[Nasional-m] Memberantas Napza dengan Ketahanan Keluarga

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon, 11 Nov 2002 22:43:29 +0100


Media Indonesia
Selasa, 12 November 2002

Memberantas Napza dengan Ketahanan Keluarga
Oleh Neni Utami Adiningsih, Pemerhasi masalah sosial kemasyarakatan


BERBICARA tentang kualitas kesehatan masyarakat Indonesia, harus diakui
bahwa kondisinya masih memprihatinkan. Dari hasil survei Indeks Pembangunan
Manusia (Human Development Index/HDI) yang dikeluarkan oleh Program
Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), saat ini (2002) kondisi
kesehatan masyarakat Indonesia berada di peringkat 110 dari 173 negara,
terendah di Asia Pasifik. Peringkat ini lebih buruk dari tahun-tahun
sebelumnya yaitu 104 (1995), 105 (1999), 109 dari 174 negara (2000), 102
dari 162 negara (2001).

Sedihnya, buruknya kondisi kesehatan ini masih diperparah dengan kian
maraknya napza (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif). Sehingga sudah
seharusnya segera dilakukan upaya serius untuk mereduksinya. Sayangnya
selama ini, sebagian besar dari kita lebih mudah untuk menunjuk dan
menyalahkan 'lingkungan' daripada introspeksi. Akibatnya, banyak orang yang
lebih sibuk 'membersihkan' lingkungan dan lupa untuk memberdayakan keluarga.
Padahal sesungguhnya keluargalah, 'senjata ampuh' untuk memerangi merebaknya
napza.

Reduksi pasokan dan permintaan

Selama ini pola antisipasi lebih ditekankan pada upaya mereduksi pasokan
(supply reduction), pengadaan dan peredaran napza. Antara lain berupa
pemberantasan penyelundupan dan razia terhadap produsen, pengedar, maupun
konsumen napza. Yang terungkap diupayakan untuk dikenai hukuman maksimal,
kalau perlu hukuman mati.

Upaya supply reduction ini dilakukan oleh aparat penegak hukum dan instansi
yang terkait dengan menggunakan pendekatan keamanan. Harus diakui bahwa kian
hari aparat hukum semakin 'berani' dalam memberantas peredaran napza.

Hasil dari keberanian para penegak hukum tersebut antara lain tampak dari
peningkatan jumlah kasus napza yang terungkap. Mabes Polri mencatat adanya
958 kasus (1998), 1.833 kasus (1999), 3.478 kasus (2000, naik 89,74%), 3617
kasus (2001, naik 4%). Dalam hal ini jumlah tersangka yang berhasil diproses
juga terdapat peningkatan dari 1.308 orang (1998), 2.590 orang (1999), 4.955
orang (2000, naik 91,31%). Belum lagi keberhasilan polisi dalam mengungkap
sejumlah kasus pabrik ekstasi, termasuk pabrik pembuat ekstasi di Karawaci,
Tangerang, yang lebih besar dari 50-an pabrik ekstasi di AS dan Meksiko.

Secara sepintas, tampaknya pola di atas berhasil mengurangi pasokan napza.
Apalagi pola ini mendapat dukungan intens dari media massa. Benarkah pola
ini berhasil? Kalau ya, mengapa kian hari kian banyak saja pengedar dan
korban napza? Adakah yang kurang dari pola di atas? Ada, yaitu kurang
gencarnya upaya mereduksi permintaan akan napza.

Sesungguhnya keberadaan napza juga mengikuti hukum dagang yang lazim. Pasar
napza akan semakin hidup, kukuh dan beranak pinak, seiring dengan semakin
banyaknya permintaan. Pasar napza akan berupaya dengan segala cara untuk
memenuhi permintaan tersebut. Termasuk mencampur bahan-bahan napza dengan
bahan lain yang murah harganya seperti bubuk kina, dekstrosa, kafein, dan
sebagainya. Tujuannya untuk menekan harga napza semurah mungkin, sehingga
semakin banyak konsumen yang mampu membelinya. Pada akhirnya konsumen yang
kecanduan tidak peduli lagi bila barang haram itu melonjak naik. Jelaslah
bahwa pola reduksi pasokan tidak akan ada artinya apabila tidak diikuti
dengan keseriusan untuk mereduksi permintaan atau kebutuhan terhadap napza,
dengan menggunakan pendekatan kesejahteraan (welfare approach). Pelaku utama
dari upaya demand reduction ini adalah keluarga. Mengapa?

Peran keluarga

Ada beberapa alasan yang menuntut keberadaan keluarga sebagai pelaku utama
dari upaya mereduksi permintaan akan napza, Pertama, meningkatnya
anak/remaja/pemuda yang terlibat. Dari keseluruhan kasus narkoba, 80%-nya
melibatkan mereka. Kedua, semakin mudanya usia awal menggunakan napza. Saat
usia awal menggunakan zat halusinogen adalah 10 tahun, obat psikotropika (10
tahun), dan opium (13 tahun). Masa kritis untuk pertama kali memakai napza
adalah ketika ia duduk di kelas satu SLTP, kelas satu SMU, atau ketika di
semester 1-2 perguruan tinggi. Saat itu, mereka dihadapkan pada tantangan,
konflik, dan kondisi baru.

Ketiga, besarnya pengaruh teman. Umumnya asal mula seseorang memakai napza
adalah karena bujukan teman. Penolakan terhadap tekanan ini sering kali
mengakibatkan ia dikucilkan oleh kelompoknya. Hasil penelitian Dadang Hawari
(Pendekatan Psikiatri Klinis Pada Penyalahgunaan Zat, 1990) memperlihatkan
bahwa 81,3% pengguna napza karena pengaruh teman. Keempat, besarnya pengaruh
konflik/stres dalam diri anak terhadap peluangnya menggunakan napza. Hasil
penelitian Dadang Hawari (1990) memperlihatkan bahwa pada umunya alasan
untuk anak/remaja menggunakan napza antara lain adalah percaya bahwa napza
dapat mengatasi semua persoalan, atau memperoleh kenikmatan atau
menghilangkan kecemasan, gelisah, takut.

Kelima, hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa keadaan keluarga yang
tidak kondusif atau dengan kata lain disfungsi keluarga memunyai risiko
relatif estimated relative risk) bagi anak/remaja terlibat penyalahgunaan
napza dibandingkan dengan anak/remaja yang dididik dalam keluarga yang sehat
dan harmonis (kondusif).

Dari data-data di atas tampaklah begitu pentingnya peran keluarga untuk
mencegah seorang anak/remaja terjebak napza. Permasalahannya, keluarga yang
bagaimanakah yang dapat melakukan hal itu?

Keluarga sehat

Hanya keluarga yang memunyai ketahananlah, bahagia dan sehat (sakinah), yang
mampu mengeliminasi kemungkinan anggota keluarganya (terutama anaknya) untuk
tidak terjebak napza. Dalam bukunya The National Study on Family Strength
(1987), N Stinnet dan John DeFrain merumuskan tentang keluarga yang bahagia
dan sehat yaitu pertama, adanya kehidupan beragama dalam keluarga. Hal ini
penting dalam memberi dasar untuk menentukan mana yang baik/buruk,
boleh/tidak, halal/haram. Orang tua harus menekankan kepada diri dan
anak-anaknya bahwa napza itu haram hukumnya. Hasil penelitian RD Moore
(Yousful Precursors of Alcohol Abase in Phystctans, 1990) memperlihatkan
bahwa anak/remaja yang komitmen agamanya lemah memunyai risiko empat kali
lebih tinggi untuk terlibat penyalahgunaan napza.

Kedua, adanya waktu berkumpul dengan anggota keluarga. Hal ini penting untuk
memelihara kebersamaan anggota keluarga. Kesempatan berkumpul tersebut
hendaknya dimanfaatkan untuk membangun komunikasi yang baik antaranggota
keluarga. Selain untuk menghilangkan kesalahpahaman, agar dapat lebih
mengetahui kepribadian anaknya juga mampu cepat menyelesaikan permasalahan
yang dihadapi anaknya. Hal ini penting karena dari hasil penelitian
terungkap bahwa ada tipe kepribadian tertentu dari anak yang lebih
berpeluang terjebak napza. Pengabaian orang tua akan kepribadian, kebutuhan,
dan kemampuan anak akan membuatnya 'lari' kepada temannya. Dan, terbukalah
peluang anak terpengaruh napza.

Ketiga, adanya rasa saling menghargai sesama anggota keluarga. Sering kali
dengan segala 'kekuasaannya', orang tua memaksa si anak agar mematuhi
kehendaknya dan mengabaikan keberadaan anak sebagai seorang individu.
Padahal sesungguhnya rasa hormat anak terhadap orang tua dan kewibawaan
orang tua dapat ditegakkan dengan cara memberikan apresiasi terhadap
keberadaan anak. Di sisi lain, pengakuan akan keberadaan dan 'keakuan' anak
akan membuat anak menemukan jati dirinya.

Berani menilai diri

Bila memang serius ingin meningkatkan derajat kesehatan dengan memberantas
mewabahnya napza di negeri ini, hendaknya kita tidak lagi hanya sibuk untuk
mencerca lingkungan sebagai biang 'ketertarikan' anak-anak kita akan napza.
Memang, menyalahkan lingkungan itu cara yang paling mudah. Bukankah
lingkungan tidak mampu membela diri? Namun, itu tidak akan menyelesaikan
masalah.

Saat ini, hendaknya masing-masing dari kita mulai 'berani' untuk menilai
diri dan keluarga sendiri. Sudahkah sebagai orang tua kita mampu membuat
keluarga jauh lebih dominan dibandingkan dengan lingkungan? Sudahkah orang
tua mampu membuat anaknya mau berkomunikasi secara lebih terbuka tentang
kehidupan dan lingkungan pergaulan mereka? Sudahkah orang tua berhasil
membangun ketahanan keluarganya. Sudahkah orang tua berhasil membentuk
keluarga yang bahagia dan sehat?

Marilah kita mulai memberantas napza dengan berbasis pada ketahanan
keluarga. Marilah dari keluarga kita tingkatkan kualitas kesehatan, demi
tercapainya masa depan yang cemerlang, sebagaimana tema Hari Kesehatan
Nasional tahun ini, 'Sehat Itu Masa Depan' serta demi tercapainya 'Indonesia
Sehat 2010'.***