[Nasional-m] Alquran dan Konstitusi Modern

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu, 7 Nov 2002 22:01:40 +0100


Media Indonesia
 Jumat, 8 November 2002

Alquran dan Konstitusi Modern
Iwan Satriawan, Dosen FH Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, sedang studi
di Program MCL IIU Malaysia

SALAH satu persoalan yang mengemuka di kalangan intelektual muslim saat ini
adalah kegagalan mereka dalam memahami Alquran sebagai bacaan yang bersifat
konstitusional. Alquran masih secara dominan dipahami sebatas kitab hukum.
Pemahaman seperti ini sebenarnya menimbulkan dampak yang serius. Sebab,
Alquran tidak dipahami secara proporsional sebagai sebuah petunjuk yang juga
memuat prinsip-prinsip konstitusional yang dapat dijadikan panduan dalam
kehidupan bernegara.

Tulisan di bawah ini mencoba memberikan argumentasi bahwa Alquran sebenarnya
mengandung banyak prinsip konstitusi yang relevan dengan ketatanegaraan
modern. Tulisan ini juga akan memperbandingkan Alquran dengan konstitusi
modern dan beberapa permasalahan yang muncul dalam kehidupan masyarakat
muslim dalam rangka mengubah paradigma umat dalam memahami Alquran sebagai
hal yang supreme.

Dalam terminologi hukum modern, konstitusi minimal mencakup beberapa hal
mendasar, seperti struktur kekuasaan, pembagian kekuasaan, dan jaminan
terhadap hak-hak asasi manusia. Dalam sebuah konstitusi modern, juga harus
terkandung beberapa prinsip mendasar, seperti hierarki hukum, supremasi
hukum, kedaulatan, keadilan, dan lain-lain.

Dalam hal ini, sebenarnya Alquran juga memuat prinsip-prinsip konstitusional
yang relevan dijadikan sebagai acuan dalam menformat sistem ketatanegaraan
sebuah negara. Sebagai contoh, dalam surat An Nisa ayat 58 dan 59 jelas
terkandung prinsip hierarki hukum, supremasi hukum, kedaulatan, keadilan,
dan sebagainya.

Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa manusia harus tunduk pada aturan yang
paling tinggi sebagaimana yang ditetapkan Allah swt dalam Alquran dan Sunah.
Manusia hanya diberi otoritas oleh Allah swt sebagai wakilnya dalam
mengemban amanat sebagai khalifah di muka bumi. Dalam ayat tersebut
ditekankan bahwa dalam menjalankan amanah tersebut manusia harus berlaku
adil di antara manusia.

Maka menjadi sangat logis bila kemudian Islam menolak bentuk sekularisme
dalam kehidupan masyarakatnya, karena Alquran sebagai petunjuk hidup telah
memberikan tuntunan yang mendasar dan komprehensif bagi manusia dalam setiap
aspek kehidupan masyarakat muslim (syumul). Lebih jauh lagi, sebenarnya
Alquran mengandung nilai-nilai yang universal dan abadi, karena Alquran
adalah wahyu Ilahi (divine revelation) yang tingkat kebenarannya tidak
dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Berbeda dengan konstitusi modern yang an
sich merupakan produk akal manusia (human reasons) yang kebenarannya terikat
pada ruang dan waktu.

Problem masyarakat muslim

Dalam kaitan dengan hal di atas, ada beberapa permasalahan yang muncul dalam
masyarakat muslim. Pertama, pada praktiknya Alquran masih dipahami oleh
masyarakat terbatas sebagai kitab hukum yang mengatur masalah wajib, haram,
sunah, makruh, dan mubah. Alquran belum ditempatkan pada posisi yang
sebenarnya, yaitu sebagai petunjuk, sebagaimana dinyatakan dalam surat
al-Baqarah ayat 2. Hal ini merupakan akibat dari sistem pendidikan sekuler
yang tidak menempatkan Alquran sebagai referensi utama masyarakat dalam
mengkaji berbagai cabang ilmu pengetahuan. Akibatnya, seorang sarjana hukum,
misalnya, bisa dipastikan lebih fasih mengutip Austin, Kelsen, atau Bentham
dalam uraian-uraiannya daripada mengutip al-Shatibi, al-Ghazali, atau
Al-Saraksi dalam perbincangan mengenai filsafat dan metodologi hukum yang
menggunakan Alquran sebagai sumber utama. Artinya, sistem pendidikan,
khususnya kurikulumnya, tidak mendorong seorang muslim untuk menjadikan
Alquran sebagai rujukan utama dalam membedah berbagai persoalan yang muncul
dalam masyarakat.

Kedua, secara eksternal masih ada konflik ideologis dalam kehidupan
bernegara ketika nasionalisme harus menggusur segala hal yang seharusnya
bersifat fundamental dalam Islam. Sistem hukum misalnya masih belum bisa
mengakomodasi eksistensi hukum Islam secara komprehensif dengan argumentasi
bahwa Indonesia bukanlah negara Islam. Dengan kata lain, for the sake of
nationalism, masyarakat muslim diharuskan tunduk pada hukum yang tidak
sesuai dengan aspirasi religiusnya sendiri. Pendeknya, dalam perdebatan
antara nasionalisme dan Islam, kepentingan umat Islam selalu menjadi hal
yang dikorbankan dan dipinggirkan. Karena itu, diperlukan sebuah konsep
ketatanegaraan yang sanggup melakukan harmonisasi antara kepentingan
nasionalisme dan aspirasi religius masyarakat, apakah Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, atau Buddha.

Solusi alternatif

Ada beberapa solusi alternatif yang bisa dipertimbangkan ke depan. Pertama,
paradigma pendidikan umat Islam memang harus diubah dengan memasukkan visi
religiusitas sebagai basis utama pendidikan. Hal ini tentu harus
ditindaklanjuti melalui perombakan kurikulum dengan menjadikan agama sebagai
rujukan utama.

Untuk konteks umat Islam, kurikulum pendidikannya harus menjadikan Alquran
dan Sunah sebagai sumber utama dalam mengkaji berbagai cabang ilmu yang ada.
Dengan pola seperti ini, maka ada sebuah proses integrasi antara nilai-nilai
Islam dan berbagai cabang ilmu pengetahuan yang ada. Pola pendidikan seperti
ini sudah dijalankan di beberapa kampus, seperti di International Islamic
University Malaysia dan International Islamic University Islamabad,
Pakistan. Dengan konsep ini diharapkan akan lahir generasi yang leading dan
enlightening.

Kedua, harus ada upaya serius untuk melakukan proses harmonisasi antara
hukum positif Indonesia dan nilai-nilai Islam, sehingga konflik-konflik
ideologis bisa diminimalisasi. Langkah ini sangat urgen. Jika karena alasan
nasionalisme, umat Islam tidak diberi keleluasaan untuk mengimplementasikan
aspirasi religiusnya, maka akan muncul pertentangan ideologis yang tidak
pernah selesai. Karena itu, para pemuka agama (Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, dan Buddha) bersama pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus
sering berdialog dalam rangka memahami posisi dan kepentingan masing-masing.

Yang jelas, proses harmonisasi ini bukanlah berarti peminggiran umat
beragama lainnya. Umat beragama harus bersatu dalam sebuah platform bahwa
negara akan rapuh jika nilai-nilai religiusitas tidak menjadi basis utama
dalam membangun tatanan sosial dan politik masyarakat.

Dengan dasar pemikiran di atas, maka menjadi sangat relevan untuk melihat
agama sebagai landasan utama tegaknya negara dan masyarakat. Dalam konteks
inilah, Alquran sebagai sumber rujukan utama bagi umat Islam menjadi
signifikan untuk dilihat sebagai konstitusi umat yang bersifat supreme.