[Nasional-m] Pangan Transgenik, Manfaat dan Kontroversi

Ambon nasional-m@polarhome.com
Fri, 20 Dec 2002 23:32:15 +0100


SUARA PEMBARUAN DAILY


Pangan Transgenik, Manfaat dan Kontroversi
Oleh F G Winarno

eknologi rekayasa genetika, yang juga disebut bioteknologi modern merupakan
suatu jenis teknologi yang baru dan tentu saja sangat berbeda dengan
teknologi bioteknologi konvensional atau breeding tradisional yang
diterapkan sebelumnya. Breeding tradisional hanya mampu melakukan
penyilangan antarorganis- me sejenisnya, yaitu yang memiliki genetic make-up
serupa.

Dalam melakukan tugas itu, para breeder tradisional dengan sengaja atau
tidak sengaja sebetulnya telah mentransfer bukan hanya satu atau dua gen
tetapi beberapa puluh ribu gen. Hal itu merupakan perbandingan yang sangat
kontras, bila dibanding dengan teknologi rekayasa genetika atau rDNA yang
mampu mentransfer secara lebih cermat, yaitu hanya dengan beberapa gen
terpilih, yang ditransfer antarspesies sama sampai antarspesies yang sangat
berbeda.

Hasil organisme yang telah mengalami rekayasa, yang dilakukan melalui
teknologi pemindahan atau transfer sebuah atau lebih gen antara spesies yang
sama atau yang berbeda itu, disebut transgenik. Beberapa puluh pangan
transgenik saat ini telah berada di pasaran, di antaranya adalah jagung,
squash, canola, kedelai dan kapas (kapas sebetulnya bukan pangan, tetapi
dari bijinya dapat diekstraksi menjadi minyak makan nabati yang bermutu
tinggi).

Para pakar rDNA mampu memotong atau mencopot suatu gen yang dikehendaki,
praktis dari setiap organisme hidup apa saja, memindahkan dan menyisipkannya
ke dalam setiap organisme lain apa saja. Sebagai contoh, kini dengan cara
yang relatif mudah manusia dapat memindahkan sebuah gen yang terdapat dalam
sel seekor tikus ke dalam DNA dari sel tanaman selada (lettuce), sehingga
jenis tanaman itu lebih kaya vitamin C-nya, atau memindahkan gen dari sebuah
sel binatang cecropia dan moth ke dalam tanaman apel, sehingga menjadi apel
yang tahan terhadap penyakit yang disebut fire blight yang disebabkan
sejenis bakteri yang merusak tanaman buah apel serta pir di seluruh AS.

Sebetulnya tujuan utama dari teknik breeding tradisional maupun bioteknologi
modern sama saja, yaitu bagaimana caranya agar dapat menyisipkan sebuah gen
atau beberapa gen dari sebuah organisme donor yang membawa atau memiliki
sifat-sifat baik yang dikehendaki ke dalam suatu organisme yang tidak
memiliki sifat-sifat (trait) tersebut.


Produk GMO

Dalam jumlah sedikit atau banyak rasanya setiap manusia telah pernah
mengkonsumsi pangan transgenik, khususnya dimulai sejak tahun 1990-an. Data
berikut barangkali dapat digunakan sebagai gambaran bahwa lebih dari 60
persen seluruh pangan terolah yang dipasarkan di supermarket di seluruh
Amerika Serikat, baik itu pizza, chips, cookies, ice cream, salad dressing,
corn syrup, baking powder, tofu, semuanya mengandung ingredients yang
termasuk dalam kategori transgenik, GMF atau GMO. Karena produk-produk
tersebut menggunakan bahan mentah GMO dalam bentuk kedelai, jagung dan
canola serta produk transgenik lainnya.

Selama dasawarsa terakhir, tanaman bioteknologi telah melonjak volumenya
dari tanaman di rumah kaca, ladang percobaan, percontohan, menjadi komoditas
perkebunan dengan skala luar biasa luasnya. Lahan pertanian yang digunakan
untuk produksi pangan transgenik meluas meliputi 130 juta acre yang tersebar
di 13 negara di antaranya Argentina, Canada, RRC, Afrika Selatan, Australia,
Jerman dan Spanyol hanya dalam kurun waktu lima tahun.

Lahan pertanian GMO Amerika Serikat sendiri meningkat 25 kali, dari 3,6 juta
acre pada 1996 mencapai 88,2 juta acre pada 2001. Dan kecenderungannya
setiap tahun akan terus meningkat dengan kecepatan tinggi. Sehingga akan
semakin sulit dan mahal untuk mendapatkan bahan mentah produk pangan non-GMO
bagi perkembangan industri pengolahan pangan di mana saja.

Lebih dari 50 jenis tanaman pangan GMO telah lolos dari uji dan review
pemerintah federal AS dan sekitar 100 jenis komoditas GMO baru sedang
mengalami uji lapang.

Negara yang secara rutin mengimpor pangan dari negara-negara produsen pangan
GMO baik dalam bentuk bahan mentah maupun bahan olahan (prepackaged foods),
dipastikan telah banyak mengkonsumsi pangan GMO atau transgenik setiap hari.
Indonesia merupakan salah satu negara pengimpor pangan tersebut.

Dalam memperoleh kemajuan besar di bidang pertanian melalui bioteknoligi,
manusia harus bersyukur kepada gen yang dapat dipinjam dari suatu bakteri
yang biasanya terdapat di lahan-lahan pertanian yang dikenal sebagai
Bacillus thuringiensis yang sering disingkat sebagai Bt saja.

Gen Bt mampu mengkode produksi toksin yang dianggap aman bagi manusia,
tetapi sangat efektif mematikan jenis serangga tertentu, termasuk european
corn borer, suatu jenis serangga yang mampu membuat terowongan dengan cara
mengebor batang, tongkol jagung daun, dan bijinya, sehingga mendatangkan
banyak kerugian bagi petani jagung.

Begitu efektifnya Bt tersebut sehingga petani organik menggunakannya sebagai
insektisida alami selama berpuluh-puluh tahun. Bila ulat-ulat dari serangga
corn borrer tersebut menggigit dan makan daun, batang dan biji jagung dari
jenis Bt, toksin yang diproduksinya akan menyerang saluran pencernaan
ulat-ulat tersebut dan ulat-ulat itu akan mati setelah beberapa hari.

Jagung-jagung Bt ternyata juga tahan melawan corn root worm (cacing akar
jagung) sejenis hama jagung yang biasanya mendatangkan kerugian miliaran
dolar AS setiap tahun, dan telah menyedot biaya separo dari seluruh
insektisida yang digunakan. Bila dibanding dengan jagung biasa, jagung Bt
memiliki akar yang lebat, sedang yang biasa akarnya kurus dan jarang.


Transgenik bagi Kesehatan

Perkembangan bioteknologi dalam memperoleh produk pangan baru, berpotensi
dapat mengganti alat bioreaktor atau fermentor stainless steel melalui suatu
tanaman yang mampu memproduksi berbagai jenis obat-obatan, vitamin dan
bahkan vaksin. Kalau impian itu terwujud, bioteknologi mampu memindahkan
proses yang terjadi dalam bejana-bejana stainless steel tersebut ke arah
perkebunan tanaman yang memproduksi berbagai jenis bio active component
proses alami back to nature.

Gambaran tersebut secara jelas disampaikan oleh Dean Della Penna (2002)
pakar plant biochemist, Amerika Serikat. Bioteknologi modern berpeluang
besar dalam memproduksi senyawa farmasi, gizi dan bioaktif. Bahwa tomat,
brokoli dapat dimodifikasi gennya untuk menghasilkan ba-han atau senyawa
kimia antikanker, demikian halnya dengan peningkatan kadar vitamin dalam
padi, ubi jalar dan singkong yang dapat membantu pemerintah dalam usaha
mengikis kekurangan gizi masyarakat.

Kelak akan sering dijumpai bahwa gandum, kedelai dan kacang tanah varietas
baru yang bebas dari alergen (penyebab alergi). Tidak lama lagi kita juga
akan menyaksikan pisang varitas baru yang sekaligus mengandung vaksin serta
minyak nabati yang mengandung senyawa theurapeutik, yang biasanya digunakan
dalam resep dokter, untuk mengobati pasien yang menderita penyakit kanker
dan penyakit jantung.

Tampaknya apa yang dikatakan bapak kedokteran dunia Hippocrates "let your
food be medicine and medicine be your food" akan benar-benar menjadi
kenyataan.

Dr Della Penna sangat percaya bahwa pangan hasil bioteknologi modern
(genetically engineered foods) akan menjadi kunci penting bagi terjadinya
gelombang baru kemajuan di bidang pertanian dan kesehatan.


Menjanjikan?

Seberapa jauh sebetulnya pangan hasil bioteknologi modern benar-benar
membantu mencukupi kebutuhan pangan dunia. Masalah yang dihadapi dunia saat
ini adalah besarnya jumlah penduduk yang kurang gizi atau malnutrisi
(Prakash, 2002). Menurut Prakash teknologi rDNA atau rekayasa genetika dapat
membantu menangani masalah dunia yang mendesak yaitu kekurangan pangan dan
kelaparan.

Teknologi tersebut mampu meningkatkan produktivitas tanaman, menawarkan
varitas tanaman baru yang tahan terhadap hama dan penyakit, serta membantu
melapangkan jalan, bagaimana caranya menumbuhkan tanaman pangan pada
lahan-lahan kritis yang bila dibiarkan begitu saja tak akan dapat mendukung
pertanian. Pada lahan kritis yang kering dan yang kurus haranya atau lahan
yang kondisinya kekurangan aluminium dan besi, teknologi baru itu ternyata
menjanjikan dalam menjawab tantangan tersebut.

Meskipun demikian beberapa tokoh masyarakat dan para pakar masih
mempertanyakan kemampuan tersebut dan berargumentasi, bahwa pemecahan
masalah kelaparan dan malnutrisi sebetulnya terletak pada masalah distribusi
yang cepat dari persediaan pangan yang telah tersedia dan tertimbun serta
menumpuk di gudang-gudang penyimpanan dan bukan pada kurangnya cadangan
pangan. Mereka juga berpendapat para konglomerat yang menguasai industri
bioteknologi berusaha membuat petani kecil pangan tak berdaya dalam
memanfaatkan cara tradisional mereka dengan baik.

Di samping suara-suara optimistik seperti disebut di atas, masih banyak yang
prihatin terhadap ketidakpastian tentang akibat jangka panjang serta tingkat
bahayanya terhadap mereka yang mengkonsumsinya. Mereka menuduh para produsen
pangan GMO terlalu tergesa-gesa memasarkan produk tersebut sebelum diketahui
secara utuh efek samping bagi konsumen. Hal itu kadang-kadang ditangkap oleh
para anggota partai politik sebagai bahan debat yang menarik perhatian dan
barangkali menguntungkan untuk menuju jenjang kekuasaan yang mereka idamkan.

Banyak ilmuwan kini sepakat, masalah utama yang dihadapi dari pangan
transgenik bukan pada manusia konsumennya tetapi pada lingkungan. Dr Allesin
Snow (2002), pakar ekologi menyatakan, "Kita telah membiarkan kucing lepas
dari karungnya, sebelum memiliki data yang lengkap dan tampaknya akan sulit
memanggil kucing tersebut kembali ke karungnya lagi". Genic telah keluar
dari botolnya. Menurut Dr Snow, gen telah tertembus angin, menyebar ke
mana-mana, dalam bentuk benang sari dari suatu populasi tanaman lainnya dan
karena alasan itu, ia benar-benar gundah bahwa pangan transgenik telah
dikembangkan terlalu cepat, pada lahan subur yang luasnya berjuta-juta acre
tanpa sebelumnya mengalami uji yang dianggap cukup terhadap pengaruh jangka
panjangnya, khususnya terhadap dampak ekologinya di masa mendatang.

Isu tersebut berkembang karena adanya pengaruh negatif transgenik tanaman
budidaya tersebut terhadap nontarget organisme, makhluk lain yang
mengunjungi tanaman tersebut. Adanya tanaman transgenik yang mampu
memproduksi insektisida dalam tanaman sendiri memiliki potensi mengancam
kehidupan makhluk liar lain. Isu itu berkobar pada 1997, dimulai dengan
diterbitkannya laporan penelitian yang mengingatkan benang sari dari jagung
Bt dapat membahayakan kehidupan ulat-ulat dari jenis kupu-kupu ratu (monarch
butterfly).

Di Eropa gerakan anti-GMO berkembang dan menganjurkan agar masyarakat
menentang masuknya Franken Food (Mengingatkan master Frankenstein ke daratan
Eropa). Para Food retailer utama, menyingkirkan GMO food dari pajangan di
pasar swalayan. Pangan atau makanan yang mengandung GMO lebih dari 1 persen
dinyatakan dalam label. Mereka juga secara keras memberi nama Montaso,
produsen utama GMO dengan nama Monsatan.

Tampaknya genic telah keluar dari botolnya, luas areal tanaman GMO meliputi
beratusn juta acre dari lahan yang paling subur di dunia. Andaikata
perkembangan GMO dapat distop hari ini, masih diperlukan waktu
berpuluh-puluh tahun untuk meradikasinya. Sementara itu benangsari terus
beterbangan ke mana-mana.

Penulis adalah Senior Scientist M-BRIO Biotekindo, guru besar IPB Bogor.

Last modified: 20/12/2002