[Nasional-m] Konglomerat dan ”Dendam Kesumat Ekonomi” - sea@swipnet.se

nasional-m@polarhome.com nasional-m@polarhome.com
Fri, 13 Dec 2002 00:33:26 +0100


http://www.sinarharapan.co.id/berita/0212/12/opi02.html

Tanggapan balik untuk Padang Wicaksono
Konglomerat dan ”Dendam Kesumat Ekonomi”
Oleh Stevanus Subagijo

Tulisan saya ”Babak Baru Konglomerat (Pasca Release & Discharge)” (SH,
26/11) telah mendapat tanggapan dari Padang Wicaksono, ”Perlukah
Rekonsiliasi Dengan Konglomerat” (SH, 4/12). Tidak ada sedikit pun niat
melalui tulisan publik untuk membela konglomerat secara membabi buta,
terutama ihwal ”dosa-dosanya” yang telah dicap publik sangat hitam. Tentu
kita tidak perlu belajar mengulang kesalahan yang sama dulu dengan gebyah
uyah mengutuki konglomerat, lalu kini membela mati-matian. Pertanyaan awal
yang mendasari tulisan itu ialah apakah tidak ada sisi positif konglomerasi
masa lalu. Dan beranikah kita menggali lebih dalam jasa-jasa mereka.
Menghukum, merehabilitasi dan memungkinkan kembalinya ”konglomerat putih”
dalam konteks ini pasca dikeluarkannya R&D.
Tentu semuanya diletakkan dalam cara pandang yang netral dan jujur. Sama
halnya jika kita mempertanyakan apakah tidak ada yang baik yang ditinggalkan
Soeharto. Beranikah kita mengatakan bahwa apa yang diprestasikan Soeharto
adalah buruk semua. Sikap fatalisme buta yang menutup pintu kemungkinan
untuk melihat realitas dengan lebih teliti dan bukan eforia generik penuh
kesumat seperti ”Soeharto Dalang Semua Bencana”, ”konglomerat penghancur
ekonomi nasional” dan seterusnya inilah yang mendasari sikap saya untuk
lebih positif terhadap konglomerat tanpa harus menafikan dosa-dosa
ekonominya jika memang ada.

Ajang Dendam Kesumat?
Untuk itulah pascakeluarnya R&D, babak baru konglomerat sebaiknya
direposisikan kembali. Namun tampaknya jalan ke arah sana tidak mudah.
Tulisan Padang Wicaksono mewakili reaksi pada umumnya terhadap apa yang saya
usulkan. Yakni masih kuatnya dendam kesumat ekonomi terhadap konglomerat.
Baru mengusulkan babak baru saja sudah ditanggapi dengan penolakan
rekonsiliasi.
Rencana diberikannya R&D sebagai kesatuan proses dari upaya penyelesaian
utang konglomerat harus dilihat sebagai proses pemulihan ekonomi yang
dirundung konglomerat yang imbasnya sedikit-banyak juga mempengaruhi ekonomi
nasional.
Sayang tanggapan-tanggapan terhadap rencana R&D lebih banyak bernuansa balas
dendam. Jika R&D diberikan itu berarti membela konglomerat, sebaliknya jika
R&D tidak diberikan itu berarti menghukum konglomerat karena selamanya
mereka akan dibebani dengan persoalan perdata dan pidana ihwal BLBI.
Sebaiknya kita tidak terjebak dengan kepahitan lama dalam membahas R&D yakni
dengan membuka dosa-dosa konglomerat khususnya dalam hubungannya dengan
penguasa Orde Baru. Semua itu telah menjadi sejarah nasional yang tidak
mungkin diputar ulang Tapi baiklah kita melihatnya dari sisi yang lain.
Bukan dari dosa konglomeratnya yang bisa saja kita urutkan, tapi dari
bagaimana dosa-dosa ekonomi itu bisa bertumbuh. Dosa konglomerat adalah
ujung dari kegagalan pengaturan ekonomi nasional. Siapa yang mengatur?
Presiden dan menteri-menterinya. Siapa yang membuat aturan mainnya? DPR.
Siapa yang menghukum jika aturan main dilanggar. Aparat penegak hukum.
Jika konglomerat menjadi gurita bisnis monopolistik yang membunuh ekonomi
kecil misalnya. Kok presiden dan menteri-menterinya diam saja? Kok selama
itu DPR tidak membuat aturan main yang bisa mengerem perilaku liberal
ekonomi konglomerat. Kok penegak hukum tidak menangkap jika pelanggaran
sudah di depan mata. Jawabannya enteng karena KKN. Sungguh meragukan
konglomerat memiliki motivasi jahat secara subtansial dalam berekonomi.
Konglomerasi yang berdampak pada distorsi ekonomi nasional adalah efek dan
ciri khas dari liberalisme dan kapitalisme bisnis yang cenderung
ekspansionis, makin besar produksinya, makin banyak cabangnya, makin beragam
usahanya (kepentingan sinergi) sehingga menjadi konglomerasi.
Bisnis memang perlu etika, manajemen qalbu, stakeholder oriented, social
responsibility, environmental friendly dan lain sebagainya itu sudah sejalan
dalam manajemen konglomerasi yang pasti diketahui oleh para profesional.
Jika konglomerasi menimbulkan efek negatif, itu bukan salah perangai
konglomerasinya yang memang dari sono-nya cenderung begitu, tetapi rem dan
rambu pengaturnya yang tidak berfungsi.
Tidak salah memang konglomerat mesti beretika bisnis, bermoral putih,
bertanggung jawab sosial dan lain sebagainya. Namun menjadi naif jika
berharap konglomerat harus menjadi ahli hukum sehingga jangan sampai
melanggar hukum, menjadi filsuf moral dalam pertimbangan bisnisnya, menjadi
good Samaritans yang berhati sosial dan menjadi pengusung keadilan ekonomi.
Kalau konglomerat direpotkan dengan urusan begini kapan ia bisa berekonomi.
Orientasi ekonomi konglomerat ialah memanfaatkan dana untuk investasi
(memutar kredit), memberikan produk yang dibutuhkan, membuka lapangan kerja,
menjalankan roda bisnis terkait, menciptakan cabang dan usaha baru, membuat
sinergi diantaranya, mengokohkan totalitas konglomerasinya.
Tidak salah dan harus memang konglomerat mempunyai jubah ideal seperti
diatas. Tapi tugas utamanya bukan disitu, tugas utamanya ialah berekonomi.
Jika dalam berekonomi itu menimbulkan efek negatif maka tugas rem dan
rambulah yang harus meluruskan apa yang dibengkokkan konglomerat dan sistem
konglomerasi baik sengaja atau tidak. Rem dan rambu penguasa politik, wakil
rakyat di DPR dan aparat penegak hukum inilah yang akan menjadi sekolah
konglomerasi yang ideal, terstandar dan berkenan di masyarakatnya. Mengapa
rem dan rambu ini mandul? Karena KKN. Lha kok mau? Pembenahan seharusnya
dilakukan disini.
Pasca-Soeharto kita telah ganti presiden tiga kali, kabinet entah berapa
kali gonta-ganti, ketua BPPN sebagai ”algojo” konglomerat ya juga, DPR juga
sama dan aparat penegak hukum idem dito.

Tapi kemajuan dalam rem dan rambu konglomerasi masih jalan di tempat. Hal
inilah yang menggelitik penulis untuk mencari sisi positif dari konglomerat.
Kesalahan substansial bukan di konglomeratnya kok. Justru meletakkan
konglomerat dalam posisi untouchable begitu, malah menciptakan citra
hiperbol terhadapnya sebagai penguasa ekonomi. Dengan begitu kita
menciptakan citra buruk dan lalu mengeluhkannya sendiri.

Simplifikasi Masalah
Babak baru konglomerat pasca R&D menghindari untuk terjebak pada apologia
konglomerat hitam. R&D adalah proses terkini dari ihwal BLBI yang diberikan
pemerintah (BI) dengan tanggung jawab sebagai lender of the last resort
ketika bank kesulitan likuiditas. Krisis ekonomi dan diikuti dengan krisis
politik telah mengkondisikan bank terkena kredit macet, rush nasabah,
depresiasi rupiah dst. Bank butuh likuiditas dan itu resiko yang kita sudah
tahu bahkan ketika kran ijin pendirian bank-bank dibuka dengan jor-joran.
Manajemen resiko tentang kemungkinan bank kolaps kita pasti menyadari. Tanpa
kucuran BLBI maka penderitaan masyarakat konsumen bank makin parah. Tanpa
rekapitalisasi bank kita mungkin sudah menjadi bankless society.
Dengan demikian ketika BLBI dikucurkan bukan sebagai utang yang dimaknai
seperti kita utang rentenir buat foya-foya. Kita terlalu mensimplifikasikan
BLBI sebagai utang dalam makna sosial, padahal utang BLBI dalam konteks
sebuah bank yang merupakan institusi setengah publik dengan resiko publik
pula tidak bisa disetarakan dengan utang pada rentenir. Jauh sebelum BLBI
dikucurkan, diatas kertas sebetulnya sebuah bank sudah mempunyai ”tandon
BLBI-nya” sendiri yang ada dalam bank sentral. Konglomerat pasti juga pusing
dan mengerti betul risiko BLBI yang terpaksa diambil ini. Toh sebelum krisis
moneter, bank dan konglomerasi bisa berjalan tanpa kesulitan likuiditas.
Kalau kita menyederhanakan BLBI dikemplang konglomerat, kok yang memberi mau
saja. Kalau ada bank-bank bobrok di dalamnya, kok pengawasan perbankan tidur
saja, kalau ada pelanggaran BMPK, keanehan valuasi aset yang diserahkan pada
BPPN, kejanggalan kesepakatan MSAA, MRNIA dst jangan salahkan
konglomeratnya. Memang ngapain saja mereka-mereka yang bertugas sebagai rem
dan rambu ekonomi.
Tapi publik disatu sisi sepertinya menuntut konglomerat menjadi malaikat
ekonomi dan disisi lain paranoid untuk menjadikannya tumbal krisis ekonomi.
Tekanan harus diarahkan kepada pelaksana rem dan rambu ekonomi ini. Jangan
membandingkan dana BLBI yang triliunan dengan kemiskinan pedagang loak di
kolong jembatan untuk mencari simpati. Jumlah triliunan pasti disadari
konglomerat, karena triliunan juga resiko hukum, bangkrut usaha dan
moralnya. Apa benar bodoh-bodoh amat konglomerat. Nekad berperilaku ekonomi
hitam, tak punya etika dan ingin menghancurkan ekonomi nasional.
Jangan-jangan itu semua hanya ilusi dan dendam yang kita buat. Generasi
kedua konglomerat banyak yang bersekolah bisnis di luar negeri. Logikanya
sih mengerti bisnis yang etis. Dosa-dosa ekonomi konglomerat (dan semua
pelaku usaha) mungkin ada. Rekonsiliasi ekonomi tetap harus dibuka. Yang
perlu dibenahi bukan hanya konglomeratnya jika memang ia berperilaku hitam.
Tetapi pembuat dan pelaksana serta penentu pelanggaran rem dan rambunya ini
yang lebih urgen, karena memang ini tugasnya. Inilah yang akan membentuk
ekonomi nasional lebih berprospek.

Penulis adalah peneliti pada Center for National Urgency Studies, Jakarta
.