[Nasional-m] Budaya Imitasi dalam Birokrasi Lokal

Ambon nasional-m@polarhome.com
Fri, 20 Dec 2002 23:23:06 +0100


http://www.sinarharapan.co.id/berita/0212/20/opi01.html
Budaya Imitasi dalam Birokrasi Lokal
Oleh Tri Widodo W. Utomo

Disengaja atau tidak, praktik birokrasi di tingkat lokal (daerah) selama ini
banyak diwarnai oleh imitasi atau tiruan terhadap sistem birokrasi di
tingkat nasional. Program pembangunan daerah 5 tahunan yang tertuang dalam
Repelitada (sekarang Propeda), secara redaksional merupakan kutipan dari
Repelita (sekarang Propenas) dengan melakukan sedikit perubahan yang
menyangkut nama daerah dan data-data teknis lainnya.
Matsui Kazuhisa, pakar tentang Indonesia di Institute of Developing
Economics, JETRO, dalam seminar di Universitas Nagoya beberapa waktu lalu
mengkritik kebiasaan ini sebagai wujud tidak kreatifnya birokrasi lokal dan
kokohnya kekuatan birokrasi nasional atas unsur lokal.
Di sisi lain, pembentukan dinas atau instansi teknis di daerah juga mengacu
kepada format kelembagaan di level nasional. Oleh karena itu, jika terdapat
departemen X di tingkat nasional, hampir bisa dipastikan ada dinas atau
lembaga lain di daerah yang menangani urusan X. Singkatnya, sistem
pemerintah daerah hanya merupakan replika atau miniatur dari sistem
pemerintah pusat.
Uniknya, budaya imitasi ini berlaku tidak hanya dalam menduplikasi sistem
pemerintahan di pusat, tapi juga antar/sesama pemerintah daerah. Sebagai
contoh, jika kita simak jenis-jenis pungutan/retribusi di berbagai daerah,
akan kita sadari bahwa terdapat tingkat kemiripan yang sangat tinggi
terhadap jenis-jenis retribusi, meskipun karakteristik dan komoditas
unggulan antardaerah tersebut berbeda secara signifikan.
Di balik berbagai kemiripan tadi, dapatlah kita tafsirkan motivasi dari
banyaknya program studi banding antar daerah.
Budaya imitasi yang menghasilkan berbagai kesamaan dalam praktik
penyelenggaraan pemerintahan daerah ini harus dibedakan dengan politik
sentralisasi model Orde Baru. Pada masa lalu, aspek-aspek seperti kewenangan
bidang pemerintahan, sistem perencanaan pembangunan, sampai dengan pakaian
dinas untuk pegawai, diseragamkan melalui kebijakan yang sistematis dan
terpusat.
Itulah sebabnya, nuansa dekonsentrasi jauh lebih kuat dibanding
desentralisasi. Dalam kasus imitasi di atas, tidak ada intervensi kebijakan
secara langsung oleh Pusat. Daerah justru diberi kelonggaran untuk mengatur
suatu aspek secara berbeda jika memang diperlukan, namun ternyata tidak
dilakukan.
Dengan diberlakukannya kebijakan otonomi luas melalui penetapan UU 22/1999,
campur tangan pemerintah pusat di daerah berkurang secara signifikan.
Artinya, daerah memiliki kebebasan untuk mengatur dan mendesain sendiri
kewenangan yang akan dijalankan, organisasi yang akan menjalankan
kewenangan, kebutuhan sumber daya, serta perangkat ketatalaksanaan (metode,
aturan, prosedur) untuk menjalankan roda pemerintahan.
Sayangnya, ada gejala terjadinya kekagetan budaya. Pemda yang sebelumnya
selalu tunduk kepada ìpetunjukî pusat, secara tiba-tiba harus lepas dari
induknya serta harus berjuang keras untuk menentukan nasib sendiri.
Entah karena tidak biasa atau karena memang tidak bisa, hampir tidak ada
daerah yang benar-benar kreatif, mempunyai terobosan penting, dan mampu
menunjukkan kinerja tinggi. Sebaliknya, manajemen pemda dewasa ini banyak
diwarnai oleh banyaknya protes masyarakat, konflik antar lembaga eksekutif
dan legislatif, serta perseteruan partai politik dalam memperebutkan posisi
kepala daerah.
Sebagai akibat dari kekagetan budaya tadi, maka tidaklah mengherankan jika
praktik imitasi masih menjadi primadona. Sebagai contoh, belakangan ini
banyak tuntutan untuk menyelenggarakan pemilihan Gubernur secara langsung.
Tuntutan ini muncul seketika setelah adanya Tap MPR tentang pemilihan
presiden secara langsung.
Tentu banyak argumen dibalik usulan ini. Misalnya, pemilihan langsung jauh
lebih demokratis dan mendorong pendidikan politik bagi masyarakat. Pemilihan
langsung juga dapat mengantisipasi praktik politk uang dan dagang sapi di
lobi DRPD.
Tanpa bermaksud mengkritisi aspirasi tersebut, beberapa hal perlu dipikirkan
sebelum metode pemilihan gubernur secara langsung diterapkan. Pertama,
adakah konsep kedaulatan (rakyat) daerah, dan jika ada, siapakah pemilik
kedaulatan itu?
Pada tataran nasional, kedaulatan adalah ditangan rakyat, sehingga pemilihan
kepala negara (yang kebetulan juga kepala pemerintahan) dilakukan oleh
rakyat. Sebagai sebuah negara kesatuan, adalah semestinya jika kedaulatan
bersifat tunggal dan tidak terbagi-bagi dalam kedaulatan rakyat secara
provinsial (misalnya kedaulatan rakyat Jakarta, Aceh, Papua, dan
sebagainya).
Dengan kata lain, pemerintahan provinsi adalah bagian dari negara kesatuan,
dan bukan negara bagian yang dimiliki oleh rakyat di provinsi yang
bersangkutan saja. Dalam konsep negara kesatuan, rakyat tidaklah
terkotak-kotak berdasarkan batas-batas teritorial, sehingga rakyat Papua
memiliki hak untuk ikut menentukan format pemerintahan DKI, dan sebaliknya.
Kedua, jika Gubernur dipilih langsung, kepada siapakah dan bagaimanakah
mekanisme pertanggungjawabannya? Kedudukan Gubernur adalah sebagai Kepala
Daerah (otonom) sekaligus sebagai Wakil Pemerintah, sehingga ia bertanggung
jawab kepada DPRD dan juga kepada Presiden (pasal 31).
Artinya, ia memiliki ìdua kakiî dan ìdua tuanî. Jika ia juga harus
bertanggungjawab langsung kepada rakyat, maka akan terjadi triplikasi
pertanggungjawaban yang aneh secara administratif dan sulit secara politis.

Ketiga, adakah jaminan bahwa gubernur hasil pemilihan langsung akan dapat
menjalankan amanat rakyat secara maksimal dan bekerjasama dengan DPRD secara
baik?
Dewasa ini terdapat kesan adanya arogansi dan superordinasi legislatif
terhadap eksekutif daerah. Jika pemilihan langsung diterapkan, kondisi ini
akan terbalik dimana gubernur mungkin saja merasa superior atas DPRD.
Hasilnya, hubungan GubernurñDPRD bisa retak yang mengakibatkan terganggunya
stabilitas pembangunan daerah.
Tulisan ini tidak berpretensi bahwa budaya imitasi adalah jelek. Justru
imitasi yang telah dimodifikasi semestinya menghasilkan sesuatu yang lebih
baik dari pada produk aslinya.
Namun perlu disadari bahwa karakteristik, kebutuhan dan kemampuan suatu
daerah berbeda dengan kondisi pusat dan kondisi daerah lain. Semangat
otonomi adalah kemandirian dan pemberdayaan, di samping demokratisasi dan
perbaikan mutu pelayanan.
Oleh karenanya, inilah saat yang tepat bagi birokrasi lokal untuk keluar
dari bayangan dominasi birokrasi pusat dengan cara membatasi, jika tidak
meninggalkan, budaya imitasi.

Penulis adalah mahasiswa pascasarjana Graduate School of International
Development, Nagoya University, Jepang.