[Nasional-m] Korupsi Sisi Penawaran

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon, 16 Dec 2002 21:13:10 +0100


Analisis
Senin, 16 Desember 2002
Korupsi Sisi Penawaran
Oleh : Revrisond Baswir

 Sebuah pergeseran besar-besaran kini sedang berlangsung dalam perbincangan
mengenai korupsi di dunia internasional. Berbeda dari kecenderungan selama
ini, yang lebih banyak menyoroti peranan sektor negara sebagai pelaku utama
korupsi, belakangan mulai berkembang kecenderungan baru untuk menyoroti
peranan sektor dunia usaha sebagai aktor penting korupsi.

Kecenderungan baru itu bermula sejak ditandatanganinya kesepakatan oleh
negara-negara anggota Organization for Economic Co-operatioan and
Development (OECD) untuk meratifikasi Undang Undang Larangan Praktik Korupsi
di Luar Negeri (Foreign Corrupt Practice Act) yang dimiliki oleh Amerika
Serikat sejak 1977. Sebagaimana di atur dalam UU tersebut,
perusahaan-perusahaan multinasional AS tidak hanya dapat diperkarakan bila
terbukti memberi suap di negeri mereka sendiri, tetapi dapat pula mengalami
nasib serupa bila terbukti memberikan suap di negara lain.

Dengan diratisfikasinya UU Larangan Praktik Korupsi di Luar Negeri yang
dimiliki AS itu oleh negara-negara anggota OECD pada 1997, semua perusahaan
multinasional yang berasal dari AS, Inggris, Jerman, Perancis, Jepang, dan
30 negara anggota OECD lainnya, praktis terikat oleh ketentuan yang terdapat
dalam UU tersebut. Artinya, perusahaan-perusahaan multinasional yang berasal
dari negara-negara industri maju itu, sama sekali tidak dibenarkan memberi
suap di negara mana pun di seluruh dunia, termasuk di negara-negara sedang
berkembang.

Tetapi, apa yang terjadi setelah penandatanganan kesepakatanm itu berumur
lima tahun? Sebagaimana dikeluhkan oleh Peter Eigen dari Lembaga
Transparansi Internasional, setelah berlangsung lima tahun, ternyata tidak
ada satu perusahaan multinasional pun yang diperkarakan karena memberi suap
di luar negeri oleh negara asalnya masing-masing. Bahkan, menurut pengakuan
Peter Eigen, berbeda dari keadaan pada tahun 1997, anggaran untuk menerapkan
UU itu pun belakangan mulai mengalami kelangkaan.

Kekecewaan terhadap penerapan UU larangan Praktik Korupsi di Luar Negeri
itulah kemudian yang secara khusus mendorong bergesernya perbincangan
mengenai korupsi dari sektor negara ke sektor dunia usaha. Padahal,
sebagaimana terungkap pada sejumlah skandal korupsi yang terjadi
negara-negara sedang berkembang, keterlibatan perusahaan-perusahaan
multinasional yang berasal dari negara-negara OECD tidak mungkin dipungkiri.
Kasus-kasus keterlibatan mereka terbentang sejak dari skandal suap penjualan
senjata dari perusahaan Inggris ke pemerintah Saudi Arabia (1993), hingga
skandal suap perusahaan konsultan konstruksi Canada di Lesotho, Afrika
(2002).

Sejalan dengan berlangsungnya pergeseran dalam perbincangan mengenai korupsi
tersebut, maka terhitung sejak 1999, lembaga Transparansi Internasional
mulai meluncurkan sebuah indeks korupsi baru yang mereka beri nama Indeks
Pembayar Suap (Bribery Payers Index-BPI). Berbeda dari indeks korupsi
sebelumnya, Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index-CPI), yaitu
yang mengungkapkan persepsi para warga negara asing mengenai perilaku para
pejabat pemerintah yang rajin memungut hasil korupsi. BPI bertujuan
mengungkapkan persepsi para pejabat di setiap negara di dunia mengenai
negara asal perusahaan-perusahaan multinasional yang rajin membayar suap.

Jika dibandingkan dengan hasil CPI, yang cenderung menempatkan pemerintahan
negara-negara industri maju sebagai pemerintahan yang relatif bebas dari
praktik korupsi, BPI berhasil menjungkirbalikkan persepsi itu secara
dramatis. Artinya, perilaku korupsi di sektor negara ternyata tidak
selamanya sejalan dengan kecenderungan memberi suap yang dilakukan oleh
sektor dunia usaha. Para pejabat pemerintah Hongkong, misalnya, memang
terkenal sebagai pejabat pemerintah yang bersih. Tetapi, kecenderung sektor
dunia usahanya untuk memberi suap itu ternyata lebih buruk daripada sektor
dunia usaha Malaysia.

Sebagaimana terungkap secara terinci dalam CPI dan BPI 2002, ketika negara,
seperti Singapura berhasil menempati urutan kelima (dari lebih 100 negara)
sebagai negara yang bebas korupsi, perusahaan multinasional asal Singapura
ternyata hanya berhasil menempatkan negara asalnya pada urutan ke sembilan
(dari 21 negara) sebagai negara asal perusahaan multinasional yang tidak
rajin membayar suap.

Yang mengejutkan adalah pergeseran posisi AS dan Jepang. Dalam CPI, AS dan
Jepang berhasil bertengger pada urutan ke 16 dan 20 (dari lebih 100 negara)
sebagai negara yang bebas korupsi. Tetapi, dalam BPI, perusahaan-perusahaan
mutinasional asal AS dan Jepang hanya berhasil menempatkan negara asal
mereka pada urutan ke 13 dan 14 (dari 21 negara) sebagai negara asal
perusahaan-perusahaan multinasional yang tidak rajin membayar suap.

Dengan posisi seperti itu, posisi AS dan Jepang dalam BPI praktis merosot
mendekati posisi Malaysia. Sebagaimana diketahui, posisi Malaysia dalam CPI
hanya berada pada urutan ke 33. Tetapi, dalam BPI, Malaysia berhasil
menempati urutan ke 15 atau persis satu tingkat di bawah posisi Jepang.
Artinya, ketika para pejabat pemerintah di AS dan Jepang cenderung lebih
bersih daripada para pejabat pemerintah di Malaysia, perilaku
perusahaan-perusahaan multinasional yang berasal dari kedua negara industri
maju itu ternyata hampir sama saja dengan perilaku perusahaan multinasional
yang berasal dari sebuah negara sedang berkembang.

Posisi Indonesia dalam kedua indeks itu rasanya tidak perlu di pertanyakan.
Sebagaimana diketahui, dalam CPI, Indonesia hanya berhasil menempati urutan
ke tujuh dari bawah sebagai negara yang bebas korupsi. Dalam BPI, walau pun
tidak tercantum dalam tabel yang diterbitkan oleh Transparansi Internasional
(mungkin karena minimnya jumlah perusahaan multinasional yang berasal dari
Indonesia), kecenderungan para pengusaha Indonesia untuk memberi suap
rasanya hampir sama saja ganasnya dengan kecenderungan para pejabat
pemerintah dalam menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri mereka
sendiri.

Berbeda dari keadaan di negara lain, para penguasa dan pengusaha di
Indonesia memang cenderung ''bersaudara''. Hidup Indonesia.