[Nasional-m] Hu Jintao dan Masa Depan China

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sun, 15 Dec 2002 20:54:28 +0100


Jawa Pos
Senin, 16 Des 2002

Hu Jintao dan Masa Depan China
Melanjutkan Reformasi Zhu Rongji
Oleh Bob Widyahartono *

Naiknya Hu Jintao menjadi Sekjen PKC yang baru, menggantikan Ziang Zemin,
banyak diulas beragam media cetak maupun elektronik kita yang ingin melihat
kelangsungan reformasi politik yang dirintis pendahulunya, Ziang Zemin.
Reformasi ekonomi dengan kebijakannya dianggap berkelanjutan.

Sejak berdirinya China baru setengah abad lalu, China telah memasuki era
perubahan ekonomi, terutama sejak dua dekade lalu, dengan kebijakan
reformasi dan keterbukaan (reform and opening up policies).

Zhu Rongji, dalam kata pengantar A Brighter Future pada buku Lawrence J.
Brahm awal Januari 2001 berjudul "China’s Century: The Awakening of the Next
Economic Powerhouse", antara lain, menunjukkan bahwa "…Standar kehidupan 1,2
miliar manusia China mengalami peningkatan, keluar dari kemelaratan,
berupaya memastikan sandang dan pangan bagi semuanya, dan kini memasuki
pintu gerbang kemakmuran. China masa kini ditandai oleh stabilitas politik,
kemakmuran ekonomi, kemajuan sosial, kesatuan etnik, dan manusia yang
memiliki tekad tinggi penuh gairah, vitalitas, dan jiwa kewirausahaan. …
Pada momentum yang demikian pentingnya memasuki transisi, pembangunan China
berada pada suatu periode kritikal pendalaman reformasi dan penyesuaian
struktural (deepening reform and structural adjustment)… "

Tanpa perasaan cemas, Zhu Rongji mengalihkan tongkat estafet kepada
suksesornya dengan menyadari bahwa " …selama dekade terakhir (1990-an),
perekonomian Asia tumbuh cepat, yang menyebabkan kawasan Asia menjadi paling
bergairah di dunia. Kami pun merasa gembira bahwa negara-negara Asia yang
menderita akibat krisis finansial Asia kini tengah memasuki kehidupan
kembali ekonomi… "

Zhu menyadari bahwa kabinetnya berpacu dengan waktu dalam memasuki abad
ke-21. Karena itu, pada Maret 1998, diluncurkan kebijakan yang dia ungkapkan
sebagai "Yige Quebao, Sange Daowei, Wuxiang Gaige, yang artinya satu
garansi, tiga pencapaian prestasi, lima butir reformasi". (Satu, tiga, dan
lima) satu garansi (jaminan) sesungguhnya terdiri atas tiga unsur kunci:
memelihara tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tingkat inflasi rendah,
dan mata uang renminbi yang stabil.

Walaupun pertumbuhan PDB (produk domestik bruto) yang ditetapkan setinggi 8
persen pada 1998, akibat krisis finansial Asia, PDB hanya mencapai 7,8
persen pada 1998 dan 7,6 persen pada 1999. Tetapi, akibat kebijakan
intervensi hati-hati yang dikenal dalam kabinet Zhu sebagai sistem kontrol
makro, pertumbuhan China naik kembali ke angka 8,2 persen pada 2000. Pada
2001 PDB sebesar 7,4 persen dan 2002 menurun sedikit ke angka 7,2 persen.

Inflasi ditekan, bahkan sampai minus 2,8 persen untuk 2000, sebesar 1,2
persen pada 2001, dan diprediksi 1,0 persen pada 2002. Ketika Bank Dunia dan
IMF berusaha menekan Zhu dengan senjata Washington Consensus -yang mendesak
Zhu untuk mendevaluasi mata uang China-, Zhu dengan tegas menolaknya.

Dengan mengabaikan argumentasi para pemikir lembaga-lembaga keuangan yang
bergabung dalam Washington Consensus itu, Zhu berani memegang teguh
kebijakannya sendiri dalam pengarahan pasar, permintaan yang langgeng
terhadap ekspor China, dan tingkat cadangan devisa yang tinggi dalam
memelihara kestabilan renminbi (mata uang China). Nilai mata uang renminbi
tetap USD = renminbi 8,28.

Terbukti bahwa selama dan setelah krisis finansial Asia, cadangan devisa
China justru terus meningkat karena meningkatnya ekspor yang digerakkan
kebijakan mendorong ekspor dan penyesuaian struktur ekonomi berkelanjutan.

Memang Barat, khususnya Amerika dan lembaga lembaga di Washington, masih
meragukan kebijakan tersebut. Tetapi, justru hasil visi Zhu adalah China
yang pertama keluar dari krisis finansial. Ini berarti ekonomi yang mungkin
paling sehat di kawasan Asia. Akibat keberhasilan kebijakan ekonomi Zhu,
formula generik yang diagung-agungkan Washington Consensus kini makin
diragukan para ekonom dan kalangan intelektual di negara berkembang maupun
negara maju.

Bagaimana Hu Jintao?

Kini, China baru saja melakukan regenerasi kepemimpinan politik. Kini China
berada di bawah penguasa baru Hu Jintao. Satu hal yang harus dipuji dari
Kongres PKC XVI bulan lalu ialah kali pertama suksesi itu tanpa perebutan
kekuasaan secara kasar.

Tampak generasi Jiang Zemin-Zhu Rongji-Li Peng mewariskan tekad bahwa China
harus bertambah dewasa sekalipun ke depan terbentang berbagai masalah yang
masih perlu pemecahan. Sekalipun dalam kongres tersebut tidak dibahas
kebijakan ekonomi, yang tetap menjadi wawasan titik pertumbuhan paling cepat
mulai abad ini ialah adanya pemberian bobot pada jiwa kewirausahaan rakyat
untuk berkreativitas dan berinovasi dalam wadah perusahaan-perusahaan skala
kecil dan menengah milik swasta (rakyat) secara mandiri.

Interaksi dan interkoneksitas antarusaha dan perbankan tidak mungkin lagi
menggunakan bekal kekuasaan pejabat, tetapi secara profesional dan dijiwai
kewirausahaan melakukan hubungan jaringan (guanxi) atas dasar kepercayaan
(shin yuing) dengan tetap memegang teguh aturan sistem modern yang tengah
digerakkan. Pembangunan tidak melulu tecermin dari kawasan pantai,
tetapi -sebagaimana juga dicanangkan dalam kebijakan ekonomi- pembangunan
kawasan pedalaman justru memperoleh porsi pembangunan yang lebih intens.

Salah satunya, inisiatif pemerintah untuk membangun jaringan jalanan dan
kereta api baru dari pesisir ke pedalaman, dengan melibatkan partisipasi
modal swasta. Dibangunnya jaringan infrastruktur fisik, termasuk listrik dan
telekomunikasi, akan mengurangi arus urbanisasi dari daerah pedalaman ke
daerah pantai yang dimasa dekade 80-an dan 90-an dianggap menjanjikan
kesempatan untuk menjadi sejahtera secara finansial.

Tugas dan tanggung jawab kepemimpinan Hu Jintao pasti penuh tantangan dan
peluang untuk menorehkan tinta emas dalam kebijakan ekonomi yang prorakyat,
prokeadilan, dan prokemakmuran. Toh, fondasinya sudah diletakkan Zhu Rongji
dkk.

Bagi kita, suksesi kepemimpinan China merupakan bahan telaah, tidak hanya
melalui sumber bacaan, tetapi sebaiknya dilengkapi dengan observasi/diskusi
langsung, tidak hanya ke kawasan pantai, tapi ke pedalaman. Jadi, bukan
studi banding sebagai wisatawan jalan-jalan.
*. Bob Widyahartono, pengamat ekonomi China, dosen FE Usakti Jakarta