[Nasional-m] Menunggu Kematian Guru

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue, 17 Dec 2002 23:58:37 +0100


SUARA PEMBARUAN DAILY

Menunggu Kematian Guru
Oleh Prih Adiartanto, Ag

da hal menarik ketika saya menugasi siswa menggambarkan sosok guru saat
membahas materi menulis deskripsi dalam pengajaran di kelas. Sejumlah besar
siswa mendeskripsikan guru seperti sosok Oemar Bakri dengan tas hitam,
sepeda kumbang, lengkap dengan atribut kesederhanaan, layaknya lirik lagu
Iwan Fals itu. Sejumlah siswa lain mendeskripsikan sosok Sarmun, guru nyambi
tukang ojek yang pernah diperankan pelawak Basuki dalam sebuah sinetron.
Sementara sebagian kecil siswa menggambarkannya sesuai syair Himne Guru
baris terakhir: Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa.

Tentu saja anak-anak muda yang saya hadapi ini tidak bermaksud guyonan
apalagi mengejek. Berbagai persoalan yang dihadapi guru-guru Indonesia
hampir setiap hari menghiasi media massa dan setiap istirahat mereka santap
di ruang koran atau perpustakaan. Gaji dan tunjangan hidup yang rendah,
profesionalitas yang semakin luntur, sampai penghargaan dan status sosial
guru yang semakin merosot di masyarakat.

Tidak bisa dipungkiri, citra dan wibawa guru pada masa kolonial lebih tinggi
dibandingkan dengan guru sekarang ini. Masa itu, guru adalah profesi yang
sangat diidam-idamkan. Soedarminto (1998) mengilustrasikan seorang ibu guru
menerima gaji 40 gulden, padahal seorang inlander hanya perlu segobang (2,5
sen) untuk hidupnya. Tak heran jika sekolah keguruan menjadi incaran lulusan
sekolah terbaik. Di samping fasilitas dan kemudahan yang diperoleh, status
guru akan membawanya menuju strata atas dalam kelas masyarakat. Tidak
sedikit guru yang kemudian sampai di puncak sebagai pimpinan masyarakat.

Para founding fathers negeri ini pun sebagian besar adalah guru atau
setidaknya mengawali kariernya sebagai guru. Sukarno, Presiden pertama RI,
pernah menjadi guru semasa pengasingannya di Bengkulan (sekarang Bengkulu).
Begitu pula dengan Mohammad Natsir, Perdana Menteri Indonesia pada masa
peralihan, adalah guru dan perintis berdirinya sebuah sekolah di Bandung.
Soedirman dan A.H. Nasution adalah jenderal-jenderal yang pernah pula
menjadi guru. Soedirman adalah guru dan kepala salah satu HIS di Cilacap,
sedangkan A.H. Nasution pernah menjadi guru di Bengkulu dan kepala sekolah
di Muara Dua, Palembang Hulu. Tidak dapat disangkal pula di antara
tokoh-tokoh itu masih ada RM Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal
sebagai Ki Hajar Dewantara dan KH Ahmad Dahlan, seorang guru yang kiai.

Ironis, jika di masa lalu sekolah keguruan menjadi incaran siswa-siswa
berprestasi, sementara IKIP/FKIP beberapa tahun terakhir sedikit sekali
dilirik calon mahasiswa. Nama IKIP pun disinyalir tak layak jual lagi, maka
berbondong-bondonglah IKIP mengubah diri menjadi universitas.

Ironis pula, jika di masa lalu seorang guru bisa berpenghasilan 40 gulden
sebulan, sementara sekarang guru yang mengharap kenaikan gaji atau tunjangan
harus berdemo rame-rame ke gedung DPR, mogok mengajar, atau lebih parah lagi
harus ngojek atau jadi tukang batu di sela-sela waktu luangnya. Sebuah surat
kabar beberapa waktu lalu bahkan secara jelas memberitakan 70 persen
pendidik swasta bergaji di bawah UMR.

Wajar jika kemudian tak ada satu pun dari sekian anak muda yang saya hadapi
di kelas itu secara tegas mengatakan atau setidaknya berniat menjadi guru.
Hampir sebagian besar siswa justru secara eksplisit menulis
ketidakinginannya. Ad Maiorem Dei Gloriam (untuk kemuliaan Tuhan yang lebih
besar) yang disingkat AMDG sebagai spirit sekolah pun di-pleset-kan menjadi
Aku Moh Dadi Guru (aku tidak mau jadi guru).


Dana Pendidikan

Mutu pendidikan Indonesia rendah. Hasil survei PBB tahun 2002 menunjukkan
bahwa dari 180 negara, Indonesia berada pada posisi 102. Ketika mutu
pendidikan dinilai rendah, maka sasaran tembak pertama adalah guru. Guru
sebagai pelaku utama pendidikan adalah kambing hitam persoalan. Berbagai
dakwaan muncul: guru tidak profesional, guru tidak bertanggung jawab
mengajar tapi justru nyambi cari objekan.

Guru sendiri yang serba sulit -di satu sisi mencoba menjalankan tugasnya dan
di sisi lain mencoba berjuang agar dapurnya tetap ngebul- ganti berteriak,
bahwa kurikulum terlalu berat sementara penghasilannya sebagai guru tidak
mencukupi. Alhasil, bongkar pasang kurikulum bukan hal asing di negeri ini.
Bahkan sampai muncul pameo: ganti menteri pasti ganti kurikulum.

Ketika kurikulum demikian berat membebani guru dan siswa, sementara guru
masih disibukkan dengan administrasi pengajaran dan mencari kerja sambilan;
bagi siswa yang berlebih dana akan lari ke lembaga-lembaga bimbingan
belajar. Ketika lembaga bimbingan belajar menjanjikan cara-cara gampang dan
instan untuk mengerjakan suatu hal, siswa akan lebih menaruh minat dan
respek pada lembaga itu daripada kepada sekolah atau guru. Lalu, mereka yang
kekurangan dana? Hasilnya adalah sinyalir beberapa pakar pendidikan yang
menyatakan bahwa kurikulum saat ini hanya bisa diikuti tidak lebih dari 10
persen siswa seluruh Indonesia.

Guru semakin terpinggirkan. Sementara persoalan pendidikan (mengajar) bukan
sekadar transfer pengetahuan (knowledge), tetapi juga nilai-nilai (value)
dan keutamaan-keutamaan hidup. Bagaimana pula ketika tawuran, kekerasan
menjadi pilihan ekspresi anak sekolah? Lagi-lagi guru menjadi kambing hitam
persoalan, karena pendidikan budi pekerti tidak jalan. Seperti lingkaran
setan dan semuanya bermuara pada guru.

Lalu bagaimana soal dana pendidikan? Alokasi anggaran sektor pendidikan
dalam APBN masih lebih rendah dibandingkan dengan sejumlah negara di kawasan
Asia. Tahun 2000, alokasi anggaran pendidikan Indonesia hanya 6,3 persen
dari APBN, sementara Singapura, Thailand, dan Korea Selatan sudah sampai
pada angka 20 persen.

Angin segar sebenarnya berhembus ketika menyimak amanat amandemen keempat
UUD'45 pasal 31 yang menyatakan bahwa dana pendidikan Indonesia sebesar 20
persen dari total APBN. Tetapi apa mau dikata jika beberapa waktu kemudian
di kalangan wakil rakyat pun belum tercapai kesepahaman angka 20 persen itu.
Lebih parah, harus dibilang dengan apa lagi jika ternyata banyak terjadi
kebocoran dana di lingkungan pendidikan sebagaimana ditemukan BPK hasil
pemeriksaan semester I tahun 2002?

Era otonomi daerah (pendidikan) sekarang ini, pengambil kebijakan soal dana,
tunjangan kesejahteraan guru lebih banyak dipegang oleh pemerintah daerah
(pemda). Akan terpecahkankah keresahan guru selama ini jika potensi
masing-masing daerah Indonesia berbeda? Bagaimana pula menyikapi pemda yang
birokratis, membatasi sekat-sekat wilayah ruang gerak guru sehingga otonomi
justru menghasilkan pengkotak-kotakan guru itu?

Di samping kurikulum dan dana, gurulah yang menjadi pokok persoalan
pendidikan di Indonesia. Seorang rektor perguruan tinggi di Jakarta beberapa
waktu lalu menilai bahwa guru Indonesia belum menjadi guru cendekiawan
karena guru-guru Indonesia tidak dididik untuk menjadi seorang cendekiawan.


Lebih lanjut Direktur Pembina Tenaga Kependidikan dan Keterampilan Perguruan
Tinggi Depdiknas menambahkan bahwa kebanyakan guru Indonesia merasa sudah
cukup puas dengan mengajar di kelas dan tidak berusaha meningkatkan
kemampuannya.

Akar persoalan bisa ditelusuri: bagaimana guru mencapai kompetensi optimal
jika pilihan masuk lembaga keguruan sudah alternatif yang kesekian?
Bagaimana pula guru bisa mengoptimalkan profesionalitasnya jika energinya
harus terbagi untuk bersiasat memenuhi kebutuhan hidup? Beban kerja minimal
seorang guru adalah 24 jam per minggu dan di luar itu mereka masih harus
mengerjakan tugas-tugas akademik (mengoreksi pekerjaan/tugas siswa),
melakukan tugas- tugas pendampingan (membimbing kegiatan ekstrakurikuler,
dan kegiatan pembinaan lain).

Tidak wajar jika tugas mengajar per jam dihargai maksimal Rp 10.000 sehingga
didapat Rp 168.000 (per minggu = sebulan untuk hitungan gaji guru), ditambah
dengan tunjangan Rp 75.000; maka penghasilan seorang guru tidak tetap Rp
315.000 per bulan.

Bagaimana guru bisa hidup jika untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic need)
yang layak bagi seorang guru bujang adalah Rp 960.000 per bulan, dan Rp 1,4
juta untuk mereka yang sudah menikah tetapi belum punya anak? Meneriakkan
pentingnya profesionalitas guru menyangkut kualifikasi dan kompetensi tentu
tidak bisa meniadakan faktor gaji dan kesejahteraan.

Sesungguhnya yang diperlukan guru saat ini adalah pemberian kesempatan untuk
meningkatkan kualitas dan profesionalitas, serta peningkatan kesejahteraan
sampai pada taraf di mana guru tidak perlu lagi membagi konsentrasi dan
energinya ke hal-hal lain selain pada fungsi "mendidik"-nya.

Ketika melihat sekolah tidak berfungsi sebagaimana mestinya, Roem (2001)
menyebutnya sebagai sekolah sudah mati. Lalu, harus dikatakan dengan apa
jika guru pun sudah tidak berperan sebagaimana mestinya? Menjadi terlalu
kasar jika kemudian dikatakan guru sudah mati. Tetapi bukan tidak mungkin
jika persoalan yang menimpa guru di negeri ini tidak kunjung terpecahkan,
Oemar Bakri atau pak guru Sarmun tak lagi punya sepeda kumbang atau motor
ojek. Kedua kendaraan itu sudah digadaikan untuk membiayai pengobatan
sakitnya.

Sementara mereka berdua tak kunjung sembuh, bahkan sekarat tergeletak tak
berdaya di balai-balai menunggu ajal! Bukan tidak mungkin pula Himne Guru
yang megah dan syahdu itu berangsur-angsur berganti menjadi lagu requiem
yang menyayat kalbu.

Penulis adalah guru dan staf Litbang SMU Kolese de Britto Yogyakarta.

Last modified: 17/12/2002