Moralitas publik komponen pokoknya adalah keadilan formal yang akan menuntut
pengakuan timbal balik atas hak dan kewajiban. Dunia publik yang universal
dan personal itu juga merupakan dunia egoisme.

Berbeda dari moralitas publik adalah moralitas privat yang personal, di mana
individu-individu adalah objek emosi yang tidak dapat dialihkan dan
mengandung komitmen dan nilai khusus. Dunia privat yang digarisbatasi secara
egosentris adalah dunia yang di dalamnya egoisme pada prinsipnya
ditransendir.

Dalam keluarga dengan ciri-ciri moralitas privat, keberadaan pembantu rumah
tangga (PRT) yang 90% lebih adalah perempuan, tidak menikmati moralitas
privat tersebut karena mereka berada pada titik silang dua moralitas, yaitu
moralitas privat dan publik.

Pada tuntutan pemenuhan kewajiban, PRT berada pada moralitas privat di mana
mereka harus mau mengejar kebaikan bukan demi kebaikan sendiri tetapi demi
kebaikan orang lain (keluarga tempat bekerja). Tetapi pada tuntutan hak, dia
berada pada moralitas publik di mana hubungan individu hanya melalui harta
milik yang dipunyai dan kekuasaan yang dimiliki.

Karena kedua-duanya tidak dimilikinya maka hubungan antara majikan dan PRT
menjadi searah, yaitu dari yang mempunyai kekuasaan dan harta (majikan)
kepada PRT. Pembantu menjadi makhluk yang harus selalu altruistik (yang
mengorbankan kebaikannya sendiri untuk kebaikan orang lain) dalam ranah
domestik.

Hubungan searah ini menyebabkan PRT menjadi sangat tergantung pada majikan
karena mereka bukan pekerja publik, tetapi menanggung moralitas publik yang
dilindungi aneka peraturan. Mereka pekerja domestik yang tidak dilindungi
oleh peraturan apa pun.

Seluruh nasibnya tergantung dari kebaikan majikan. Pada saat majikan
meningkatkan pencarian kapital, PRT wajib membantu dengan meningkatkan
produktivitasnya dalam mengelola rumah tangga dengan harapan mendapat bagian
dari peningkatan kapital sang majikan. Kenyataannya produktivitas PRT memang
dipacu, tetapi peningkatan kapital majikan tidak juga menambah penghasilan
PRT.

Patriarki dan Kapitalisme

Ideologi patriarki yang menganut pembagian kerja secara seksual terus
dipertahankan oleh para ahli filsafat yang terkenal sepanjang sejarah
manusia seperti Aristoteles, Whitbeck, Engels, dan lain-lain. Stuart Mill
pada tahun 1869 telah menggugat pandangan ini dan mengatakan apa yang
disebut sifat perempuan/laki-laki adalah hasil pendidikan.

Kenyataan telah berlalu berabad-abad tetapi konsep Mill yang lebih melihat
adanya rekayasa politik untuk tetap mengunggulkan laki-laki masih tetap
diperdebatkan dan belum diterima.

Dalam masyarakat kapitalis terutama di dunia ketiga pekerja perempuan sering
mengalami eksploitasi dibanding laki-laki. Hal ini disebabkan karena
pandangan yang masih bias jender. PRT sebagai pekerja tanpa posisi di ranah
privat akan lebih menderita di samping pekerjaannya kotor, membosankan, upah
rendah, kontrol terhadap PRT sering berupa gangguan seksual.

Hartman mengatakan perlakuan yang menunjukkan ketidakadilan jender ini
berakibat PRT diinferiorkan dan dengan demikian patriarki sebagai sistem
sosial bergabung dengan kapitalisme sebagai sistem ekonomi.

Dari hasil observasi beberapa rumah tangga (112 rumah tangga) tahun 2002
rata-rata upah PRT masih di bawah 50% UMK. Hanya sedikit majikan yang
memberikan upah cukup layak, yakni Rp 400 ribu/bulan di Semarang.

Perbandingan antara upah PRT dan UMK akan terus menurun kalau sikap majikan
domestik masih mendua. Yaitu di satu pihak dalam hal kewajiban majikan
menganggap PRT sebagai keluarga sendiri sehingga upah dan volume pekerjaan
yang diberikan oleh majikan harus diterima PRT.

Di lain pihak dalam hal hak, majikan tidak menganggap sebagai keluarga
sendiri sehingga kalau PRT mengalami kesusahan biasanya langsung dipulangkan
ke desanya. Rupanya perjuangan buruh pada umumnya untuk mendapatkan upah
yang layak belum atau sama sekali tidak mempengaruhi majikan untuk
menyesuaikan.

Oleh karena itu upaya penegakan hak-hak pembantu tidak efektif dengan
imbauan dan advokasi saja tetapi perlu peraturan yang mengatur tentang hak
dan kewajiban PRT maupun pengguna PRT, misalnya perda seperti yang diusulkan
ke DPRD Yogya.

Memang tidak banyak majikan domestik yang menyadari bahwa PRT ikut andil
dalam meningkatkan produktivitas seluruh anggota keluarga. Tuntutan majikan
terhadap pembantu terlalu berlebihan kalau tidak disertai imbalan yang
memadai, seperti setia, pekerjaan rapi, bersih, jujur dan mengabdi.

Kita bisa membandingkan antara PRT (yang rata-rata berpendidikan rendah) dan
pejabat negara (baik eksekutif maupun legislatif yang rata-rata
berpendidikan tinggi) yang menerima gaji dari rakyat lebih dari memadai saja
mereka tidak jujur, tidak setia dan tidak mengabdi kepada rakyat.(33)

- Dr Agnes Widanti SH CN, Women Crisis Center Unika Soegijapranata Semarang