[Nasional-m] Divestasi, antara Ancaman dan Harapan

Ambon nasional-m@polarhome.com
Wed, 11 Dec 2002 22:44:43 +0100


Media Indonesia
Kamis, 12 Desember 2002

Divestasi, antara Ancaman dan Harapan
A Deni Daruri, Direktur Centre for Banking Crisis

TREN menggaet dana anggaran negara melalui divestasi saham-saham milik
pemerintah kini mulai merambah sektor BUMN. Diawali bank-bank
rekapitalisasi, kini divestasi mulai menggempur perusahaan-perusahaan
infrastruktur, antara lain di sektor telekomunikasi. Salah satu yang saat
ini dalam proses adalah PT Indonesian Satellite Tbk (Indosat) dengan jumlah
saham yang akan dilepas mencapai 41,94%.

Divestasi, memang bukan suatu yang tabu dilakukan, dan bukan pula hal yang
merugikan. Pelepasan saham, secara ekonomis, merupakan langkah strategis
dalam rangka penciptaan perusahaan yang efektif, efisien, dan mampu bersaing
secara global.

Sayangnya, di tengah upaya pencapaian target ideal ini, ada tindakan yang
mengindikasikan arah yang salah dalam pelaksanaan divestasi. Padahal, bila
mau jujur dan terbuka, pemerintah bisa becermin pada kasus-kasus divestasi
di perbankan, penjualan saham Bank BCA, misalnya.

Ketika pemerintah menjual sahamnya di bank beraset terbesar di Indonesia
ini, ada keinginan ideal yang hendak dicapai, yaitu menciptakan bank yang
sehat. Namun, pada pelaksanaannya, pemerintah cenderung lebih mengutamakan
dana yang dihasilkannya, daripada menciptakan efek yang menyehatkan bank itu
sendiri.

51% saham BCA itu kemudian dimiliki oleh konsorsium Farallon, sebuah
perusahaan nonbank. Jika tetap berpegang teguh pada target ideal, pemerintah
sebetulnya bisa memilih investor dari kalangan bank sendiri. Sebab,
penyehatan bank hanya bisa dilakukan oleh orang-orang bank, bukan pihak lain
yang sekadar mementingkan profit. Namun, Standard Chartered Bank yang juga
tampil sebagai peminat akhirnya kandas. Padahal banyak kalangan yang lebih
memercayakan BCA ini kepada bank berbasis di Inggris tersebut. Alasannya
sangat sederhana, sebagai bank, Standard Chartered lebih mampu menangani
bank dibandingkan Farallon.

Ini terbukti di kemudian hari, ketika Bank Indonesia (BI) mempersoalkan
kesiapan Farallon menyediakan dana apabila BCA kemudian membutuhkan dana
segera (letter of comport). Kesangsian publik juga muncul karena belakangan,
Farallon mengalihkan penanganan BCA kepada Farindo. Sementara, dengan
kepemilikan hingga 51% dari aset senilai Rp111,5 triliun, Farallon saat ini
menikmati mesin penghasil bunga obligasi senilai Rp52 triliun. Tahun ini,
Farallon sudah menikmati dividennya.

Becermin dari kasus ini, divestasi Indosat juga seharusnya menyadari
kekhawatiran seperti ini sejak dini. Sayangnya, kecenderungan seperti itu
mulai terlihat. Individual interest di balik divestasi ini juga muncul.
Seharusnya, hal seperti ini tidak perlu terjadi, jika masing-masing pihak
kembali mengingat tujuan awal divestasi, yaitu menciptakan perusahaan yang
ideal.

Keinginan untuk memenangkan salah satu bidder tertentu juga terlihat dari
sikap pemerintah selama ini. Ini diperlihatkan salah seorang menteri yang
terang-terangan menyatakan bahwa dalam sales and purchase agreement, masalah
pengembangan telepon fixed line belum tentu akan dimasukkan sebagai salah
satu komitmen yang akan dilakukan oleh bidder yang memenangkan tender ini.

Bagi orang awam, pernyataan seperti itu mungkin bukan menjadi persoalan.
Tapi, bagi sebagian kalangan, hal itu menunjukkan bahwa pemerintah ingin
mengegolkan salah satu bidder yang tidak bergerak di bidang telepon fixed
line. Sebab, dari mana kita bisa tahu bahwa Indonesia tidak lagi membutuhkan
telepon fixed line. Sementara tidak ada riset yang membuktikan bahwa
masyarakat Indonesia tidak lagi membutuhkan fixed line. Terlalu dini bagi
pemerintah untuk menyatakan seperti itu. Inilah bentuk propaganda yang
sering dilakukan pemerintah yang ingin mengegolkan salah satu bidder dalam
proses divestasi.

Jika pola divestasi seperti tadi dibiarkan maka divestasi itu akan menjadi
ancaman baru menambah krisis yang bisa semakin mendalam. Karena, divestasi
tersebut hanya menghilangkan aset negara dan menguntungkan penguasa tanpa
menimbulkan multiplier effect ekonomis kepada masyarakat Indonesia sebagai
stakeholder aset negara.

Sebenarnya, divestasi BCA akan menjadi sebuah 'harapan', apabila tujuan
divestasi bukan semata-mata untuk mencari dana tetapi lebih kepada bagian
penyehatan bank pascarekapitalisasi. Sehingga, proses divestasi harus
dimulai dari peta perbankan yang jelas. Ini akan memberikan daya tarik bagi
investor strategis yang memang berbisnis bank. Investor strategis bank yang
kuat akan memunyai misi yang sama dengan pemerintah yaitu bagaimana
mengurangi obligasi pada bank.

Target ideal

Untuk menciptakan Indosat sebagai perusahaan yang ideal di masa mendatang,
maka divestasi harus dilandaskan pada sejumlah kriteria tertentu. Yaitu,
investor paling tidak memiliki komitmen dalam bidang operator
telekomunikasi, berpengalaman luas, memiliki manajemen yang kuat, mendapat
dukungan dana yang kuat, komit mempertahankan karyawan lokal dan memiliki
budaya atau etos kerja yang serupa.

Saat ini terdapat empat bidder yang berminat memiliki Indosat. Yaitu,
Singapore Technology Telemedia (STT), Telekom Malaysia, Gilbert Global
Equity, dan Desa Mahir. Dari keempat bidder ini, pemerintah harus
berhati-hati memilih mana yang lebih cocok, sebab tidak semua bidder itu
adalah operator telekomunikasi. Misalnya, GGE yang bergerak di bidang
investment banking, diragukan kemampuan mengelola Indosat, begitu pun dengan
Desa Mahir. Sementara itu, STT memiliki kemampuan teknis bisnis
telekomonukasi. Sayangnya, perusahaan ini lebih terfokus pada bisnis
internet, bukan operator telekomunikasi. Sedangkan Telekom Malaysia adalah
operator telekomunikasi di Malaysia yang telah membangun jaringan fixed line
kurang lebih 5 juta sambungan, jaringan seluler 5 juta sambungan, dan
internet kurang lebih dua juta pengguna.

Dari sisi pengalaman, pemerintah perlu mencari bidder mana yang terbukti
berhasil melakukan divestasi di negara-negara lain, khususnya di negara
berkembang. Ini perlu untuk meyakinkan publik bahwa perusahaan pemilik
Indosat itu nantinya akan melakukan hal sama terhadap Indosat.

Faktor lainnya adalah kekuatan manajemen. Dalam kasus Indosat ini, kekuatan
manajemen untuk mengubah pasar telekomunikasi yang monopolistis menuju
kompetisi sempurna sangat diperlukan untuk mengembangkan Indosat. Perusahaan
ini melakukan terobosan berani dengan mengarah pada persaingan bisnis yang
lebih kompetitif. Kultur tersebut dibawa kepada perusahaan luar negeri yang
dibelinya.

Salah satu kriteria penting lainnya dalam divestasi ini adalah kekuatan
finansial. Seluruh bidder mengaku memiliki kekuatan di bidang ini. Namun,
perlu ditelaah lebih jauh lagi, siapa di belakang mereka. Karena itu, untuk
mencari investor yang cocok, perlu dicari pemodal yang berdiri sendiri,
bukan berada di bawah atau mengatasnamakan perusahaan lain.

Pemerintah juga perlu memerhatikan satu hal lain yang paling ditakutkan
dalam proses divestasi ini, yaitu rasionalisasi karyawan. Karena itu, perlu
dicari investor yang memunyai komitemen kuat terhadap masalah ini. Untuk
masalah yang satu ini, pemerintah kalau mau jujur sebetulnya tidak perlu
merasa kesulitan memilih investor. Sebab, dari empat bidder harus dipilih
investor mana yang selalu komit menggunakan kekuatan lokalnya pada
perusahaan yang dibelinya.

Di luar faktor-faktor tersebut, ada satu hambatan bagi investor mana pun
untuk masuk ke Indonesia, yaitu harus menyesuaikan dengan kultur atau budaya
Indonesia. Mereka biasanya khawatir akan mengalami gegar budaya yang cukup
parah saat beroperasi di Indonesia. Apalagi, Indonesia kini tengah mengalami
era reformasi yang berbeda dengan negara-negara lain. Dalam hal ini,
investor yang akan mampu bersaing adalah yang memiliki kultur paling dekat
dengan Indonesia. Paling tidak, memiliki budaya dan etos kerja yang serupa.
Singkatnya, investor itu harus memiliki komitmen pengembangan bisnis yang
sesuai diterapkan di Indonesia dan bukannya menerapkan gaya bisnis negara
asal pemodal.***