[Nasional-m] Korelasi Ilmu Kedokteran, Filsafat, dan Agama

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sat, 16 Nov 2002 00:34:16 +0100


Jawa Pos
Sabtu, 16 Nov 2002

Korelasi Ilmu Kedokteran, Filsafat, dan Agama
Oleh Sardjana *

Ilmu kedokteran psikosomatik -oleh ilmuwan Belanda Prof V. Rijnberk- dinamai
juga ilmu kedokteran kesusilaan. Alasannya, bila seseorang sakit, seluruh
jasmani dan rohaninya sakit. Bukan sebagian atau hanya jasmaninya yang
sakit. Pendapat baru ini mungkin dapat digunakan sebagai pembuka jalan ke
arah dunia kedokteran baru.

Rijnberk, ahli ilmu faal Belanda itu, mengatakan bahwa ilmu pengetahuan
eksakta bersifat statis. Maksud pendapatnya itu ialah saat ini ilmu
pengetahuan memasuki suatu tahap yang juga memusatkan perhatian kepada yang
iriil, selain kepada yang riil. Ternyata, dalam tahap ini, ilmu pengetahuan
mempunyai peranan sangat penting di dalam kehidupan manusia.

Ilmu kedokteran menjadi pembuka tabir rahasia seperti yang terbukti dalam
kehidupan manusia. Alexis Carel, Freud, Jung, dan Robert, misalnya, adalah
nama-nama ahli ilmu kedokteran yang memecahkan masalah-masalah yang tidak
mungkin dapat diperoleh oleh ahli-ahli di lapangan ilmu pengetahuan lain.

Dengan pendapat baru itu, ilmu kedokteranlah yang pertama mengerti bahwa di
antara ilmu kedokteran, filsafat, dan agama, ada tali hubungan. Dengan
tali-tali hubungan itu, kita dapat mengerti kesatuan berupa makhluk hidup
yang dinamai manusia sebagai keseluruhan, bukan sebagai reduksi.

Terutama agama, yang sejak masa kesombongan ilmu pengetahuan, menjelma
sebagai positivisme akibat diperolehnya hasil-hasil yang menyilaukan,
mula-mula diejek, kemudian diingkari, tapi sekarang diakui oleh ilmu
psikosomatik sebagai anasir yang sangat penting di dalam kehidupan tiap-tiap
orang yang ingin memperoleh kebahagiaan.

Apabila kita meninjau lebih dalam daftar nafsu, arti etik -terutama etik
keagamaan- dalam ilmu psikosomatik sebagai alat pengobatan tidak mungkin
dapat disangkal.

Menurut statistik, orang-orang yang ditimpa kecelakaan di Amerika, yakni
orang-orang dari keluarga besar dan tidak mampu, keluarga dengan banyak
anak, tidak pernah mengucapkan kata-kata manis terhadap anak-anaknya.

Kelebihan atau kekurangan rasa kasih sayang dari pihak orang tua terhadap
anak-anaknya bersangkut-paut dengan pendidikan. Karena itu, setiap keluarga
yang menghendaki semua anggota keluarganya sehat lahir batin perlu
memperhatikan didikan budi pekerti. Sebagian besar didikan ini ada pada
orang tua, terutama ibu.

Terutama emosi-emosi yang menyertai insting religiuslah yang memberikan
pengaruh baik atas jiwa tiap orang bahkan akan melenyapkan emosi-emosi yang
memberikan pengaruh buruk. Serta memurnikan emosi-emosi yang menyertai
insting seperti keberanian, persahabatan, gotong-royong, dan
tolong-menolong.

Emosi kikir, misalnya, akan lenyap jika emosi pengorbanan atau rela
berkorban tumbuh. Sifat tidak jujur atau korup, emosi malas, emosi mengejar
kenikmatan atau kemaksiatan lenyap oleh emosi suci. Emosi marah, bengal,
dengki, cemburu, dan berontak bakal hilang oleh emosi sabar. Hawa nafsu oleh
suci, sombong oleh budi pekerti luhur, mengomel oleh tata susila, mewah oleh
menimbang, keinginan akan kekuasaan dan penghambaan oleh bakti dan tawakal.

Dari uraian itu, kita mengerti pula bahwa banyak penyakit karena emosi-emosi
buruk itu yang tidak mungkin dapat disembuhkan oleh obat. Penyakit-penyakit
sejenis ini dinamakan penyakit psikosomatik. Krisis akhlak pun mempunyai
sebab-sebab dalam emosi tercela yang sedang merajalela.

Karena emosi itu merupakan kenyataan yang dapat disaksikan pada tubuh
manusia dan dapat dibagi dalam emosi yang negatif dan positif, sedangkan
yang positif dapat melenyapkan atau menetralkan yang negatif dan menjadi
peserta dalam insting religius, lantas akan menjadi bukti nyata bahwa religi
itu anasir yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Jadi, religi bukan
obat bius atau racun. Bahkan, sebaliknya religi menjadi obat mujarab bagi
penyakit-penyakit yang disebabkan oleh gangguan emosi negatif.

Jadi, setiap agama besar memberikan pelajaran kepada tiap-tiap penganutnya
yang ingin menikmati hidup bahagia, agar jangan menghamba kepada
nafsu-nafsunya. Diceritakan bahwa Tuhan memberikan firman kepada Nabi Daud.
Firman itu berbunyi: "Daud, kamu hendaknya mengkhawatirkan dan
menakut-nakutkan sahabat-sahabatnya dengan mengatakan bahwa hawa nafsu itu
akan menelan dirinya karena hawa nafsu itu selalu mengajak kalbumu, supaya
tersesat dalam keduniawian, sehingga kalbumu ditutupi olehnya dan tidak
dapat ingat kepada-Ku."

Nabi Isa pernah mengucapkan sabda berikut: "Sangat berbahagia orang-orang
yang dapat meninggalkan ajakan hawa nafsunya, supaya kita gemar akan
barang-barang yang kelihatan; karena mereka mempunyai harapan akan turunnya
janji yang belum terwujud dan tidak dapat disaksikan oleh mata."

Ayat Alquran berbunyi: "Adapun orang-orang yang takut kepada Tuhan ialah
mereka yang dapat menekan hawa nafsunya, sungguh surga tempat kediaman orang
orang itu" (An Nasiaat: 40).

Nabi Muhammad SAW ketika menyambut sahabat-sahabatnya yang baru datang dari
peperangan bersabda: "Kamu sekalian berbahagia benar-benar karena baru
datang dari peperangan kecil, kemudian maju ke peperangan besar, dengan
demikian kamu menekan hawa nafsumu sendiri. Tidak ada kemenangan yang lebih
besar selain dari kemenangan atas nafsu sendiri."

Di dalam Baghawad Gita tercantum: "Apabila orang memikirkan kenikmatan
dirinya akan tumbuhlah padanya kecintaan kepadanya, dari kecintaan tumbuh
keinginan, dari keinginan timbullah marah. Apabila ingatan menjadi gelap,
maka timbullah kehilangan budi; apabila budi hilang, maka diri sendiri akan
musnah. Dia yang membuang nafsunya dan hidup dengan tak disertai keinginan,
dengan tidak memelihara dirinya (mengabaikan diri) dan tidak mementingkan
diri sendiri, akan dikaruniai rasa damai."

Pintu gerbang ke neraka ada tiga buah, yang merusak jiwa, yakni keinginan
(syahwat), marah, dan serakah.

Dalam ilmu kedokteran baru yang dinamai psikosomatik, yang sedang marak
dipelajari di Eropa dan Amerika oleh Dr J.L.C. Wortman, dikatakan bahwa ilmu
psikosomatik, ilmu kedokteran, agama, dan filsafat berjabatan tangan.

Hal itu benar-benar akan menjadi pembuka jalan ke arah dunia baru, yang
sejak lama kita nanti-nantikan dan yang akan menjamin kehidupan bahagia bagi
seluruh umat manusia, lahir dan batin.
* dr Sardjana SpOG, anggota Komisi Fatwa dan Kajian Hukum Islam, MUI Malang