[Nasional-m] Kekhawatiran Negara Maju Pascaputaran Doha

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue, 10 Dec 2002 21:19:15 +0100


 http://www.sinarharapan.co.id/berita/0212/10/opi03.html
 Kekhawatiran Negara Maju Pascaputaran Doha


Putaran Doha (Doha Round) 9-14 November 2001 di Doha, Qatar, yang dihadiri
menteri dari 144 negara, termasuk Menperindag Indonesia, menimbulkan
kekhawatiran negara-negara maju mengenai ketidaksiapan negara berkembang
dalam mengimplementasikan kesepakatan hasil putaran itu.
Putaran Doha atau Konferensi Tingkat Menteri (KTM) IV-Organisasi Perdagangan
Dunia (WTO) itu Juga dihadiri wakil dari berbagai organisasi internasional,
seperti IMF, Bank Dunia, PBB, serta Organisasi Konferensi Islam (OKI).
KTM IV sebagai lembaga tertinggi dalam struktur WTO merupakan kegiatan
reguler yang diadakan satu kali dalam setiap dua tahun. Kegiatan ini
bertujuan meninjau semua kegiatan WTO selama dua tahun sekaligus menyepakati
program kegiatan di masa mendatang.
Sejak berdirinya WTO tahun 1995 berlangsung empat KTM, yaitu yang pertama di
Singapura tahun 1996, kedua di Jenewa tahun 1998, dan ketiga tahun 1999 di
Seattle, Amerika Serikat, serta KTM IV tahun 2001, di Doha, Qatar.
KTM IV-WTO di Doha berhasil menyepakati tiga dokumen penting, yaitu
Deklarasi Para Menteri (Ministrial Declaration) yang memuat program kerja
sampai KTM V-WTO dua tahun mendatang dan tindak lanjut atau pengorganisasian
program kerja tersebut. Dalam deklarasi tersebut disebutkan tujuan dan
jadwal perundingan di berbagai sektor dengan rencana penyelesaiannya paling
lambat 1 Januari 2005.
Dokumen kedua adalah deklarasi mengenai Persetujuan Hak atas Kekayaan
Intelektual (HaKI) yang terkait dengan perdagangan dan akses terhadap
kesehatan masyarakat (Declaration on TRIPs Agreement and Public Health).
Deklarasi ini memuat suatu fleksibilitas bagi negara berkembang anggota WTO
untuk melaksanakan HAKI agar masyarakat dapat memperoleh obat esensial yang
diberi patent dengan harga murah, khususnya untuk penyakit menular yang
membahayakan kesehatan masyarakat seperti epidemi, malaria dan HIV/AIDS.
Sementara dokumen ketiga hasil Putaran Doha, adalah keputusan menteri
tentang implementasi dan masalah terkait dengan persetujuan WTO yang ada
saat ini. Keputusan ini memuat sejumlah persetujuan WTO yang akan dibahas
untuk diperjelas lebih lanjut dalam perundingan mendatang.
Dokumen yang paling dikhawatirkan negara maju terhadap ketidaksiapan negara
berkembang untuk mengimplementasikan hasil Putaran Doha ini, terutama
Persetujuan HAKI yang terkait dengan perdagangan dan masalah akses kesehatan
masyarakat.
Hal itu terungkap oleh sejumlah pembicara dari Direktorat Jenderal (DG)
Komisi Uni Eropa (UE) kepada sejumlah wartawan asing, termasuk dari
Indonesia, melalui seminar tiga hari yang membahas ”Satu Tahun Pasca Putaran
Doha: Tantangan Kedepan Bagi UE dan Negara Berkembang” di Brussels, Belgia,
tanggal 2-4 Desember 2002.
Pierre Defraigne, Deputi Direketorat jenderal Komisi UE, mengungkapkan,
pelanggaran terhadap hak paten obat-obatan di sejumlah negara berkembang
belakangan ini kian marak padahal masalah hak paten obat-obatan dalam
Putaran Doha telah disepakati untuk dilindungi HaKI.
”Sejumlah negara berkembang diketahui kurang siap untuk melindungi hak paten
obat-obatan produksi negara maju dan ini jelas melanggar ketentuan WTO,”
katanya.
Menurutnya, semua orang akan tahu betapa pentingnya kesehatan bagi setiap
masyarakat di setiap negara tapi mengapa negara maju tidak bersedia
melindungi HaKI obat-obatan paten dari negara maju.
Dirinya mengakui, sejumlah negara berkembang selama ini selalu menuduh
negara maju bahwa telah terjadi pengurangan akses perdagangan obat-obatan,
padahal tujuan negara maju dengan adanya HaKI adalah untuk melindungi
kekayaan intelektual suatu produk.
”Saya pikir wajar saja kalau ada suatu orang atau perusahaan yang telah
bersusah payah menciptakan obat-obatan untuk selanjutnya dipatenkan dan ini
tidak melanggar WTO,” ungkap Defraigne.
Tapi pada kenyataannya, ada beberapa negara maju yang jelas-jelas melanggar
HaKI dalam memproduksi obat-obatan dan selain melanggar HaKI juga
dikhawatirkan khasiat obat yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang
ditawarkan.
Defraigne mengkhawatirkan, apabila pelanggaran HaKI oleh negara berkembang
tidak dihentikan atau setidaknya dikurangi, bukan tidak mungkin obat-obatan
ilegal akan makin banyak beredar di masyarakat dan tentunya akan merugikan
perusahaan farmasi pemegang paten.

HaKI untuk Siapa?
Pascal Lammy, Komisioner Komisi UE, mengatakan, perlindungan HAKI sebenarnya
tidak hanya menguntungkan negara-negara maju tapi juga negara berkembang
ketika menghasilkan suatu produk yang dinilai mempunyai nilai ekonomis.
”Sebenarnya tidak saja obat-obatan tapi juga produk tekstil yang banyak
dihasilkan negara berkembang juga dapat dipatenkan,” kata Pascal Lammy.
Menurutnya, selama ini ada salah persepsi soal HaKI di mana negara
berkembang menuduh negara maju untuk terlalu melindungi kepentingannya
sehingga mengakibatkan produk yang telah dipatenkan menjadi sangat mahal dan
tidak bisa di beli oleh masyarakat negara berkembang.
Persepsi itu, kata Pascal, adalah salah besar karena sebenarnya HaKI tidak
saja dapat dilakukan di negara maju tapi juga dapat diterapkan di negara
berkembang.
”Masalahnya adalah HaKI di negara berkembang belum merupakan suatu yang
harus dilakukan oleh si pencipta produk. Berbeda di negara maju soal HaKI
sudah merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan setiap menciptakan suatu
produk,” katanya.
Untuk itu, katanya, adanya negosiasi antara Komisi UE dan negara-negara
berkembang dalam membicarakan berbagai masalah, termasuk HaKI, merupakan
suatu hal yang penting untuk menghindari terjadinya berbagai tuduhan
pelanggaran HaKI.
Antara UE dan Indonesia, misalnya, setiap tahun selalu ada pertemuan
bilateral yang khusus membicarakan hasil-hasil perundingan dan mengevaluasi
berbagai hambatan dan kemajuan tidak saja menyangkut HaKI tapi juga
perdagangan, investasi serta politik.
Sekali dalam setahun, Indonesia dan UE melakukan pertemuan bilateral dan
lokasinya diadakan secara bergantian antara Jakarta dan Brussels, dan untuk
tahun ini Brussels menjadi tuan rumah sebagai tempat pertemuan.
Juru Bicara Direktorat Jenderal UE Unit C2 (bisdang pertanian), Owen Jones,
mengatakan, kalau ada anggapan negara maju tidak mau membuka pasar bagi
negara berkembang adalah salah karena untuk beberapa produk impor, UE banyak
mengimpor barang dari negara berkembang.
”Untuk produk pertanian misalnya, impor UE sebagian besar yaitu 60 persen
didatangkan dari negara berkembang dan persentase itu setiap tahun ada
kecenderungan selalu meningkat,” kata Owen.
Dirinya mengakui, UE selalu dikritik negara berkembang mengenai ketatnya
ketentuan impor produk pertanian di UE sehingga ada anggapan negara maju
melindungi produk sejenis dari dalam negeri.
Alasan ketatnya persyaratan impor produk pertanian di UE, kata Owen, semata
hanya untuk melindungi masyarakat dan lingkungan dari pencemaran kesehatan
dan kemungkinan adanya bakteri Sarmonela dari produk pertanian negara
berkembang.
”Saya pikir adalah suatu hal wajar kalau suatu negara ingin melindungi
masyarakatnya dari suatu epidemi dan itu bukanlah suatu bentuk hambatan
impor,” tegasnya.
Pemerintah UE, katanya, juga akan memberlakukan hal sama jika impor produk
pertanian dari negara anggota UE lainnya bahkan dari Amerika Serikat pun,
sehingga tidak usah ada kekhawatiran negara berkembang ingin ekspor ke UE.

Cukup Berimbang
Juru Bicara Direktur F (Sektor Lingkungan) Direktorat Jenderal UE, Robert
Madelin, mengatakan, hasil Putaran Doha soal lingkungan hidup dan HaKI
sebenarnya sudah cukup berimbang antara negara maju dan negara berkembang,
sehingga tidak ada pihak yang dirugikan soal hasil penandatangan dokumen
itu.
”Saya melihat setelah setahun Putara Doha, semuanya berada di jalurnya dan
kalaupun ada sedikit gesekan adalah suatu hal yang masih dapat ditolerir,”
katanya.
Dirinya menyoroti, soal penebangan hutan liar (illegal logging) masih
merupakan masalah yang harus diselesaikan oleh negara berkembang, terutama
di negara tropis seperti Indonesia.
Namun, dia melihat, Pemerintah Indonesia sudah mau serius menyelesaikan
masalah penebangan liar sehingga masalah lingkungan hidup dan kelestarian
hutan akan tetap terjaga.
”Saya melihat Pemerintah Indoensia sudah sangat serius memperhatikan
lingkungan dengan adanya ketentuan dilarangnya ekspor kayu bulat (log) dan
ini sangat menggembirakan bagi kita (Komisi UE—Red),” kata Madelin.
Mengenai adanya ketentuan Eco-Labeling yang diterapkan UE bagi ekspor produk
kehutanan, seperti mebel atau produk yang dibuat dari kayu lainnya,
tujuannya adalah untuk melindungi kelestarian hutan dari penebangan yang
tidak teratur meskipun ketentuan itu banyak mendapat tentangan.
Eco Labeling adanya suatu ketentuan yang dikeluarkan UE terhadap produk
hasil hutan dimana untuk eksportir yang akan ekspor ke UE harus mencantumkan
label tersebut yang menyatakan bahwa kayu yang diproses adalah bukan hasil
penebangan liar.
Madelin melihat, secara umum hasil Putaran Doha telah menghasilkan
kesepakatan yang cukup berimbang, bagi kepentingan negara berkembang dan
negara maju.
Misalnya, di bidang pertanian telah disepakati isu ketahanan pangan,
pengentasan kemiskinan dan pembangunan pedesaan serta perlakuan khusus dan
berbeda untuk negara berkembang.
Sedang isu lain yang merupakan kepentingan negara berkembang adalah
perundingan menghapuskan tarif tinggi dan tarif eskalasi (percepatan) dengan
perhatian khusus untuk negara berkembang, serta akses untuk obat murah dalam
rangka melindungi kesehatan.
”Saya pikir negara berkembang masih terus mendapat perhatian dalam KTM-KTM
mendatang dan masih perlu mendapat berbagai kemudahan untuk dapat mewujudkan
hasil Putaran Doha yang sudah berlangsung setahun lalu,” kata Madelin.
(ant/ahmad wijaya)