[Nasional-m] Lampu Kuning bagi Tokoh Islam

munindo nasional-m@polarhome.com
Fri, 15 Nov 2002 22:13:59 +0100


Minggu, 10/11/02

Lampu Kuning bagi Tokoh Islam

PERKEMBANGAN kasus Ustaz KH Abu Bakar Ba'asyir makin
menarik dicermati. Ada kesan ia juga akan
disangkutpautkan dengan peledakan bom di Bali.
Benarkah semua ini atas desakan asing (baca: AS).
Bagaimana nasib tokoh-tokoh muslim lainnya, yang
katanya juga bakal menyusul Ba'asyir?

Kekhawatiran banyak orang soal pemberlakuan Perpu
1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
akhirnya terbukti. Lewat peraturan ini, pemerintah pun
langsung ''menjerat'' Ba'asyir, yang dituduh terlibat
dalam berbagai kasus.

Situasi ini merupakan ikon baru dalam perseteruan
antara sejumlah tokoh Islam dan Pemerintah RI, setelah
keampuhan pasal-pasal Perpu Antiterorisme menyeret
amir Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI) itu melalui
jalur pengadilan. Tiga tuduhan berat dilayangkan
kepadanya, mulai soal keterlibatan pengeboman
sepanjang tahun 2000, masalah keimigrasian, sampai
rencana pembunuhan Presiden Megawati.

Sikap pemerintahan Megawati untuk melindungi warganya
dari hujatan internasional menjadi sikap yang tidak
tepat apabila dihadapkan pada pandangan dunia
internasional terhadap usaha-usaha Jakarta dalam
memerangi terorisme internasional.

Meski sebelumnya sikap pemerintah berkesan gentle
melindungi warganya, namun setelah Tragedi Bali
ditambah tekanan keras dari dunia internasional, sikap
pemerintah berubah drastis. Wakil Presiden Hamzah Haz
pernah menyatakan siap memasang badan untuk melindungi
Ba'asyir. Kini Hamzah pasrah menyerahkan Ba'asyir
kepada polisi untuk diperiksa.

Dalam konteks ini, pemerintah sedang tersandung ujian
berat. Sikap pemerintah ini dimaknai sebagai
ketidakberdayaan untuk melindungi tokoh Islam yang
dituding pers Barat sebagai teroris internasional.

Alasannya, jika pemerintah kekeuh menjaga Ba'asyir
yang diduga Barat sebagai salah satu pengikut Jamaah
Islamiyah, posisi pemerintah Indonesia akan makin
terpojok di percaturan dunia.

Menyikapi penangkapan Ba'asyir, mantan presiden KH
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyatakan bahwa
penangkapan pengasuh Pondok Pesantren Al-Mukmin,
Ngruki, Sukoharjo itu tidak berkaitan dengan Islam.
''Kasus ini tidak ada hubungannya dengan soal agama,
jadi tidak perlu ada yang marah. Biasa saja, dan
serahkan kepada aparat keamanan tapi aparat harus
jujur,'' kata Gus Dur usai menghadiri peringatan
Sumpah Pemuda di Taman Budaya Surakarta, (29/10).

Pendapat berbeda disampaikan KH Solahudin Wahid, adik
Gus Dur, seusai menjenguk Ustaz Ba'asyir di RS PKU
Muhammadiyah Solo. Anggota Komnas HAM ini memprediksi,
barisan tokoh Islam lain antre untuk ditangkap.
Buktinya, dua tokoh Islam, Ja'far Umar Thalib dan
Habib Rizieq, juga sempat ditangkap dengan berbagai
alasan.

Penangkapan maupun penahanan tokoh-tokoh Islam yang
dianggap berhaluan keras ini memunculkan kekhawatiran,
bahwa penangkapan sejumlah tokoh Islam akan berlanjut.

Malah, bisa jadi pemerintah akan memberlakukan
kebijakan di masa Orde Baru, dengan memberikan cap
ekstrem kanan, DI/TII, dan sejenisnya kepada kelompok
muslim yang berseberangan.

Merunut Sejarah

Lalu benarkah Islam menjadi ancaman serius bagi
institusi negara? Bila merunut jauh ke belekang dalam
perkembangan pergerakan Islam di Indonesia, tampaknya
Islam selalu diperhitungkan sebagai satu ancaman
eksistensi negara. Kiprah tokoh-tokoh Islam waktu itu
sering berseberangan dengan pemerintah.

Jauh sebelum era pemerintahan Megawati, banyak tokoh
Islam yang terjerat kasus hukum, mulai kasus
penghasutan terhadap pemerintah sampai tuduhan
subversif. Nama-nama seperti AM Fatwa, Nasrun, dan
(almarhum) Amir Biki, dilabeli sebagai musuh
pemerintah.

Di masa awal pendirian bangsa, tokoh-tokoh Islam juga
melancarkan aksi untuk memasukkan warna Islam di
Indonesia. Meskipun pada akhirnya golongan Islam mau
berlapang dada menerima Pancasila sebagai landasan
negara, namun bukan berarti persoalan tersebut tidak
hilang sama sekali.

Potensi ''bara dalam sekam'' ini, yang menurut
sebagian pihak Islam dianggap satu-satunya alasan
untuk bernegara, memancing reaksi sejumlah politisi
untuk melanjutkan perjuangan Islam dalam tataran lebih
terhormat: memasuki wilayah konstitusi.

Amandemen UUD dalam Sidang Umum MPR 2002 membuktikan
adanya keinginan sebagian pihak merumuskan Islam
sebagai dasar hukum di Indonesia. Sementara itu, dalam
bentuk perjuangan di lapangan muncul berbagai golongan
Islam ekstrem yang tak puas terhadap kebijakan
pemerintah. Mereka menilai, Pemerintah RI seringkali
mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan kaidah
Islam.

Laskar Jihad Ahlussunah Wal Jama'ah, pimpinan Ustaz
Jafar Umar Thalib, mencoba mengatasi perseteruan
Kristen-Muslim di Maluku dengan cara memberikan
perlindungan secara fisik kepada umat Islam.

Kemudian Front Pembela Islam (FPI), pimpinan Habib
Rizieq Shihab, pun bergerak menghancurkan tempat
hiburan malam dan tempat kemaksiatan lainnya di
Jakarta.

Semua tindakan itu dapat dipahami sebagai reaksi
kelompok muslim yang sudah gatal membiarkan
kemaksiatan merajarela di depan mata tanpa adanya
tindakan pencegahan dari pemerintah. Reaksi macam ini
dimaknai pula sebagai ketidakpuasan atas tatanan yang
dilakukan pemerintah dalam menggerakkan roda
pemerintahan. Dari situlah muncul serangkaian aksi
yang dinilai pemerintah mengganggu ketertiban
masyarakat.

Perubahan Haluan

Tahap perlawanan Islam mengalami perubahan orientasi
dari sekadar berkecimpung dalam urusan dalam negeri
menuju isu-isu transnasional. Pada awal pembentukan
negara, sejumlah tokoh Islam berjuang bagaimana
memasukkan syariat Islam dalam konstitusi negara
dengan melihat mayoritas muslim di Indonesia.

Tetapi, karena belum ada konsep yang jelas atas pola
pemerintahan Islam -di samping kompromi politik jangka
panjang di antara founding fathers- menjadikan Islam
tak pernah bisa dijadikan sebagai landasan negara.

Usaha memasukkan tujuh kata dalam pasal 29 yang
dilakukan kelompok Islam pada waktu itu menjadi
perjuangan untuk memberlakukan syariat Islam di
Indonesia. Setelah itu ada kompromi politik. Islam mau
menggunakan payung Pancasila dalam landasan bernegara.
Perkembangan selanjutnya di masa Presiden Soekarno,
Islam memperoleh hak-hak istimewa dengan mendirikan
partai-partai Islam.

Namun tetap saja pemerintah memberangus pendapat
tokoh-tokoh vokal, melalui Penpres No 11 Tahun 1963
atau dikenal dengan UU Antisubversi.

Usaha pembungkaman tersebut dilanjutkan pemerintah
Orde Lama melalui Keputusan Presiden/Panglima
Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia/Komando Operasi Tertinggi Nomor 36/KOTI/1964
(tanggal 6 Juli 1964) tentang Pembentukan Komando
Operasi Penanggulangan Kegiatan Subversi.

Celakanya, pemerintah Orde Baru juga menggunakan UU
ini untuk merangsek tokoh-tokoh yang tak sejalan
dengan arah kebijakan pemerintah, termasuk tokoh Islam
yang bergerak di dalamnya. Simak Peristiwa Tanjung
Priok (1984) yang terjadi akibat pemerintah terlalu
memaksakan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam
kehidupan politik warga negara. Upaya pemaksaan ini
lalu dianggap sebagai ancaman bagi sebagian warga
terhadap agama yang dipeluknya. Pada saat itu nama
Ba'asyir masuk sebagai daftar cekal pemerintah,
sehingga dia melarikan diri ke Malaysia untuk
menghindari jerat hukum rezim Soeharto.

Gagasan politik pemerintah macam itu menimbulkan
benturan di tingkat lokal, seperti terjadi pada 12
September 1984 di Tanjung Priok. Akibat dari peristiwa
itu, sedikitnya 23 orang muslim dinyatakan tewas.
Penyelesaian kasus itu baru muncul setelah 16 tahun.
Itu pun tidak pernah menyentuh tokoh utama penggagas
pembantaian itu.

Pemerintah Megawati pun kini mulai melakukan pembinaan
terhadap sejumlah tokoh Islam garis keras, melalui ide
pembubaran laskar-laskar keagamaan. Pengaruhnya mulai
dirasakan oleh Laskar Jihad dan Front Pembela Islam
(lihat Laskar-laskar Berguguran). Meski kedua
organisasi ini menolak anggapan pembubaran itu akibat
pengenaan status tersangka pada kedua pimpinannya,
publik tetap menilai bahwa pembubaran laskar tersebut
sebagai bagian kecil dari pemberantasan terorisme
internasional.

Isu ideologi sekarang mulai tergantikan oleh isu
terorisme internasional, yang dianggap sebagai ancaman
baru bagi kalangan Islam. Terorisme internasional itu
menjadi isu dunia, setelah AS mengindikasi jaringan
Al-Qaedah berada di balik Tragedi 11 September.

Merunut pemikiran Samuel P Huntington dari Universitas
Harvard, Barat selalu memandang Islam sebagai ancaman
peradaban mereka pascakehancuran komunis. Kemapanan
peradaban yang dimiliki dunia Barat saat ini berbeda
dengan Islam. Hal-hal yang berbeda menjadi pemicu
timbulnya pertentangan peradaban sehingga dominasi
salah satunya menjadi tak terelakkan lagi.

Menkeh dan HAM Yusril Ihza Mahendra mengakui, dalam
proses global ini, tekanan negara kuat terhadap negara
lain telah memunculkan sebuah ketidakadilan baru di
dunia ini.

Dalam hal perang terhadap terorisme, misalnya,
kebenaran seolah-olah hanya ditentukan oleh satu
negara yang punya jaringan komunikasi kuat, yang
melakukan kampanye terus-menerus dan yang telah
membentuk opini publik. Amerika selalu berkelit bila
dituduh memusuhi Islam.

Berkali-kali Bush mencoba meyakinkan bahwa dirinya
tidak memusuhi Islam, namun memusuhi terorisme. Namun
bila melihat serangan AS, selalu menyentuh
kantong-kantong muslim seperti Al-Qaedah dan Jamaah
Islamiyah, tetapi tanpa sedikit pun menoleh kekerasan
yang dilakukan Israel terhadap Palestina.

Menurut banyak pengamat, ini membuktikan, sejatinya
Amerika sedang memusuhi Islam. Akankah ini merupakan
lampu kuning bagi tokoh-tokoh Islam garis keras? (M
Syaefudin, staf Pusat Informasi dan Data ''Suara
Merdeka''-48)