[Nasional-m] Sukses Berkat Kerja Keras

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sat, 16 Nov 2002 23:27:28 +0100


Suara Karya

Sukses Berkat Kerja Keras
@ Belajar dari Ibu Sartini
    yang sukses membuka usaha di Tegal
Oleh Haryono Suyono

Sabtu, 16 November 2002
Di bulan suci Ramadhan ini Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) menggelar
beberapa acara yang menarik. Acara menarik itu antara lain pengalaman
ibu-ibu yang semula sangat sederhana dan menderita, yang karena ketekunannya
beribadah dan berusaha, dengan limpahan rahmat dan karuniaNya, akhirnya bisa
terlepas dari penderitaannya. Mereka adalah orang-orang yang sabar, selalu
tawakal dan bekerja keras. Umumnya mereka sangat giat beribadah dan tidak
pernah putus asa atau mengeluh. Mereka berusaha apa adanya dengan tekun dan
selalu bersikap baik terhadap para tetangganya.

Salah satu yang dihantarkan oleh Cici Paramida pada jam 5.00 WIB pagi
setelah sahur itu adalah pengalaman seorang ibu di suatu desa di Kabupaten
Kendal yang dikenal bernama Ibu Sartini (sekitar 33 tahun). Dari keadaannya
yang sederhana, orang segera mengetahui bahwa ibu ini berasal dari pedesaan
tetapi telah mempunyai sifat-sifat perkotaan yang mantap. Ia memang asli
dari pedesaan tetapi telah lama merantau di kota Kendal dan sekarang tinggal
serta bergaul dengan masyarakat kota kecamatannya di kota Kendal.

Menurut penelitian Drs Oos M Anwas dari Yayasan Damandiri, Ibu Sartini
memang sejak kecil sudah terobsesi ingin menjadi orang kaya yang banyak
uang. Dalam kegiatan bermain sehari-hari dengan teman-teman di desanya,
Sartini kecil selalu memerankan pedagang yang banyak dagangannya dan
mempunyai banyak uang. Mungkin karena obsesinya, Sartini kecil selalu sangat
mantap dengan peranannya itu.

Cita-citanya itu tidak dibiarkan lewat begitu saja. Di sekolah, Sartini
kecil yang masa mudanya dihabiskannya di Madrasah, termasuk anak yang pandai
dan selalu menjadi juara di kelasnya. Karena itu ia menjadi kesayangan para
gurunya. Tidak jarang ia membantu para gurunya dengan tugas-tugas sekolah
yang ia lakukan dengan sungguh-sungguh dan memberikan hasil yang memadai.

Namun karena ia anak keluarga kurang mampu, Sartini kecil tidak bisa terus
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Kepandaiannya tidak
mendapat tempat. Tidak ada yang menawarkan beasiswa, karena biarpun beasiswa
itu untuk anak yang pandai, kesempatan itu tidak bisa dicapai Sartini yang
sederhana itu.

Untuk membantu orang tuanya, setelah menamatkan pendidikan Madrasah, Sartini
kecil terpaksa bekerja menjadi pembantu rumah tangga di rumah kediaman
sebuah keluarga yang tergolong bos pabrik tekstil. Selama menjadi pembantu
itu Sartini kecil melihat bahwa menjadi orang kaya itu tidak mudah. Mereka
harus rajin, bekerja keras, hemat dan mau mengerjakan apa saja yang membawa
manfaat. Tetapi dia juga mengetahui bahwa menjadi orang kaya itu nikmat dan
bisa memberi sedekah kepada mereka yang tidak mampu. Dia mempunyai
kesimpulan bahwa menjadi seorang yang kaya bukanlah kehidupan yang mudah dan
bisa dijalani dengan hanya menganggur saja.

Oleh karena itu untuk belajar mandiri dia berhenti menjadi pembantu dan pada
tahun 1983 mulai bekerja sebagai karyawan di toko penjual barang-barang
keperluan sehari-hari yang ramai di kota Waleri. Karena ketekunan dan
kejujurannya, ia dipercaya memegang kasir di toko itu.

Kesempatan bekerja di toko itu merupakan suatu kesempatan emas untuk
mewujudkan cita-citanya bekerja secara mandiri dan menjadi orang kaya.
Karena itu, disamping bekerja keras, dia mencacat dalam otaknya yang
sederhana segala seluk beluk berdagang. Sartini mempergunakan kesempatan
bekerja di toko itu untuk menambah ilmu dalam praktek dagang yang
sesungguhnya, tidak main sandiwara seperti jaman sekolah di Madrasah yang
lalu. Ketekunan itu pula yang menyebabkan ia disayang oleh majikannya.

Gadis kecil mBak Ti, panggilan akrabnya, tumbuh menjadi gadis yang makin
dewasa. Dalam pergaulan sehari-hari dia tetap saja sebagai gadis yang pada
suatu hari akan menikah, berkeluarga dan mempunyai anak. Kesempatan itu
ternyata datang, dia dilirik dan kemudian menikah dengan seorang pemuda yang
menambat hatinya bernama Rochmat yang sehari-harinya bekerja keras sebagai
tukang becak.

Setelah menikah, mbak Ti tampaknya mulai memikirkan bagaimana hidup lebih
mandiri untuk masa depan keluarganya. Dengan persetujuan suaminya, mbak Ti
berhenti bekerja dan mencoba keberuntungannya dengan membuka dagang sendiri
di pasar tradisional di dekat rumahnya. Ia berjualan apa adanya secara
kecil-kecilan. Segala ilmu yang ia pelajari dari toko di mana ia bekerja
sebelumnya, sekarang tiba waktunya untuk dipraktekkan dalam mengelola
warungnya sendiri.

Dengan pedoman bahwa untuk sukses ia harus memelihara langganan, Sartini
berusaha keras untuk tidak saja menjual dagangannya tetapi yang lebih
penting menambah langganan setiap hari. Bagi mBak Ti tambahan langganan itu
menjadi target utama untuk masa depan warungnya yang lebih besar lagi.
Begitu juga ia berusaha keras untuk mempertahankan kepercayaan langganannya
sedemikian rupa sehingga setiap kali ada keperluan yang dibutuhkan
langganannya diharapkan mereka akan berpaling kepadanya. Secara sederhana
dia mempraktekkan sistem marketing yang sangat luar biasa.

Dengan cara itu dari hari ke hari jumlah langganannya bertambah besar dan
setia. Warung kecil Ibu Sartini bertambah maju dan makin sejajar dengan
warung-warung yang telah ada sebelumnya. Dari hari ke hari kelengkapan
dagangan yang di sediakan di warung itu juga bertambah banyak sehingga dapat
dikatakan bahwa warung itu makin tidak bisa menolak langganan dengan segala
keperluannya.

Setelah sepuluh tahun membuka warung secara sederhana, pada tahun 1993, Bank
BPR Nusamba yang mempunyai program membantu para pengusaha kecil atau
pengusaha mikro meningkatkan usahanya, mulai melirik calon-calon nasabah
yang mempunyai masa depan gemilang. Ibu Sartini dianggap sebagai sosok yang
maju yang apabila mendapat bantuan dana dan bimbingan bisa menjadi pengusaha
yang mempunyai masa depan gemilang, atau menjadi pengusaha yang besar dan
memberi banyak untung kepada bank di kemudian hari.

Sebagai bank yang mengadakan pendekatan menjemput bola, para petugas dari
Bank BPR Nusamba mulai mendekati Ibu Sartini. Mereka memberi penjelasan
tentang program-program yang ditawarkan oleh Bank BPR Nusamba serta
syarat-syarat yang harus dipenuhinya. Dengan telaten para petugas Bank BPR
ini memberi jaminan bahwa bantuan dari Bank BPR ini tidak memberatkan. Pada
saat perkenalan pertama itu Bank BPR Nusamba memperkenalkan produk pinjaman
harian yang tidak terlalu besar sehingga Ibu Sartini akan mampu mencicilnya
setiap hari. Bahkan ditawarkan bahwa cicilan itu tidak usah diantar ke
kantor BPR yang sesungguhnya tidak jauh dari tempat Ibu Sartini berjualan,
tetapi petugas dari Bank yang akan datang mengambil cicilan itu ke warung
Ibu Sartini berjualan. Kalau dikehendaki, bank juga bisa memberikan
fasilitas menabung di mana uang yang ditabung akan diambil sendiri secara
periodik oleh para petugas bank yang ada. Pendeknya pelayanan yang dapat
diberikan oleh Bank adalah pelayanan menjemput bola tanpa mempersulit Ibu
Sartini sebagai salah seorang nasabahnya.

Tawaran yang sangat simpatik dari Bank BPR Nusamba itu diterima dengan
tangan terbuka, karena pada waktu yang bersamaan memang Ibu Sartini
memerlukan suntikan modal untuk memperluas usahanya di warung itu. Segera
suatu akad kredit sebesar Rp. 100.000,- ditandatangani oleh Ibu Sartini
sebagai awal dari masuknya Ibu yang sederhana itu sebagai nasabah Bank
secara resmi. Pada saat yang bersamaan Ibu Sartini juga mulai membuka
rekening tabungan harian pada Bank yang sama.

Dengan pinjaman sebesar Rp 100.000,- itu setiap hari petugas dari Bank
datang ke warungnya untuk menerima cicilan harian dan kadang-kadang menerima
titipan uang sebagai tabungan. Karena ketekunannya maka pinjaman sebesar Rp
100.000,- itu dapat dilunasi dengan mudah dan dagangannya bertambah besar
serta makin mendapat kepercayaan para suppliernya. Setelah pinjaman pertama
lunas, maka ia bisa menerima pinjaman dengan jumlah yang lebih besar. Begitu
seterusnya kalau pinjaman itu lunas, maka pinjaman berikutnya bisa diambil
lebih besar, sampai sekitar Rp 1 juta, karena para petugas bank yang datang
ke warungnya mengambil cicilan harian mengetahui dengan pasti ketekunannya
dan betapa dagangan dalam warung itu laku keras, menguntungkan dan
mendapatkan pembeli yang setia.

Dalam dua tahun terakhir ini, dengan bekerja sama dengan Yayasan Damandiri,
Bank BPR Nusamba makin bisa membantu keluarga seperti Ibu Sartini yang ingin
memperluas usahanya dan atau menambah orang untuk bekerja bersamanya.
Pinjaman yang diberikan yang semula hanya terbatas pada jumlah sekitar Rp 1
juta saja, bisa diperluas sampai sebesar Rp 5 juta atau lebih, sesuai dengan
kelayakan usaha yang ditekuninya. Melihat kesempatan itu Ibu Sartini makin
bergairah. Dia memutuskan untuk tetap memperluas usahanya, memperbesar
warungnya, dan mempekerjakan tenaga lebih banyak lagi. Langkah pertama untuk
menambah tenaga berasal dari suaminya sendiri yang selama ini secara tidak
tetap telah sering membantu kesibukannya di pasar.

Dengan kepercayaan yang tinggi dari Bank BPR Nusamba dan pinjaman yang lebih
besar pak Rochmat memutuskan untuk tidak lagi menarik becak,
mengistirahatkan becaknya, menempatkan becak itu sebagai monumen di depan
rumahnya dan membantu isterinya berdagang di pasar. Dengan dua orang bekerja
di warung itu Bank BPR Nusamba yang bekerja sama dengan Yayasan Damandiri
memberi kepercayaan kepada keluarga Rochmat dan Sartini dengan pinjaman yang
besarnya Rp 3 juta. Warung dan kegiatan usaha di pasar itulah yang menjadi
agunan atas pinjaman sebesar itu.

Dengan modal yang lebih besar dan pinjaman yang juga bertambah besar,
cicilan yang harus dibayar oleh Ibu Sartini dan warungnya bertambah besar
juga. Tetapi bagi usahanya yang bertambah maju, tampaknya nilai pinjaman dan
cicilan itu bukan menjadi masalah. Ibu Sartini dengan pergaulannya yang
bertambah luas dan Pak Rochmat dengan perhatian yang lebih penuh di warung,
kegiatan suami isteri itu bertambah maju. Mereka juga mengadakan
kegiatan-kegiatan di luar warung untuk menampung kebutuhan langganan yang
tambah bervariasi. Bahkan dapat dikatakan para rekannya yang telah mempunyai
usaha sebelumnya mulai tertinggal di belakangnya.

Dengan modal yang makin besar, kegiatan ibadah Ibu Sartini dengan suami dan
keluarganya tidak makin berkurang. Ia selalu rajin dan taat beribadah.
Prinsip hidupnya adalah bekerja keras dan tetap berdoa memohon segala
limpahan rahmat dan limpahan rejeki dari Tuhan Yang Maha Esa. Ibu Sartini
percaya bahwa segala rejeki yang diterimanya tidak lain adalah karena
pemberian dan kemurahan dari Allah, Tuhan Yang Maha Esa juga. Di samping itu
Ibu Sartini dan suaminya juga tidak ketinggalan dalam kegiatan-kegiatan
kemasyarakatan di desanya.

Dengan modal yang terjamin itu Ibu Sartini dengan suaminya bekerja makin
keras. Langganannya dipelihara dengan lebih baik dan segala keperluan
langganannya dicoba dipenuhi dengan tertip. Bahkan untuk memelihara
langganannya itu, ia berusaha keras memberi bantuan keperluan sehari-hari
yang kiranya dapat meringankan beban langganannya tersebut.

Salah satu kegiatan sambilan dari keluarga Ibu Sartini dan pak Rochmat ini
adalah membeli tanah dan kemudian di kapling kecil-kecil untuk di jual
kembali kepada mereka yang membutuhkannya. Dengan mengapling tanah dalam
ukuran yang lebih kecil, para pembeli yang kurang mampu akan bisa membeli
sebidang tanah, kalau perlu dengan membeli secara cicilan kepadanya. Dengan
cara demikian kegiatan keluarga Ibu Sartini dan pak Rochmat makin bervariasi
dan bisa menjamin suatu usaha yang makin marak di warungnya serta
kegiatan-kegiatan sambilan lainnya yang makin membengkak. Namun satu hal
tetap seperti sediakala, Ibu Sartini selalu berperilaku sederhana seperti
masyarakat desa biasa, tidak sombong dan takabur karena merasa yakin bahwa
segala sesuatu adalah tidak lain merupakan limpahan rahmat dari Tuhan Yang
Maha Esa juga. ***

(Prof Dr Haryono Suyono adalah pengamat masalah sosial-kemasyarakatan,
dosen Unair Surabaya).