[Nasional-m] Musim Hujan Datang, Banjir Mengancam

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sat, 16 Nov 2002 23:32:48 +0100


Sinar Harapan
16/11/2002

Musim Hujan Datang, Banjir Mengancam
Oleh Sarono

Saat ini Bangsa Indonesia hidup di antara dua musim ekstrem. Pertama adalah
musim kemarau yang selalu dibarengi dengan bencana berupa kebakaran hutan
dan lahan (disengaja atau tidak disengaja), kekeringan, krisis air, dan
mengakibatkan banyak gagal panen serta krisis pangan. Kedua adalah musim
penghujan yang selalu dibarengi dengan bencana banjir dan tanah longsor.
Kedua musim yang seharusnya saling mendukung itu telah berubah menjadi dua
musim ekstrem dan selalu mengancam kehidupan kita.
Kedua bencana tersebut terjadi karena kerakusan manusia itu sendiri yang
hanya mau menguras sumberdaya alam tanpa mau melestarikannya. Benak manusia
hanya berisi bagaimana mencari keuntungan yang sebesar-besarnya baik untuk
pribadi atau kelompoknya tanpa memperhatikan nasib kelompok yang lain. Juga
tidak memperhatikan daya dukung lingkungan terhadap alam ini.
Inilah kondisi kehidupan yang dialami oleh bangsa kita ini. Ketika musim
kemarau datang, berbagai kawasan dilanda kekeringan yang mengakibat-kan
bencana kebakaran hutan dan lahan, krisis air bersih melanda ratusan desa,
dan kegagalan panen/puso melanda daerah-daerah sentra produksi
pertanian/padi.
Kini, beberapa kawasan masih dilanda bencana kekeringan. Namun musim hujan
juga sudah mulai mengintai kawasan yang lain. Kekeringan yang mengakibatkan
bencana kebakaran hutan masih dianggap sebagai bagian dari musim kemarau,
sehingga tidak mendapatkan perhatian serius dari penguasa negeri ini kendati
kebakaran hutan selalu terjadi setiap tahun. Bencana banjir juga nampaknya
hanya dianggap sebagai bagian dari musim hujan, sehingga kita belum melihat
adanya antisipasi dari pihak-pihak terkait menjelang musim hujan kali ini.

Antisipasi Musim Hujan
Mestinya, Oktober ini sebagian besar wilayah Indonesia sudah diguyur hujan.
Ternyata baru sebagian kecil yang sudah merasakan guyuran air hujan. Musim
hujan dengan intensitas sedang diperkirakan baru akan mulai pada bulan
November ini.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, musim hujan tahun ini agaknya masih tetap
dibayangi banjir besar. Bahkan, curah hujan dalam musim hujan kali ini
diperkirakan cukup tinggi. Itu artinya, ancaman banjir tetap membayangi
berbagai kawasan di Indonesia. Dengan adanya kemungkinan sebagian wilayah di
Indonesia masih akan terkena banjir besar itu, sudahkah ada antisipasi dari
instansi pemerintah terkait dan juga warganya?
Tampaknya, upaya mengantisipasi banjir dan mencegah dampak buruk yang bakal
timbul belum ada greget. Sebagian besar warga masih terlihat tenang-tenang
saja. Pemerintah Daerah, khususnya bagian yang secara langsung bertanggung
jawab atas ancaman banjir tahunan itu, juga belum tampak menyiapkan hal-hal
yang diperlukan untuk menanggulangi akibat buruknya. Sejumlah kali masih
dibiarkan penuh sampah dan limbah. Selain sangat kotor, juga mengakibatkan
tersumbatnya aliran sungai. Jika terus dibiarkan, luapan air hujan kelak
tidak akan cepat surut sehingga banjir tidak bisa dihindari.
Kini kita telah berada di bulan November. Mestinya, semua komponen sudah
melakukan antisipasi yang serius, selain mencari solusi untuk mengurangi
dampak dari banjir ini.
Beberapa kawasan yang setiap tahun menjadi langganan banjir seharusnya sudah
melakukan upaya-upaya nyata untuk menanggulangi banjir. Belum lagi ditambah
meluasnya daerah atau kawasan yang mulai terancam banjir, kendati pada masa
lalu aman-aman saja.
Di Jakarta misalnya, pada awal Oktober lalu, beberapa wilayahnya sudah mulai
diguyur hujan. Bagi warga Jakarta, datangnya musim hujan berarti harus
siap-siap mengantisipasi bencana banjir. Menurut catatan Badan Meteorologi
dan Geofisika (BMG) Jakarta, hujan memang dimulai bulan Okotober. Palmerah,
Kemanggisan, Tanjung Priok, Srengseng, Kelapa Dua, Slipi, Lenteng Agung,
Pasar Minggu, Pondok Gede, Cengkareng, Mangga Dua, dan beberapa lokasi lain
sudah diguyur hujan.
Banjir memang menghantui perumahan warga. Sebab, banyak saluran air yang
macet, juga minimnya ruang taman hijau (RTH), serta kurangnya resapan air.
Apalagi di daerah kumuh padat (kupat) dan kumuh miskin (kumis) seperti yang
banyak terdapat di Penjaringan, Kali Angke, Tambora, Jembatan Dua, dan
bantaran kali Ciliwung. Sekadar catatan, Maret kelabu itu membuat 24,25
persen wilayah Jakarta menjadi kolam renang. Ratusan kelurahan terendam air
setinggi 30 cm hingga 3 meter. 107.140 kepala keluarga (KK) mengungsi dan
merenggut 34 nyawa.
Menurut Kasubdit Pengembangan Strategi Rencana Kota (PSRK) DKI Jakarta Rudy
P Tambunan dalam diskusi ”Banjir dalam Perspektif Sejarah” belum lama ini,
40% kawasan Jakarta berada di bawah permukaan laut yang biasa disebut
peneplain (nyaris rata). Untuk itu, pembangunan prasarana dan sarana fisik
pengendali banjir dan sistem drainase seperti tanggul, normalisasi alur
sungai (pengerukan, sudetan), bendungan, pompa, banjir kanal, sistem
drainase tidak bisa mengubah dataran banjir menjadi terbebas dari banjir dan
genangan sepenuhnya. Pembangunan fasilitas pengendali banjir selama ini
hanya bertujuan untuk menekan besarnya kerugian yang menyangkut harta benda
maupun jiwa (flood damage mitigation).
Jadi untuk mengurangi banjir perlu dibangun prasarana dan sarana yang
tergolong non structural measured. Ini perlu kerja sama dengan berbagai
stakeholder. Dan untuk menciptakan sinergi itu harus ada kesamaan persepsi,
pemahaman, dan respons terhadap konsep penanganannya. Nonstructural measured
yang dimaksud adalah memberikan pemahaman risiko bermukim dan konsep
perlakuan-perlakuan (treatment) pemanfaatan ruang di lokasi-lokasi dataran
banjir yang telah terbangun. Dan hal itu hanya dapat diatasi melalui
penerapan konsep peran serta masyarakat di bidang penataan ruang. Hal ini
merupakan salah satu tantangan bagi pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.
Sementara di Surabaya, menurut Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika
Stasiun Meteorologi Maritim Surabaya Edi Waluyo Sutomo Ah MG, musim hujan
tahun ini, yang diperkirakan akan mulai turun November ini, bakal diwarnai
angin kencang. Karenanya, warga Surabaya perlu mewaspadai dua gejala alam
sekaligus yakni hujan deras yang disertai angin kencang. Gejala alam itu
akan terasa mulai Desember 2002 hingga Maret 2003. Kecepatan angin itu nanti
bisa mencapai di atas 40 kilometer per jam.
Menurutnya, musim hujan tahun ini bakal dimulai pada dasarian II (antara
tanggal 11 hingga 20) bulan November. Curah hujan akan berkisar pada angka
50 milimeter per sepuluh hari. Atau masih dalam kondisi normal. Setelah
bulan November hujan normal, curah hujan akan terus meningkat pada Desember.
Saat itu hujan deras akan datang disertai angin kencang. Dan ini akan
terjadi hingga Maret 2003. Hujan deras dan angin kencang ini terjadi akibat
adanya pengaruh angin mouson barat yang sangat dominan. Pada saat itu
ketinggian gelombang laut juga akan mencapai sekitar dua meter.
Secara rata-rata jumlah curah hujan tahun ini akan lebih tinggi dibandingkan
tahun sebelumnya.

Musim hujan tahun lalu curah hujan tertinggi terjadi pada Januari dengan
387,9 milimeter per bulan. Saat itu, Surabaya sempat terendam air selama
tiga hari. Sedangkan musim hujan tahun ini diperkirakan curah hujan akan
mencapai lebih dari 400 milimeter per bulan. Dan itu diperkirakan sudah akan
terjadi pada Desember. Karena itu, Surabaya harus siap-siap kebanjiran lebih
cepat dari tahun-tahun sebelumnya.
Tahun lalu misalnya, curah hujan tertinggi terjadi pada 28 Januari 2002.
Saat itu curah hujan mencapai 190 milimeter per hari. Padahal curah hujan
normal adalah 50 hingga 70 milimeter per hari. Akibat hujan itu pula
Surabaya terendam tiga hari. Yang jelas, kalau curah hujan per hari sudah
lebih dari 70 milimeter, berarti saluran kita tidak mampu lagi menampung.
Dan itu berarti akan banjir.
Sedangkan di Sumatera, pada pertengahan bulan Oktober ini banjir besar
akibat hujan sudah melanda daerah Painan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra
Barat (Sumbar). Sedikitnya 900 rumah dan bangunan lainnya digenangi air
setinggi 1-1,5 meter setelah hujan deras mengguyur kota itu selama hampir
satu hari. Air menggenangi hampir seluruh Kota Painan yang terletak di tepi
pantai, karena bersamaan dengan turunnya hujan deras, air laut juga
mengalami pasang naik sehingga sungai meluap.
Sudahkah ada antisipasi dari kita semua menghadapi bencana tahap kedua
setelah bencara kekeringan ini? Masyarakat Jakarta khususnya dan kawasan
lain yang rawan atau rentan banjir pada umumnya harus lebih waspada
menghadapi musim hujan ini. Di Jakarta, bencana banjir sebenarnya sudah
terjadi sejak abad ke-15.
Oleh karena itu, jika tidak ada pendekatan dan penanganan secara
komprehensif, maka kondisinya akan semakin parah, menyusul perubahan dahsyat
lingkungan di Jakarta dan sekitarnya, serta perubahan iklim global. Menurut
Ketua Bidang Permukiman, Pusat Penelitian Lingkungan, Institut Teknologi
Bandung (ITB), Tjuk Kuswartojo, banjir di Jakarta tidak dapat diatasi dengan
pernyataan atau demonstrasi maupun pendekatan-pendekatan teknologi saja,
apalagi hanya dengan menggusur permukiman kumuh di pinggiran sungai.
Persoalan banjir di Jakarta memerlukan pendekatan dan penanganan yang
komprehensif, mulai dari tingkat tindak yang bersifat regional, sampai pada
upaya setempat. Mulai dari konservasi di daerah hulu, sampai perawatan
saluran daerah hilir. Mulai dari pembangunan saluran rumah, sampai
pembangunan waduk penahan air.
Sedangkan budayawan Betawi, Ridwan Saidi, mengemukakan, Jakarta yang dulunya
bernama Batavia sudah merupakan daerah rawan banjir. Dia menyarankan agar
pemerintah daerah Ibukota Jakarta membentuk rumah panggung bagi masyarakat
yang berdiam di daerah aliran sungai (DAS). Ini akan sangat berguna untuk
menyelamatkan kehidupannya ketika datang musim hujan.
Tiga belas aliran sungai yang melintas di Jakarta juga tidak cukup menampung
saluran bagi datangnya bah. Begitu juga ratusan situ dan rawa yang tersebar
di seluruh kawasan Nusa Kelapa (kendati sebagian situ yang ada di Jakarta
sudah dalam kondisi rusak parah bahkan sebagian sudah hilang) tidak berdaya
menampung curah hujan yang begitu tinggi di daerah ini.
Jadi, bersiap-siaplah warga Jakarta khususnya dan warga Indonesia umumnya,
untuk kembali menunai bah tatkala musim hujan datang. Apalagi hingga kini
langkah antisipasi atau perbaikan berbagai sarana dan prasarana belum banyak
direalisasikan baik oleh pemerintah pusat (Departemen Pemukiman dan
Prasarana Wilayah/Kimpraswil) maupun pemerintah daerah.

Penulis adalah pemerhati masalah lingkungan dan staf SKEPHI Jakarta..