[Nasional-m] Pelitnya Anggaran Pendidikan di Jawa Tengah

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon, 9 Dec 2002 21:52:28 +0100


Suara Merdeka
Selasa, 10 Desember 2002  Karangan Khas

Pelitnya Anggaran Pendidikan di Jawa Tengah
Oleh: Saratri Wilonoyudho

KEKECEWAAN beberapa anggota DPRD terhadap rencana anggaran pendidikan di
Jawa Tengah yang hanya sebesar 5,4 persen dari total anggaran yang
direncanakan, dapat dipahami. Padahal UUD 45 "menganjurkan" agar dana
pendidikan minimal 20 persen dari total anggaran.

Siapa pun yang percaya bahwa anak adalah tunas-tunas bangsa, akan sampai
pada kesimpulan yang sama: membiarkan anak Indonesia tidak bersekolah atau
hanya bersekolah dengan sarana seadanya, sama halnya meruntuhkan pilar-pilar
bangsa tersebut.

Lewat pendidikan (sebut jalur apa saja: keluarga, masyarakat, atau jalur
formal) diharapkan akan muncul perkembangan mental, emosional, intelektual,
spiritual, kreativitas, dan sebagainya.

Karenanya, untuk mengetahui indikator keberhasilan pembangunan (pendidikan),
salah satunya adalah berapa persen anak usia 7-15 tahun yang masih sekolah
di daerah tersebut? Misalnya saja, data dari Badan Pusat Statistik Jawa
Tengah tahun 1999 menyebutkan persentase anak usia tersebut yang masih
sekolah ada 92,13 persen untuk laki-laki, dan 91,67 persen untuk anak
perempuan.

Namun data dari BPS (1999) juga menyebutkan angka anak putus sekolah di
Jateng mencapai 1,83 persen untuk anak laki-laki, dan 1,51 persen untuk anak
perempuan. Angka tertinggi dicatat Kabupaten Brebes, yakni 6,31 persen dan
3,13 persen, masing-masing untuk anak laki-laki dan perempuan.

Dari angka tersebut wajar juga kalau data Susenas tahun 1999 menyebutkan,
sekitar 13,27 persen penduduk usia 10 tahun ke atas di Jateng, menyandang
predikat buta huruf.

Kenapa banyak anak putus sekolah? Jawabnya sederhana saja, banyak orang tua
yang memandang pendidikan tidak penting, atau akibat dari kondisi sosial
ekonomi mereka yang amat memprihatinkan. Hasil penelitian Prof Mulyono
(1993) misalnya menyebutkan, anak yang putus sekolah di Jateng, 93 persen
orang tua mereka setinggi-tingginya hanya berpendidikan sekolah dasar.

Karena desakan ekonomi, anak-anak mereka akhirnya tidak disekolahkan, dan
justru "dieksplotasir" tenaganya untuk membantu mencari nafkah. Harbison
(1981) menyebutkan latar belakang orang tua untuk mempekerjakan anaknya
adalah dalam rangka kelangsungan hidup keluarga (household survival
strategy).

Lihat saja, data dari BPS (1999) juga menyebutkan anak-anak usia sekolah
7-15 tahun yang bekerja mencapai 6,23 persen di Jateng. Dari sejumlah itu,
13,15 persen di antaranya memiliki curahan jam kerja lebih besar atau sama
dengan 45 jam seminggu! Sekitar 19,27 persen status mereka adalah buruh!
Betapa memprihatinkan melihat kondisi anak sedemikian kerasnya dalam
bekerja.

Marginal, Tersingkir?

Sebagai gambaran ringkas akan ditunjukkan pengalaman seorang guru yang sudah
lebih dari lima belas tahun mengajar di sekolah yang kebetulan sebagian
besar siswanya berasal dari keluarga yang tidak mampu, dan kebetulan pula
mereka kurang cerdas. Sudah pasti menyekolahkan anak merupakan sebuah beban
kerja yang amat berat. Jangankan untuk beli seragam, sepatu, atau membayar
SPP, untuk sekadar fotokopi soal-soal menghadapi ujian sekolah, mereka
merasa tidak mampu.

Bagaimana proses pembelajaran dapat berlangsung baik kalau bekal buku wajib
tidak punya, motivasi bersekolah mereka rendah, dan pada umumnya banyak yang
mengantuk di kelas karena malam harinya mereka membantu mencari nafkah orang
tuanya?

Dibandingkan era tahun 70-an, buku sudah dipinjami oleh negara. Sedangkan
anak-anak didik sekarang menjadi objek permainan para penerbit buku.

Demikian pula untuk memanggil orang tua berkaitan dengan hambatan yang
dialami anaknya ketika belajar, juga tidak mudah. Pekerjaan mereka umumnya
padat, seperti mencari pasir di sungai, kernet angkutan, pembantu rumah
tangga, jualan di pasar, dan sebagainya.

Alhasil suasana pembelajaran berlangsung seadanya. Hasil wawancara dengan
beberapa murid juga menunjukkan, orang tua rata-rata tidak pernah menanyakan
kemajuan belajar anaknya, bahkan untuk sekadar menanyakan apa besok jadwal p
elajarannya.

Para orang tua mereka pada umumnya sudah merasa cukup anaknya bersekolah di
SLTP. Mereka merasa tidak rugi jika anaknya hanya sampai SLTP, karena
baginya tidak ada kaitan antara pekerjaan yang diperolehnya kelak dengan
ijazah SLTP yang dimiliki.

Artinya, bekal ijazah setingkat SLTP sudah diyakini dapat untuk mencari
pekerjaan. Yang penting sang anak bisa membantu pekerjaan orang tua sembari
bersekolah.

Fenomena ini nampaknya sesuai dengan teori Harbison (1981) sebagaimana
disebutkan di atas. Demikian pula temuan Survai Angkatan Kerja Nasional
tahun 1999 bahwa 29,89 persen anak-anak usia 7-15 tahun di Jawa Tengah
bekerja di sektor industri dan perdagangan, dan 19,27 persen di antaranya
statusnya buruh.

Menurut Santoso (1988) dan juga Foster (1973), masyarakat (miskin) bersedia
mengakui pentingnya sekolah jika ada pengharapan (ekspektasi) yang lebih
baik untuk memperoleh pekerjaan, atau memberi nilai tambah guna meningkatkan
standar hidupnya.

Demikian pula hasil penelitian Dr Francis Wahono (2000) menunjukkan bahwa
kemiskinan menjadi sebab putusnya pendidikan anak-anak, setidaknya
mempersulit proses pembelajaran sebagaimana saya alami sendiri di sekolah
tempat saya mengajar. Kantung-kantung kemiskinan tidak lagi hanya di
perdesaan, namun juga di perkotaan, dan dikhawatirkan akan menyebabkan
hilangnya satu generasi (lost generation).

Seiring terbatasnya anggaran pendidikan dari pemerintah (yang tidak pernah
dipikirkan serius itu), maka perlu dicari jamu terapi, bagaimana
mengefisienkan dan mengoptimalkan biaya pendidikan di sekolah-sekolah yang
mayoritas anaknya berasal dari keluarga miskin.


Saya tertarik dengan Welbers (1987) yang mengatakan pentingnya memanfaatkan
sumber belajar dari dunia luar, daripada anak-anak tidak mampu dibuat
tergantung kepada teksbook atau lembar-lembar latihan soal (yang hanya
menumpulkan akal budi itu). Teksbook dan lembar latihan soal tersebut
diproduksi oleh para penerbit dan cara penjualannya harus "berkolusi".
Dengan kata lain, target mereka bukan pencerdasan anak didik, namun
keuntungan materiil belaka. Akibatnya anak didik yang menjadi korban. Mereka
setiap saat dipaksa berganti buku yang isinya hanya sebatas itu saja. Kata
Welbers pentingnya memanfaatkan dunia luar sebagai sumber belajar sangat
bergayut dengan keterbatasan kurikulum konvensional kita, yang sarat beban
kognitif tingkat rendah (hafalan) dan tidak mengoptimalkan sikap-sikap
kreatif seperti otoaktivitas, inisiatif diri, rasa percaya diri, sikap
kewirausahaan, dan berbagai keragaman struktur dan proses yang terjadi di
dunia luar. Disamping itu, pemanfaatan dunia luar sebagai sumber belajar
akan mengurangi beban orang tua siswa yang tidak mampu untuk membeli buku.
(18)


- Saratri Wilonoyudho, Field Consultant of Regional Educational Development
and Improvement Project, JICA-Depdiknas, Kapuslit Sainstek Universitas
Negeri Semarang.