[Nasional-m] Revolusi Berpikir Realistis

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu, 7 Nov 2002 22:18:33 +0100


Suara Karya

 Revolusi Berpikir Realistis
Oleh Nana Suryana

Jumat, 8 November 2002
Luis Echeverria pernah mengungkapkan, "Kita hidup dalam masa krisis. Oleh
karena itu kata-kata mesti diisi dengan makna nyata. Sebuah kata harus dapat
menemukan tenaga kreatif dan kemampuannya untuk menyatukan dan membebaskan
manusia. Secara filosofis dan politis, kata dan perbuatan harus selaras dan
menyatu. Bagai api dan udara, dalam perbuatan pada umumnya."

Boleh jadi pendapat Echeverria itu bukan sekadar sebuah karya sastra. Tapi
menguak makna sesungguhnya yang tidak terbantah lagi. Sebab kita pun sadar,
nilai-nilai hidup dan kehidupan semakin menusuk pada permasalahan "super
jlimet". Tak mudah dijamah atau diatasi oleh kemampuan nalar, indrawi,
ragawi, bahkan materi.

Apa pasal? Berangkat dari fakta sejarah, hingga kini ratusan juta jiwa
manusia masih hidup dalam belenggu kebodohan, kemelaratan dan
keterbelakangan. Penghamburan sumber kekayaan alam semakin memprihatinkan.
Pencarian keadilan dan kebenaran telah dirasionalisasi dengan menghalalkan
segala cara. Pelanggaran HAM, terorisme, pemerkosaan hak azasi, penindasan
individu dan bangsa yang semakin terang-terangan di depan mata. Kesenjangan
yang kian menjorok, antara yang punya apa-apa dan yang tidak punya apa-apa
(antara kemakmuran dan kemelaratan). Serta masalah-masalah akbar lainnya
yang tengah mendera planet bumi kita.

Satu hal yang sangat memprihatinkan kita adalah soal sikap dan prilaku
manusia. Kecenderungan petualangan manusia semakin hari semakin menjauh dari
koridor moral dan patokan nilai. Mereka yang hidup di negara besar yang
semakin mengacu pada rasio-monopolitis. Para elit intelektual lebih suka
berbuat dan berkutat demi keuntungan kelompoknya, yang seringkali dilakukan
dengan cara licik dan mencolok mata. Sebuah tanggung jawab tak lagi menjadi
bagian beban moral, malah menjadi tidak berkutik dan bertekuk lutut di bawah
tekanan-tekanan. Tingkah polah manusia, kini semakin "antik" dan susah
difahami.

Fenomena seperti itu muncrat ke permukaan, acapkali dilakukan dengan
cara-cara yang kasar dan mencolok. Contohnya, tak terhitung, dapat kita
amati setiap hari pada koran-koran, majalah, radio, televisi, internet dan
pelbagai media lainnya pada hampir seluruh bidang kehidupan.

Fenomena seperti itu muncul, bukan semata-mata dunia yang tengah dihadapkan
pada krisis enerji, pangan atau sumber alam. Bukan karena ancaman nuklir
atau teroris yang kerap mengintai nyawa manusia. Tak sepenuhnya akibat
degradasi moral dan sebangsanya. Tapi boleh jadi diawali oleh revolusi
berpikir yang kurang terorganisasi secara pas, runtut dan dalam. Teori-teori
dan buah pikir para elit intelektual, baik sebagai hasil renungan,
penelitian atau perbincangan tingkat tinggi, tampak jelas kurang
dimanfaatkan secara bertanggung jawab, konsisten dan rapih. Sehingga
kata-kata harus terpasang sebagai slogan dan iming-iming yang acapkali harus
berbeda haluan dengan kenyataan dan perbuatan.

Kita yakin benar bahwa apa yang dihasilkan kaum elit intelektual adalah demi
survival kehidupan manusia dan atau bangsa. Karena itu, baginya, berpikir
tetap bukanlah sebuah kejahatan. Hasil olah-pikirnya diharapkan mampu
menjawab permasalahan masa kini dan masa depan manusia dan bangsa. Sehinga
setiap manusia dan bangsa memiliki sadar arah dan sadar tujuan. Agar pada
gilirannya tidak saling menindas antar manusia dan bangsa.

Namun kenyataan berbeda. Penindasan sering terjadi, justru dari bangsa yang
memiliki hak-hak istimewa. Jadi harapan antara kata dan perbuatan akan
berjalan rapi dan sinkron adanya, menjadi sebuah an-sich nonsense, omong
kosong belaka.

Apa lacur, rebutan sumberdaya alam lah yang kerap dijadikan dalih penekanan
terhadap suatu negara. Akibatnya penguasaan sumberdaya menjadi kian
jomplang. Diperkirakan 19% penduduk dunia yang lebih kaya menguasai 64,5%
produk kotor nasional (GNP) dunia. Di pihak lain sekitar 2,8 miliar penduduk
dunia yang mewakili 70 negara dunia ketiga, dengan 32,6% penduduknya hanya
menguasai 8,8% dari seluruh kekayaan dunia.

Gambaran seperti itu, sesungguhnya membuktikan watak dasar manusia yang
cenderung egois yang lebih suka mementingkan diri dan kelompoknya. Karena
itu, tampaknya menuntut suatu revolusi berpikir yang mengarah pada
penggunaan secara rasional sumberdaya alam (natural resource), sumberdaya
manusia (human resources), serta sains dan teknologi, yang diharapkan mampu
menjadi sarana perubahan yang kualitatif dan revolusioner.

Terlebih terhadap negara-negara dunia ketiga yang menurut catatan resmi
tahun 1990 merupakan 3/4 umat manusia. Berdasarkan hipotesa dalam tahun 2002
ini seluruh penduduk dunia mencapai 6,9 miliar penduduk, maka 5,4 miliar
akan menempati negara dunia ketiga. Kira-kira pada tahun 2018 penduduk dunia
diperkirakan akan berjumlah 9,17 milyar, maka 7,73 milyar diantaranya berada
pada dunia ketiga.

Ledakan demografi disertai munculnya benih-benih baru krisis ekonomi akan
membawa suatu peradaban yang menjadikan kelaparan, kemelaratan, dan
kemiskinan sosial sebagai ciri umum sebagian besar penghuni dunia.

Oleh karena itu dalam menjawab tantangan jaman yang semakin merontokan
harapan itu, paling tidak harus dimulai dari revolusi mental dan revolusi
berpikir dari kalangan cendekiawan setiap bangsa yang mengarah pada
terwujudnya aspirasi pencerdasan kehidupan bangsa. Tujuan utama revolusi
perlu senantiasa dilandaskan pada pembentukan potensi manusia seutuhnya agar
manusia dan bangsa mampu mempersiapkan diri menghadapi kehidupan yang lebih
layak, terhormat dan lebih memanusia. Sehingga perlu didukung oleh komitmen
politik, kebijakan ekonomi, penerimaan sosial, serta tumpuan ilmu dan
teknologi.

Ada suatu indikasi menarik dari seorang pakar komunikasi, Marshal McLuhan,
dalam "The Medium is the Message", yang mengungkapkan bahwa dunia kita saat
ini adalah dunia baru yang meliputi segala hal. Waktu telah terhenti, ruang
telah lenyap. Kita sekarang hidup di desa yang amat besar, kejadian yang
simultan. Malangnya kita menghadapi situasi yang baru ini dengan tumpukan
besar masalah dan berondongan mental. Kata-kata dan nalar kita yang paling
mengesankan, seringkali menghianati kita. Semua ini mengingatkan kita pada
masa silam dan bukan sekarang."

McLuhan sesungguhnya ingin menyentil kita untuk menyadari pentingnya kata
dan perbuatan. Sebuah kata akan mampu menjamin bahwa semua faktor lingkungan
dan pengalaman akan berdampingan dalam suatu keadaan saling mempengaruhi
secara aktif. Namun sayang, banyak kata-kata hasil olah pikir brilian kaum
elit dan cendekiawan harus terbuang percuma dan luput dari upaya perbuatan.

Sering kaum cendekiawan dan elit dunia berembuk mengupas soal manusia dan
masalah dunia. Mulai dari diskusi, lokakarya, seminar, konferensi, studi
banding hingga penelitian-penelitian. Namun seringkali pula hasilnya sebatas
hitam diatas putih. Menjadi lembaran-lembaran mati yang tak punya arti.
Beberapa KTT sering diselenggarakan, diantaranya di bawah pengawasan PBB.
Misalnya terhadap masalah pencemaran udara dan lingkungan di berbagai
negara. Mulai dari KTT di Caracas tahun 1973, di Jenewa tahun 1975, di
Prancis tahun 1977, dan terus berlanjut pada tahun-tahun berikutnya.
Hasilnya? Masalah pencemaran udara dan lingkungan hidup malah kian mendongak
ke permukaan, menjadi semacam momok menakutkan.

Pada tahun 1968 ada suatu "Kelompok 30" terdiri dari ilmuwan, ekonom, guru,
industrialis, birokrat mengadakan pertemuan di Roma untuk memperbincangkan
dan mencari solusi terhadap masalah-masalah dunia. Konsepnya begitu hebat
dan brilian. Namun dalam pelaksanaannya begitu kering, tak bernyawa dan tak
berdaya. Dalihnya macam-macam, mulai dari keterbatasan dana, ketatnya
birokrasi, iklim politik tidak kondusif, dan alasan-alasan lainnya, yang
pada gilirannya nihil untuk diterapkan di lapangan.

Contoh lain seperti pertemuan Meja Bundar tentang kerjasama kebudayaan dan
intelektual serta Tata Ekonomi Dunia Baru yang diadakan UNESCO tahun 1976.
Kemudian Konferensi Keuangan dan Moneter oleh PBB yang berkelanjutan dengan
didirikannya Dana Moneter Internasional (IMF) di Washington 27 Desember
1945. Hasilnya, kebodohan dan keterbelakangan tetap menghantui negara-negara
dunia ketiga. Sementara lembaga internasional yang disebut terakhir, malah
menjadi semacam penjajah ekonomi versi terbaru, lengkap dengan penekanan dan
penindasannya.

Kurangnya keseimbangan antara visi, misi dan tujuan obyektif serta
ketimpangan maksud dari yang telah ditentukan menjadikan sebagian
permasalahan yang terpecahkan dan terumuskan tidak mampu dilaksanakan secara
konsisten dan lurus. Kegagalan-kegagalan dan penyimpangan itu terjadi, bukan
berarti terlepas dari keinginan untuk melakukan perubahan revolusioner.

Namun justru celakanya sistem-sistem dan terori-teori yang ditelurkan kaum
cendekiawan yang teroganisasi itu lebih banyak dimanfaatkan sebagai alat
untuk melayani politik ekonomi. Selain itu dimanfaatkan guna merebut
kekuasaan yang didasarkan pada akumulasi bahan primer, kekuasaan angkatan
bersenjata, dan kekuasaan terhadap pemuasan ilmu pengetahuan. Pada
gilirannya menjadi lupa pada tujuan utamanya sebagai alat pembebas manusia
dari kebodohan, keterbelakangan dan kemelaratan.

Oleh karena itu yang dibutuhkan kini adalah revolusi dalam lapangan
pemikiran yang mengarah pada upaya mengatasi problema-problema dasar
manusia. Bagaimana agar manusia yang bernasib kurang baik dapat terangkat
harkat, martabat dan kehormatannya menjadi manusia yang wajar. Terlepas dari
himpitan kemiskinan dan terbebas dari keterbelakangan, terutama pada mereka
yang hidup pada negara-negara dunia ketiga.

Jika pun jangkauan revolusi ini terlalu luas dan sulit, maka cukup lah kita
tengok lingkungan di sekitar kita yang ternyata masih banyak yang
membutuhkan uluran tangan dan jamahan pemikiran kita. Sebab kita tidak
membutuhkan suatu revolusi berpikir yang penuh dengan cerita fiktif bagai
sebuah dongeng. Tapi membutuhkan revolusi berpikir yang realistis, yang
mampu memberikan pencerahan dan sulusi terhadap setiap problema yang
mendongak di depan mata kita. Dengan demikian, setidaknya, kaum cendekiawan
sejati, kaum elit dan pemikir tingkat bangsa dan dunia, tidak frustasi
dibuatnya. ***

(Penulis adalah kolumnis, alumnus Fikom Unpad).