[Nasional-m] Damai di Aceh?

Ambon nasional-m@polarhome.com
Wed, 18 Dec 2002 23:08:37 +0100


Jawa Pos
Kamis, 19 Des 2002
Sorotan Politik Minggu Ini

Damai di Aceh?
Oleh Denny J.A.

Untuk kali pertama, Presiden Megawati bermalam di Aceh. Dia menyempatkan
diri sujud syukur di masjid bersama para pejabat dari Jakarta dan pimpinan
serta unsur masyarakat Aceh.

Megawati menyatakan bahwa masalah Aceh akan selesai dalam waktu dua tahun.
Namun, akankah damai benar-benar menetap di Aceh? Pertanyaan ini diajukan
banyak orang dengan harap-harap cemas. Perasaan di hati sangat berharap agar
damai itu benar-benar terjadi. Namun, akal pikiran dan pengalaman
menunjukan, betapa proses damai itu tak mudah dan dikhawatirkan kembali
gagal.

Sudah terlalu lama Aceh merasa ditipu oleh pemerintah pusat. Sejak zaman
Bung Karno, Pak Harto, Habibie, Abdurrahman Wahid, dan kini Megawati
Soekarnoputri, begitu banyak janji yang diumbar.

Namun, satu per satu janji itu diingkari. Yang terakhir adalah janji
Megawati. Jika kelak dia yang menjadi pemimpin, menurut Megawati, darah akan
berhenti mengalir di Aceh. Kenyataannya, pembunuhan dan kekerasan di Aceh
terus berlangsung.

Konflik di Aceh sudah pula mengakar. Sudah banyak pula pihak dan oknum yang
justru diuntungkan oleh konflik. Mereka yang bersenjata, oknum dari militer,
polisi ataupun dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM) justru dapat menjual "jasa
keamanan" di era konflik.

Makin parah konflik yang terjadi, makin mahal pula "jasa keamanan" itu. Tak
terhitung para bandit dan bos serta mafia ganja. Di era konflik, hukum belum
benar-benar efektif. Kondisi konflik justru membuat mereka leluasa
bertransaksi di pasar gelap.

Syarat

Benarkah damai akan datang di Aceh? Dari sisi ilmu politik, dapat dijawab
bahwa damai akan datang di Aceh jika terpenuhi dua syarat. Pertama,
demiliterisasi antara pihak yang bertikai berlangsung secara sukses.

Konflik panjang yang mengakar di Aceh, yang diwariskan turun-temurun, tentu
tak dapat diselesaikan dalam satu kali kesepakatan. Suasana damai hanya
mungkin dicapai melalui berbagai tahapan resolusi konflik yang sukses.

Tahap pertama yang terpenting adalah berubahnya metode perjuangan. Semula,
senjata berbicara. Kehendak politik dinyatakan melalui tembakan, bom,
sabotase, pembunuhan, dan penyiksaan. Melalui demiliterisasi, area perbedaan
di pindahkan dari jalanan ke meja perundingan. Bukan lagi senapan yang
berbicara, tapi argumen dan kesediaan berkompromi.

Demiliterisasi hanya sukses jika (GAM) bersedia meletakkan senjata. Ini
berarti harus ada perubahan yang sangat radikal di tubuh GAM sendiri. Sebuah
organisasi yang sudah banyak kehilangan anggota dan pimpinannya karena
terbunuh tersebut -yang memang dilahirkan untuk memanggul senjata- tiba-tiba
kini diharuskan melucuti senjatanya sendiri.

Jika damai yang diinginkan, GAM dipaksa berubah menjadi sebagaimana layaknya
lembaga swadaya masyarakat. GAM tentu tetap dapat mempengaruhi politik Aceh
dan membentuk opini masyarakat. Namun, semuanya dilakukan tanpa kekerasan.

Hanya mungkin bagi GAM meletakkan senjata jika mereka percaya bahwa mereka
sedang tidak ditipu atau dijebak. Harus sudah terbangun dulu adanya saling
kepercayaan, trust building. Sangat sulit berharap GAM tiba-tiba langsung
percaya kepada pemerintah RI dan militer, yang dalam persepsi mereka sejak
dulu sudah menipu.

Kehadiran lembaga internasional menjadi syarat mutlak. Lembaga internasional
itu menjadi penjamin bahwa GAM akan aman-aman saja jika meletakkan senjata.
Dunia internasional akan menghancurkan wibawa pemerintah RI jika
mengkhianati kesepakatan.

Zona wilayah damai diperluas. Peran dan manuver tentara dan polisi RI juga
dibatasi. Dibentuk badan baru yang lebih tinggi, yang disebut Joint Security
Commission. Badan ini akan mengevaluasi keamanan dan memberikan penilaian
atas pelanggaran damai. Bukan hanya Indonesia, badan itu juga ikut dikontrol
oleh GAM dan dunia internasional.

Jika tahap demiliterisasi tersebut sukses, tahap selanjutnya atas upaya
damai dapat dilaksanakan. Demiliterisasi semata tentu tak cukup. Untuk
menuju damai yang stabil, dibutuhkan tahap kedua, yaitu kesepakatan format p
olitik. Kedua belah pihak harus benar-benar sepakat mengenai format politik
untuk Aceh di masa depan.

Apakah Aceh yang disepakati itu berada dalam naungan Negara Kesatuan
Republik Indonesia? Ataukah Aceh yang dimaksud adalah Aceh yang merdeka?
Ataukah akan ada referendum yang membiarkan rakyat Aceh memilih?

Pembicaraan mengenai format politik Aceh di masa depan mungkin merupakan
bagian yang paling sulit dan sensitif. Seolah sulit sekali mencari kompromi
atas dua kepentingan yang berbeda.

Indonesia menginginkan Aceh kembali dalam pangkuan NKRI. Sebagian rakyat
Aceh, yang diwakili GAM, ingin Aceh merdeka. Dua tuntutan itu bertentangan.
Siapa yang harus mengalah?

Sungguhpun bertentangan, namun tetap ada kesamaan fundamental pada keduanya.
Berbagai pihak sebenarnya punya muara yang sama, Aceh yang makmur, damai,
dan sejahtera. Ketenangan masyarakat Aceh yang berdaulat dan berkeadilan
adalah tujuan tertinggi.

Persoalannya kemudian, format politik apa yang paling realistis untuk
mencapai Aceh yang makmur dan adil? Aceh merdeka jelas tidak realistis.
Upaya tersebut ditentang tak hanya oleh Indonesia. Dunia internasional juga
tidak mendukung upaya itu. Gerakan separatisme hanya sukses dalam sejarah
dalam momentum khusus.

Referendum juga tidak realistis. Sulit dibayangkan pemerintah RI bersedia
menjalankan referendum secara damai, dengan risiko kehilangan Aceh. Yang
paling realistis adalah pemberian otonomi khusus yang seluas-luasnya kepada
Aceh.

UU otonomi khusus NAD saat ini dapat dimodifikasi. Jelas pimpinan dan
aktivis GAM harus mendapatkan amnesti dan pengampunan. Mereka secara
otomatis harus dianggap sebagai warga negara biasa yang terhormat dan tidak
diburu untuk dipenjara. Lebih dari itu, aktivis dan pimpinan GAM dibolehkan
bertarung dalam pemilu lokal untuk menjadi anggota DPRD, bupati, bahkan
gubernur.

Sudah terlalu lama Aceh menderita. Sudah begitu banyak anak-anak menjadi
yatim. Sudah terlalu besar jumlah wanita yang menjadi janda. Sejak 1976,
sudah lebih dari 12.000 penduduk yang mati. Apa lagi yang dicari? ***
* Denny J.A., direktur eksekutif Yayasan Universitas dan Akademi Jayabaya