[Nasional-m] Episode Baru Konglemerat Sejati

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue, 17 Dec 2002 23:41:07 +0100


http://www.sinarharapan.co.id/berita/0212/17/opi02.html

Catatan tambahan untuk S. Subagijo dan P. Wicaksono
Episode Baru Konglemerat Sejati
Oleh Susidarto

Sungguh menarik mencermati debat dan polemik terbuka antara Stevanus
Subagijo dan Padang Wicaksono mengenai perlu tidaknya melakukan rekonsiliasi
dengan konglomerat yang dimuat di harian Sinar Harapan masing-masing
tertanggal 26 November 2002 dan 4 Desember 2002 lalu.
Intisarinya, Stevanus Subagijo pada intinya setuju dengan upaya rekonsiliasi
(rujuk) nasional dengan para konglomerat untuk percepatan pemulihan ekonomi.
Sementara itu, Padang Wicaksana secara tegas menolak berkiprahnya
konglomerat yang nyata-nyata sudah menyengsarakan masyarakat (rakyat) banyak
selama ini.
Diskusi kolom ini setidaknya akan membuka wawasan dan cara pandang kita
mengenai berbagai aspek dan sepak terjang bisnis konglomerat (hitam) yang
sering kontroversial, sarat nuansa politis dan kental berbau KKN.
Sayangnya, dalam diskusi itu tidak muncul adanya sosok konglomerat sejati,
yang sesungguhnya tumbuh dari bawah. Mereka adalah para pebisnis dan
pengusaha tangguh, yang jauh dari berbagai bentuk fasilitas: kemudahan,
fasilitas monopoli, dan subsidi serta kattebeletje dari (pejabat)
pemerintah.
Mereka merintis dan membangun bisnisnya dengan keringat dan usaha yang
benar-benar bersih. Keberadaan konglomerat semacam ini belum disinggung sama
sekali oleh kedua penulis tersebut.
Jumlah konglomerat sejati (putih) semacam ini padahal tidak kalah banyak.
Mereka ada di berbagai jalur bisnis utama seperti industri rokok, pers
(media massa), perdagangan ritel, properti dan sektor usaha lainnya.
Perhatian kedua penulis, seolah terpaku pada kedua kubu ekstrem, terkait
dengan keberadaan konglomerat (hitam). Padahal, pengertian konglomerat itu
sendiri sebebarnya netral, bebas nilai. Sayang, kedua penulis cenderung
terjebak dalam hubungan sentimental tentang perlu tidaknya konglomerat
diberi pengampunan dan pembebasan (impunity) di satu pihak, sementara di
pihak yang lain, konglomerat perlu dibatasi sepak terjangnya hingga ke titik
nadir (nol).

Episode Baru Konglomerat Sejati
Barangkali yang perlu dilakukan adalah mengambil jalan tengah, yakni
memberikan limitasi terhadap bisnis konglomerat di bidang-bidang tertentu,
yang selama ini ternyata dilakukan dengan curang dan kotor. Sebut saja
misalnya bisnis konglomerat di bidang perbankan, dan sektor keuangan
lainnya.
Pemerintah sudah saatnya memberikan iklim dan bentuk kompetisi yang sehat
diantara para bisnisman secara fair dan transparan. Berbagai bentuk praktik
bisnis kotor, sudah selayaknya ditinggalkan. Demikian pula berbagai bentuk
UU, Kepres, Inpres, dan keputusan yang terkait dengan bisnis kotor, yang
selama ini hanya menguntungkan segelintir konglomerat, sebaiknya diperbaiki
(direvisi).
Mulai meretasnya fenomena konglomerat sejati, yang benar-benar mengandalkan
profesionalisme, kemampuan bisnis, dan efisiensi berusaha, harus
terus-menerus didorong dengan berbagai perangkat aturan yang kondusif.
Sekaranglah waktunya, momentum yang tepat bagi berkiprahnya para bisnisman
yang nyata-nyata tumbuh dari bawah, yang jauh dari berbagai fasilitas
pemerintah.
Tak hanya itu, mereka yang benar-benar menerapkan good corporate governance
dalam operasional perusahaannya. Sehingga berbagai bentuk ketertutupan
manajemen, serta paktik-praktik kotor tidak dijumpai didalamnya. Konglomerat
sejati seperti ini perlu didorong dan difasilitasi untuk tumbuh menjadi
pemain global.
Inilah babakan baru, episode baru bagi berkiprahnya konglomerat sejati.
Mereka boleh disebut sebagai konglomerat ”putih”, sebagai lawan dari
konglomerat ”hitam”. Kongmomerat sejati semacam inilah yang perlu didorong
keberadaannya, sehingga akan menjadi pemain baru yang lebih tangguh lagi.
Konglomerat putih ini jelas akan berkualitas, karena dia lahir di
tengah-tengah situasi bisnis yang tidak kondusif, seperti sekarang ini
dimana krisis ekonomi berkepanjangan masih terus berlangsung. Kalaupun
mereka bisa muncul ke permukaan, maka itu berarti dia memang benar-benar
pemain yang handal dan tangguh, bukan karena berbagai fasilitas khusus,
subsidi dan monopoli, melainkan karena ditempa kompetisi yang demikian
ketatnya.
Di salah satu media bisnis nasional belum lama ini terungkap, bahwa salah
seorang pengusaha sempat berujar bahwa dirinya sangat bingung, karena
demikian gampangnya membuka pabrik baru di tengah-tengah krisis ekonomi. Itu
artinya, mereka dengan mudahnya mendapatkan profit keuntungan di
tengah-tengah jeritan banyak orang yang kesulitan hidup.
Bisa dibayangkan, di tengah-tengah sulitnya orang berbisnis, ternyata mereka
begitu gampangnya membuka pabrik atau tempat usaha yang baru. Ciri
perusahaan yang demikian gampang diketahui.Mereka gencar memasang iklan
lowongan kerja di berbagai media massa untuk melakukan ekspansi usaha.
Mereka adalah pemain handal, yang mampu memanfaatkan blessing in disguised
(berkat terselubung) untuk kemajuan perusahaannya. Sosok konglomerat sejati
semacam inilah yang ditunggu-tunggu banyak kalangan, termasuk seluruh
masyarakat Indonesia. Kalaupun banyak diantaranya yang belum sempat muncul
ke permukaan, itu mungkin karena exposure media massa belum begitu gencar
memonitornya.
Atau justru sebaliknya, mereka malu menyandang nama konglomerat yang sudah
terlanjur tercemar oleh ulah segelintir konglomerat (hitam) yang sudah
malang melintang di jagad bisnis. Maklum stigma yang melekat pada sosok
konglomerat memang sudah sangat buruk (negatif).
Dampaknya jelas, para konglomerat sejati ini menjadi malu menyandang nama
baru sebagai konglomerat. Mereka menjauhi diri dari nama tersebut, dan lebih
baik tidak dikenal masyarakat.
Mereka beranggapan, kerja keras dengan berkualitas, jauh lebih penting
ketimbang publisitas murahan, yang sering justru kurang menguntungkan bagi
perkembangan bisnisnya ke depan.
Mereka bekerja secara bergerilya, diam-diam, merangsek maju secara perlahan,
tetapi tiba-tiba saja membuat kejutan yang berarti karena prestasi yang
berhasil diraihnya.

Itulah sifat dan karakteristik konglomerat putih, atau konglomerat sejati.
Seperti disinggung di atas, mereka sudah menerapkan konsepsi GCG jauh
sebelum konsep bisnis modern ini (diwajibkan) diterapkan di berbagai
perusahaan negara maupun swasta. Jauh sebelum orang meneriakkan pentingnya
penerapan GCG, mereka sudah menginternalisasikan berbagai unsur GCG seperti
fairness, transparansi, akuntabilitas dan sejenisnya dalam bisnis mereka
sehari-hari.
Tak aneh, kalau mereka bisa tumbuh ke atas dengan cepat tanpa ada fasilitas
monopoli pasar, surat sakti, subsidi atau fasilitas bisnis distorsif
lainnya.
Sederhana saja penerapannya, mereka sudah menerapkan konsep bisnis yang
berbasiskan kejujuran dan keterbukaan.
Dengan atau tanpa iklim yang kondusif sekalipun, sang konglomerat sejati ini
tengah mempersiapkan diri memasuki era perdagangan bebas yang sudah
membentang di depan mata. Diam-diam, mereka sudah mempersiapkan diri dengan
bekal yang luar biasa.
Kalau mereka bergerak di bidang perdagangan, mereka sudah mempersiapkan diri
menghadapi berbagai perangkat aturan yang memadai. Bahkan, mereka juga sudah
mulai menerapkan regulasi yang berlaku secara global didalam sistem
bisnisnya. Pendek kata, mereka sudah sangat siap memasuki era baru, babak
baru yang bernama globalisasi.
Tak hanya itu, mereka juga tidak berupaya memiliki bank, yang diharapkan
bisa menjadi sapi perah. Kalaupun mereka memiliki bank, mereka memilih untuk
berkongsi dengan partner bisnis lain, sehingga hanya menjadi pemegang saham
minoritas.
Yang luar biasa, mereka tidak banyak memiliki utang di bank, sehingga
likuiditas usaha mereka selama ini sangat terjaga, bahkan dapat dikatakan
sangat likuid.
Justru bank-bank sekarang banyak memburu dan berebut mereka, konglomerat
sejati untuk memberikan pembiayaan (financing) bagi bisnisnya. Ini terjadi
akibat daya tarik kekuatan bisnis mereka, yang tercermin dalam cash flow
keuangan perusahaan yang demikian lancar dan likuid.
Itulah babak baru, sebuah episode anyar bagi berkiprahnya konglomerat
sejati, yang sepak terjangnya mulai terlihat belakangan ini. Bagi kalangan
pelaku bisnis, keberadaan konglomerat putih ini sudah tercium. Bahkan,
beberapa media massa sudah pernah pula mengekspose kegiatan mereka selama
ini.
Bidang garapan mereka sangatlah beragam, mulai dari industri pers dan media
massa, perdagangan ritel, industri peternakan dan perikanan, industri
kerajinan tangan, makanan dan sejenisnya.
Bisnis mereka sudah merambah ke bidang-bidang lain, namun masih dalam core
competency yang sama. Pemerintah, dalam hal ini bisa memfasilitasi, agar
mereka tidak terjerumus memasuki sektor lain yang tidak dikuasainya.
Tak hanya sebatas itu, pemerintah harus terus mendorong kemajuan bisnis
mereka dengan menciptakan iklim bisnis yang kondusif. Dorong terus para
konglomerat sejati ini dengan berbagai peraturan dan regulasi yang mendorong
mereka untuk terus maju.
Bagaimanapun juga, Indonesia memerlukan kehadiran mereka, terlebih
pertumbuhan ekonomi yang diasumsikan pemerintah sebesar 4 persen, sehingga
keberadaan mereka teramat penting.
Mereka adalah pelaku sektor riil, yang selama ini banyak mengalami stagnasi
yang cukup berarti.
Mereka adalah pejuang bisnis, yang selama ini banyak menyerap tenaga kerja,
yang berarti mengurangi beban pemerintah didalam mengatasi masalah
pengangguran.

Penulis adalah praktisi dan pemerhati masalah bisnis.
.