[Nasional-m] Kiat Memerangi Terorisme

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu, 7 Nov 2002 22:22:59 +0100


Suara Merdeka
 Jumat, 8 November 2002  Karangan Khas

Kiat Memerangi Terorisme
Oleh: Zuly Qodir

KETIKA ledakan bom terjadi di Bali, sebagai bangsa religius kita benar-benar
tersentak. Apakah bangsa ini sedang dikutuk Tuhan, atau salahkah kita dalam
beragama? Atau pemboman tersebut tidak ada kaitannya dengan religiusitas
bangsa ini.

Pertanyaan ini penting dikemukakan sebab selama tiga tahun terakhir ini kita
benar-benar diserang oleh teror. Terorisme memang tidak atau belum jelas
siapa pelakunya, dan memang tidak pernah jelas, karena senantiasa
terorganisasi secara sistematis.

Namun demikian, tidak berarti kita tidak bisa memerangi terorisme.
Persoalannya, memang tidak sederhana. Melawan terorisme merupakan pekerjaan
yang berat. Oleh sebab itu tugas tersebut tidak bisa diserahkan begitu saja
pada satu pihak, dalam hal ini negara. Apalagi negara kita dalam kondisi
yang labil dan transisi.

Dalam kondisi seperti itu di mana negara nyaris menjadi tertuduh dan tidak
berdaya, sangat sulit berharap padanya. Untuk itulah perlu ada elemen lain
yang mampu mengambil peran signifikan dalam merespons terorisme.

Idealnya elemen itu adalah institusi perdamaian, di mana di dalamnya
terdapat pengikut (jamaah) baik tokoh maupun masyarakat awam. Pertanyaan
memang muncul, mungkinkah institusi perdamaian tersebut berperan memerangi
terorisme?

Inilah problem yang sangat rumit, lebih-lebih jika institusi tersebut
jauh-jauh hari sudah dituduh memiliki andil dalam aksi terorisme. Namun,
saya berpendapat barangkali perlu kita berharap pada institusi perdamaian
untuk turut memerangi terorisme. Persoalannya, institusi yang seperti apa,
bagaimana, serta kapan hal itu bisa berfungsi, menjadi beban tersendiri.

Ketika berbagai peristiwa peledakan bom, granat, dan pembakaran fasilitas
publik terjadi, kita terbelalak karena ada tuduhan peristiwa tersebut
berkaitan dengan institusi agama.

Sekalipun analisa ini tidak mutlak benar, tetapi dengan tertangkapnya
beberapa pelaku yang beridentitas agama dan mereka mengakui tuduhan, kita
tidak lagi bisa mengelak begitu saja, bahwa institusi agama tidak terkait
dengan berbagai aksi teror.

Apalagi sasaran operasinya adalah tempat-tempat yang disucikan oleh umat
beragama, seperti gereja, masjid, dan sekolah-sekolah berlabel agama.

Itu semua jelas mempersulit alasan bahwa institusi agama tidak terlibat.
Tetapi benar bahwa semua peristiwa tidak berdiri sendiri, senantiasa terkait
dengan fenomena lain yang barangkali lebih akut, namun tidak mampu menjadi
pemicu utama terjadinya aksi terorisme.

Institusi agama dipilih karena institusi ini memang masih mampu menjadi
pemicu utama terjadinya konflik kekerasan yang memakan korban manusia.

Kendaraan Politik

Berdasarkan kondisi institusi agama yang carut-marut dan berlumuran darah,
realistiskah kita berharap pada agama untuk turut serta memerangi terorisme?
Ini barangkali pertanyaan yang diajukan publik negeri ini. Buat apa berharap
pada agama, kalau agama ternyata tidak lebih sekadar ''kendaraan'' politik
untuk meraih kesempatan, kelezatan, dan keglamoran sesaat? Masihkah kita
percaya pada tokoh-tokoh agama yang kerjanya bersilat lidah.

Masihkah agama relevan untuk abad sekarang, di mana tawaran-tawaran agama
sangat abstrak dan berbau eskatolis. Dan segudang pertanyaan lainnya yang
mungkin bisa dianggap menggugat kehadiran agama di muka bumi.

Disebabkan rendahnya martabat institusi agama untuk mampu mengambil peran
dalam melawan terorisme, maka institusi perdamaian dapat mengambilalih dalam
memerangi terorisme. Mengapa harus institusi perdamaian?

Hal ini karena, apabila kita hendak memerangi terorisme yang biadab,
melanggar harkat dan martabat kemanusiaan, tanpa hati nurani dengan
kekerasan, maka yang akan berkembang adalah menghadirkan kekerasan secara
terlembaga.

Kekerasan terlembaga ini yang harus kita hindari, karena akan menghadirkan
bentuknya yang paling sempurna tentang strong state, dan state of horror.
Bentuk negara yang demikian mengerikan, tentu tidak kita inginkan karena
akan memperpanjang daftar terorisme buat warga sipil.

Oleh sebab itulah, institusi perdamaian yang mampu menghadirkan kebijakan,
rasa aman, mengutamakan dialog dan kerja sama harus segera dikerjakan, dan
diwujudkan. Kita tidak boleh terkecoh untuk serta merta melawan terorisme
dengan kekuatan senjata. Sebab perlawanan fisik hanya akan membuat pelaku
teror lebih nekat.

Dengan menggunakan akal sehatlah kita harus melawan terorisme. Terorisme
yang dilawan dengan kekerasan akan menimbulkan terorisme bentuk baru, yang
hakikatnya sama saja mengancam pihak lain.

Memang dengan membentuk sebuah institusi perdamaian belum menjamin akan
terjadi dialog antara teroris dan penggagas perdamaian. Namun paling tidak
institusi tersebut dapat berfungsi sebagai lembaga yang akan melakukan
pengkajian secara teoritik, menganalisa fakta-fakta serta merenungkan apa
yang terjadi, sehingga akan mengambil kebijakan yang sifatnya kontemplatif.

Apa yang pernah dilakukan Mahatma Gandhi di India ketika melawan kolonisasi
dengan gerakan non violence (tanpa kekerasan) saya kira dapat menjadi
pelajaran berharga. Betapa gerakan itu ternyata membuahkan hasil, yakni
penjajah keluar dari India dan rakyat India tidak banyak yang menjadi
korban. Mahatma Gandhi beserta pengikutnya memilih jalan non-kekerasan,
karena menyadari apabila penjajahan dilawan dengan kekerasan, akan semakin
marah dan balas dendam.

Beberapa kasus peperangan di daerah ketika melawan penjajah di Nusantara,
telah memberikan pelajaran betapa penjajah apabila dilawan dengan kekuatan
senjata, ternyata mereka akan melawan dengan senjata dan kekuatan yang lebih
dah syat. Penjajah toh sebenarnya sama dengan terorisme.

Terorisme juga demikian. Oleh karena itu, melawan terorisme dengan senjata
dan kekerasan hanya akan melahirkan bentuk-bentuk terorisme lain yang
mungkin lebih membahayakan. Apa yang terjadi belakangan, ketika kita
beramai-ramai melawan terorisme bergandeng tangan dengan negara-negara
asing, peledakan bom, pembakaran, dan ancaman terus bermunculan di
mana-mana.

Banyak pelajaran yang bisa kita ambil ketika hendak melawan terorisme dengan
kekerasan. Teroris ternyata tidak gentar, atau menyerah atas perlawanan
tersebut, malah semakin menjadi-jadi. Saya setuju terorisme harus
dimusnahkan, hanya saja dengan cara-cara yang tidak menimbulkan banyak
korban.

Melawan terorisme dengan memperkecil korban, adalah langkah yang paling
tepat. Pendek kata, perang melawan terorisme barangkali harus dengan akal
sehat, sekalipun pekerjaan terorisme sangat bertentangan dengan akal sehat
dan biadab.(33)


-Zuly Qodir, mahasiswa program S3 Sosiologi UGM