[Nasional-m] Senapan Angin Pemerintah

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue, 10 Dec 2002 21:52:15 +0100


http://www.mediaindo.co.id/editorial.asp?id=2002121101002806

Rabu, 11 Desember 2002

Senapan Angin Pemerintah


SEBUAH ultimatum di zaman pemerintahan tidak terlalu berwibawa bisa jadi
hanya seperti senapan angin. Ia meletus, tetapi tidak terlalu menakutkan
untuk membuat jera.

Maka, sebuah ultimatum bisa menemukan nasib buruk jika tidak disertai
tindakan lanjutan. Senapan angin harus digantikan dengan bedil yang suaranya
pun sudah menakutkan. Sebab, jika terkena, tidak hanya luka, tetapi mampus.
Dan, inilah kematian yang amat sangat menakutkan sehingga membuat yang lain
kapok.

Kurang lebih begitulah hukuman yang harus ditegakkan terhadap kejahatan
sangat berat. Menghukumnya dengan senapan angin hanya membuat pelaku
kejahatan itu menganggap angin lalu. Hukuman yang mematikan sangat
diperlukan sehingga kejahatan berat itu amat menakutkan untuk dilakukan.

Itulah yang terjadi di Singapura dan Malaysia terhadap narkoba. Kedua negara
menjatuhkan hukuman sangat berat, yaitu hukuman mati, terhadap kejahatan
narkoba. Maka, kedua negeri itu jauh lebih bersih daripada barang terkutuk
tersebut ketimbang Indonesia.

Sejumlah kejahatan memang tidak bisa ditakut-takuti dengan senapan angin.
Terlebih, ditakut-takuti dengan ultimatum. Pasti tidak berguna. Lembeknya
penegakan hukum dan ringannya hukuman yang dijatuhkan malah membuat penjahat
tambah berani bertingkah. Contoh mutakhir adalah kasus penyelundupan dan
pencurian pasir laut di perairan dekat Singapura.

Itulah sebabnya, pemerintah sekarang kerepotan sendiri menghadapi lima
pemilik kapal keruk pencuri pasir laut. Pangkalnya sangat jelas, karena
pemerintah hanya menakutinya dengan senapan angin. Pemerintah memberinya
hukuman ringan, sangat ringan, yaitu membayar denda sebesar 15% dari harga
kapal. Nyatanya, mereka menolak membayar denda.

Karena senapan angin tidak efektif, pemerintah lalu mengeluarkan ultimatum.
Isinya, jika dalam waktu satu hingga dua pekan ini tidak mau membayar denda
maka kapal mereka akan disita.

Alkisah, ada tujuh kapal yang ditangkap. Dua kapal telah dilepas karena
sudah membayar denda. Sedangkan pemilik lima kapal lainnya melakukan
negosiasi, menawar lebih murah, yakni hanya Rp250 miliar dari Rp300 miliar
lebih yang ditetapkan pemerintah.

Hukuman denda 15% dari harga kapal dinilai hukuman yang sangat ringan.
Tetapi, yang ringan itu pun tidak dipatuhi. Lebih celaka lagi, pemerintah
masih pula membuka ruang untuk tawar-menawar, yang mencerminkan lembeknya
perlakuan. Artinya, senapan angin itu sekarang ditawar menjadi katapel,
sebuah tawar-menawar hukum yang sangat rawan korupsi.

Karena hukuman denda tidak jalan, kini pemerintah mengeluarkan ultimatum
hendak menyita kelima kapal. Lagi-lagi, penjahat bukan dihukum, melainkan
cuma digertak.

Di situlah bedanya pemerintah yang efektif dengan yang tidak. Pemerintah
yang efektif tidak terlalu suka main gertak, main ultimatum. Sebab, ia tahu
betul lebih banyak penjahat yang tidak gentar terhadap ultimatum daripada
yang takut. Karena itu, ia memilih menegakkan supremasi hukum, tanpa pandang
bulu.

Sekali lagi, kejahatan tidak mungkin bisa diatasi dengan senapan angin.
Diperlukan senjata kaliber berat. Seperti Singapura dan Malaysia menghadapi
narkoba, seperti itulah mestinya pemerintah RI menghadapi pencuri pasir.
Sita kapalnya, hukum mati orangnya, karena telah mencuri harta bangsa dan
merusak lingkungan.

Mohon perhatian soal komentar:

Sekali lagi Redaksi mengingatkan kepada Anda semua, sebaiknya Anda
menggunakan bahasa sopan, tidak kasar, tidak menyinggung soal SARA, dan
jangan emosional. Komentar Anda diharapkan bermanfaat bagi kita semua, dan
beda pendapat justru mempererat kita sebagai satu kesatuan