[Nasional-m] Kesiapan Indonesia dan Trade-off Perdagangan Bebas

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu, 7 Nov 2002 22:33:29 +0100


Sriwijaya Pos
Kamis,  07 November 2002

Kesiapan Indonesia dan Trade-off Perdagangan Bebas
Amidi
Pengamat Ekonomi dan Dosen FE UMP

DENGAN semakin beragamnya barang dan jasa yang diperdagangkan dan media yang
digunakan, baik dalam kawasan regional, nasional maupun internasional dan
dengan semakin bebasnya perdagangan, semakin liberalnya perdagangan, dan
semakin globalnya percaturan ekonomi dunia, maka mau tidak mau Indonesia
harus ikut bergabung dalam perdagangan bebas tersebut. Apalagi mengingat
negeri ini merupakan salah satu negara ASEAN. Lewat ASEAN inilah bobot
negeri ini di mata internasional akan diperhitungkan dan keikutsertaan
Indonesia tersebut jauh sebelumnya sudah kita ikrarkan.
Sedikitnya ada 6 bentuk perdagangan besar (free trade) yakni European Free
Trade Area (EFTA), European Economic Community (EEC), North Amnerican Free
Trade Area (NAFTA), Australian New Zealan Clour Economic Relation (ANCER),
Asia Pacific Economic Coorporation (APEC) dan Asean Free Trade Area (AFTA).
Indonesia sebentar lagi akan memasuki AFTA, pertanyaan yang sering timbul di
sekitar persoalan pasar bebas adalah sudah siapkah Indonesia?. Akhir-akhir
ini berbagai fenomena ekonomi agaknya sudah dapat menjawab kesiapan itu,
bahkan lebih jauh justru tidak jarang tindakan/kebijakan yang kita ambil di
sekitar persoalan perdagangan bebas tersebut justru bertolak belakang
(trade-off) dengan apa yang seharusnya kita lakukan.
Dalam mensikapi fenomena ini, Indonesia harus benar-benar jeli dan siap,
agar dapat mengambil kemanfaatan dari perdagangan bebas tersebut, kalau
tidak ia akan menggilas dan memakan kita sendiri. Betapa tidak, karena dalam
perdagangan bebas sudah tidak dikenal lagi proteksi yang selama ini
diterapkan dalam perdagangan antar negara (perdagangan internasional).
Rentan Gejolak
Dalam perkembangannya, agaknya kita belum siap menghadapi pasar bebas
tersebut. Indikasi ini diperlihatkan oleh ketidaksiapan SDM, daya saing
dunia usaha kita yang sangat rendah dan beberapa bentuk ketidaksiapan
lainnya termasuklah dalam mengantisipasi dampak ekonomi global sebagai
konsekuensi dari keikutsertaan kita dalam pasar bebas tersebut. Seperti
timbulnya krisis moneter yang telah menjelma menjadi krisis ekonomi yang
berlarut-larut.
Jika kesiapan kita sudah mapan, krisis moneter akibat turunnya nilai tukar
rupiah terhadap dolar AS, mungkin tidak menjelma menjadi krisis ekonomi yang
berkepanjangan yang kini masih dirasakan terutama oleh masyarakat pada
tataran kelas ekonomi mengenah ke bawah. Pada saat itu fundamental ekonomi
makro kita ternyata rentan terhadap gejolak eksternal (ekonomi luar),
cadangan devisa kita terbatas, pertumbuhan ekonomi lebih dominan disumbang
oleh konsumsi dan aktivitas ekonomi lebih didominasi oleh investor asing
(investasi jangka pendek) yang mudah sekali exit dari pasar (Indonesia).
Pengalaman menunjukkan bahwa pada tahun 1998 lalu, dimana pada saat itu
kondisi ekonomi dan politik Indonesia sangat tidak kondusif, sehingga
menyebabkan tidak sedikit pelaku ekonomi/investor asing dalam mengamankan
diri dan asetnya, exit atau kembali ke negara asalnya. Mereka pulang tentu
membawa dolar, yang menyebabkan stok dolar berkurang, harga dolar AS pada
saat itu meningkat/naik mencapai titik nadir sampai Rp 18.000-an per dolar
AS. Akibat kesigapan pemerintah Indonesia dapat mengendalikan kondisi,
sehingga kondisi kondusif kembali dan dengan serta merta nilai dolar As
mulai turun dan sampai normal pada kisaran Rp 8.000-an sampai Rp 9.000-an
per dolar AS.
Tidah hanya itu bentuk ketidaksiapan kita, dunia usaha kita ternyata belum
siap menghadapi perdagangan bebas ini. Indikator ini diperlihatkan masih
rendahnya daya saing dunia usaha Indonesia dalam menghadapi perdagangan
pasar bebas terutama AFTA yang sebentar lagi bergulir. Menurut laporan World
Bank (2000) bahwa ekspor barang Indonesia berada pada posisi ke 26 dengan
pangsa pasar dunianya hanya 10 persen. Kemudian menurut The World Competitiv
eness Report 2001, bahwa dari 49 negara yang disurvei, Indonesia berada
diperingkat paling rendah. Di tahun 1999 dayan saing dunia usaha Indonesia
berada pada peringkat 37, kemudian turun menjadi peringkat 44 pada tahun
2000 dan turun kembali menjadi peringkat 49 pada tahun 2001 lalu. Bila
dibandingkan dengan India saja Indonesia jauh tertinggal, apalagi
dibandingkan dengan Amerika Serikat, Singapura dan negara lain (lebih
lengkap lihat World Economic Forum- WEF 2001).
Selama ini dunia usaha Indonesia terkesan cuku eksis, mereka eksis karena
mereka mendapat berbagai proteksi dari pemerintah dalam berbagai bentuk,
subsidi, bantuan, termasuklah campur tangan yang berlebihan. Namun dengan
bergulirnya perdagangan bebas, proteksi itu tidak bisa lagi dipertahankan,
dunia usaha Indonesia dituntut mempunyai daya saing tinggi, mandiri, efisien
dan produktif.
Kasus Gula-Beras
Kemudian akhir-akhir ini, kita disibukkan oleh kasus gula dan beras impor
yang gencar masuk Sumsel. Akibat gula dan beras impor tersebut sehingga gula
dan beras lokal kalah bersaing, gula impor harganya lebih rendah dari gula
lokal. Harga gula impor Rp 2.800/Kg (harga sampai ke pelabuhan bom baru Rp
2.100 ditambah pajak Rp 700) jauh dibawah harga gula lokal Rp 2.930/Kg.
Dengan demikian, sehingga PG Cinta Manis terpaksa merugi dengan menjual gula
lokal berkisar Rp 2500-Rp 2550 per Kg (Sripo, 23/9/2002). Kemudian menjelang
bulan Ramadhan harga gula lokal sudah berkisar Rp 3.700-Rp 4.000/Kg.
Begitu juga dengan beras impor. Sebagai contoh berasal asal India bisa masuk
ke pasar dengan harga Rp 1.900/Kg (Kompas, 9/10/2002). Dengan relatif lebih
murahnya harga dan relatif baiknya kualitas gula dan beras impor tersebut,
maka wajar saja kalau gula dan beras impor tersebut digandrungi oleh
konsumen. Bahkan bukan tidak mungkin produsen memanfaatkan fenomena ini
(misalnya beras India tersebut) dengan mengganti karung dengan merek beras
lokal, produsen berasal lokal bisa menjual beras impor dari India tersebut
dengan harga beras lokal yang lebih mahal, agar memperoleh keuntungan yang
lebih besar.
Bila dicermati, selain daya saing usaha harus lebih tinggi, faktor manajemen
dan atau efisiensi usaha juga memegang peranan penting untuk menguasai pasar
bebas/pasar dunia. Seperti dalam produksi gula selama ini ternyata masih
terjadi kesenjangan. Kebutuhan gula nasional mencapai 3,2 juta sampai 3,3
juta ton per tahun, sedangkan produksi nasional antara 1,8 juta ton sampai
dengan 1,9 juta ton per tahun, sehingga sisanya masih harus dipenuhi oleh
gula impor (Sripo, 24/9/2002). Begitu juga dengan harga beras India yang
dilempar ke pasar Internasional sangat murah tersebut, ternyata karena beras
tersebut merupakan sisa stok nasional mereka. Dalam hal ini jelas, kemampuan
India bukan cermin dari efisien, tetapi lebih tercermin dari kemampuan
mengelola stok.
Kemudian selain unit usaha dalam sekala besar, unit usaha dalam skala kecil
dan menengah (UKM) pun ternyata belum siap juga dalam menghadapi pasar bebas
tersebut. Masih banyak produk yang dihasilkan oleh unit usaha kecil dan
menengah (UKM) yang tidak memiliki standar mutu, tidak memenuhi syarat
layaknya suatu produk untuk dikonsumsi, tidak terdaftar di Dinas
Kesehatan/di Dinas Perdagangan dan Industri, tidak mempunyai kemasan dan
tidak jelas kandungan yang ada dalam produk tersebut. Sehingga untuk masuk
pasar swalayan saja tidak memenuhi syarat, apalagi kalau mau bersaing dengan
produk impor yang sejenis.
Trade-Off
Dalam kerangka ini, kita tidak bisa bertindak dengan serta merta melarang
produk impor agar tidak bertebaran di daerah ini. Dikhawatirkan, pihak luar
negeri menganggap kita tidak konsekuen, dikhawatirkan akan melanggar HAM.
Jauh sebelumnya kita telah mengikrarkan ikut serta dalam pasar bebas, namun
setelah ada dampak negatif/karena kita belum siap lantas kita emosi,
buru-buru membatasi produk luar masuk.
Kalau demikian, terjadi trade-off. Disatu sisi kita sudah menyatakan suka
atau tidak suka, siap atau tidak siap Indonesia harus ikut dalam perdagangan
bebas. Di sisi lain ketika kita diterpa oleh maraknya dampak negatif dari
perdagangan bebas yang sudah mulai terasa sekarang, kita kewalahan, kita
emosi dan kita seakan tidak mau menerima dampak negatif tersebut. Boleh saja
kita membatasi impor, namun tidak dengan melarang mentah-mentah, tetapi
dengan jalan pengendalian produk impor (dengan standar yang jelas) dan
mencegah penyelundupan produk impor. Dalam hal ini yang harus kita lakukan
adalah berbenah, membangun stok barang yang cukup dan berupaya berproduksi
secara baik dan efisien.
Trade-off tersebut diperparah pula oleh adanya tindakan kita yang
seakan-akan tidak peduli, tidak mendukung dan tidak mau tahu dengan
kelemahan dunia usaha kita, kelemahan pelaku ekonomi kita. Seperti adanya
kebijakan menaikkan harga pupuk di tingkat petani. Beberapa waktu yang lalu
PT Pusri secara diam-diam menaikkan harga pupuk urea menjadi Rp 1.090 atau
naik Rp 40/Kg di tingkat gudang PT Pusri. Padahal menurut peraturan yang
menaikkan harga pupuk adalah pemerintah bukan produsen pupuk.
Penutup
Perdagang bebas, terutama AFTA sebentar lagi akan bergulir, tidak ada
pilihan lain, kecuali bagaimana mempersiapkan kembali dunia usaha kita agar
dapat bersaing dan atau mempunyai daya saing tinggi dan memperbaiki
manajemen usaha serta pengendalian stok yang memadai, sehingga produk pasar
dunia yang membludak tidak berpengaruh pada produk pasar dalam negeri.
Menurut Tulus Tambunan (2001) paling tidak ada beberapa langkah dalam
meningkatkan daya saing; menciptakan lingkungan legislatif yang stabil,
membangun struktur ekonomi yang luwes/kokoh, melakukan investasi dalam
infrastruktur tradisional dan teknologi, mendorong terjadinya tabungan
swasta dan investasi domestik, melakukan keterbukaan terhadap perdagangan
internasional, meningkatkan transfaransi administrasi/birokrasi, memelihara
keterkaitan antara tingkat upah, produktivitas dan perpajakan dan
menyeimbangkan perekonomian regional dan global untuk menjamin terciptanya
kemakmuran.
Kemudian yang tak kalah pentingnya adalah meningkatkan dan atau memperbaiki
kualitas SDM dalam rangka menggali dan mengoptimalkan SDA yang kita miliki
dan adanya upaya untuk menggiring agar lembaga/institusi yang terlibat
langsung dalam perdagangan bebas ini, seperti dinas perdagangan dan
industri, Kadin, dan lainnya lebih kreatif dan berbuat optimal serta yang
terakhir adalah memperbaiki sikap mental kita terutama dalam rangka menerima
perubahan-perubahan positif yang terjadi dan mengeliminir dampak negatif
akibat globalisasi terseut. Selamat berjuang!!!

 DARI REDAKSI

PEMBACA yang budiman. Redaksi Sripo menerima tulisan dari siapa saja yang
berminat menulis, dengan syarat diketik dua spasi sebanyak 5-6 halaman
kuarto. Penulis juga harus mengirim fotokopi identitas diri dan pasfoto.
Jika dalam waktu satu bulan tulisan yang dikirim tidak diterbitkan, maka
penulis boleh mengirim tulisan pada media lain. Tulisan akan dikembalikan
jika tak termuat, dengan syarat disertai perangko dan alamat yang jelas.
Bagi Netter bisa dikirim  lewat E-mail Sripo (sripo@mdp.net.id  atau
sripo@mdp.co.id), jangan lupa identitas yang jelas serta E-mail Anda. Kalau
ada rekening Bank BCA atau Bank Mandiri.