[Nasional-m] Kemalangan dari Malang

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue, 19 Nov 2002 23:07:58 +0100


Media Indonesia
Rabu, 20 November 2002

Kemalangan dari Malang

PARA wakil rakyat, di pusat maupun daerah, tidak henti-hentinya mengundang
cemoohan. Penyebabnya itu-itu lagi. Yaitu, joroknya moralitas. Integritas
diri dan lembaga terlalu mudah digadaikan untuk kepentingan sesaat yang
bernama uang.

Demi uang, anggota DPR di Senayan tidak malu-malu menandatangani daftar
hadir tanpa perlu duduk di ruang sidang. Demi uang, pencalonan bupati,
gubernur, dan wali kota bisa bertolak belakang dengan komposisi jumlah
anggota fraksi. Bahkan, bertolak belakang dengan team order.

Fakta-fakta jorok ini ditemukan hampir di semua daerah dan bisa berwujud
macam-macam. Jengkel dengan komersialisasi konyol, masyarakat Bali,
misalnya, pernah menghukum anggota Dewan dari sebuah fraksi yang menguasai
mayoritas kursi di daerah itu, tetapi calonnya kalah dari partai lain.
Hukumannya pun lucu. Para anggota Dewan yang mudah disogok itu dipaksa
berjemur di panas matahari.

Kejadian lucu dalam sepekan terakhir muncul di DPRD Malang, Jawa Timur.
Akhir pekan lalu dua wakil rakyat berkelahi di tengah acara sosialisasi
penyusunan proposal dana alokasi umum. Perkelahian itu dipicu ejek-mengejek
yang menyentuh wilayah yang paling sensitif: moralitas terhadap uang.

Dan, kemarin, muncul lagi persoalan baru. Anggota DPRD Malang minta agar
tunjangan hari raya (THR) dimasukkan dalam anggaran 2004.

Tidak cuma itu. Yang lebih mengejutkan lagi adalah ungkapan dari salah
seorang anggota tentang kelakuan teman-temannya yang berkunjung ke
sana-kemari hanya sekadar mencari uang THR. Anggota ini mengaku dimusuhi
karena selalu menolak pemberian THR, termasuk menolak rencana dimasukkannya
anggaran THR untuk anggota DPRD Malang dalam tahun anggaran 2004.

THR memang perlu. Tetapi, bagi anggota DPRD Malang yang telah memiliki gaji
rata-rata Rp 9 juta/bulan, memaksa THR dengan berbagai cara adalah tindakan
tidak terpuji. Kalau anggota Dewan ribut soal THR, bagaimana dengan rakyat
kecil yang tidak tahu meminta THR kepada siapa? Dan, bagaimana dengan
pegawai-pegawai lain yang tidak bisa memperoleh THR karena perusahaannya
tidak mampu?

Anggota DPRD Malang mungkin menganggap dirinya malang karena tidak
memperoleh THR. Tetapi, alangkah jauh lebih malang rakyat kecil yang tidak
tahu ke mana mendapat dan mencari THR, tetapi berhati mulia karena tidak
meminta, apalagi memaksa, dengan berbagai cara.

Dua kasus di DPRD Malang dan contoh kejadian di Bali serta kebiasaan tanda
tangan daftar hadir tanpa duduk di ruang sidang, yang menjadi penyakit abadi
di DPR, menjelaskan sekali lagi bahwa Dewan telah menjadi sentrum
pragmatisme sesaat. Sentrum yang dulu menjadi monopoli eksekutif sekarang
dirampas dan dipakai habis-habisan oleh legislatif di daerah maupun di
pusat.

Tetapi, itulah isi institusi demokrasi yang amat mulia yang bernama Dewan
Perwakilan Rakyat. Lembaga mulia yang dipenuhi orang-orang bermental jorok
akan berubah menjadi institusi bobrok.

Sebagai bangsa yang sadar pada keagungan institusi demokrasi, kita patut
menangisi kehancuran wibawa legislatif. Kita menyesal mengapa rekrutmen
anggota Dewan kok meloloskan para calo. Tetapi, tidak ada pilihan lain
kecuali mengusir tikus dan jangan sampai membakar lumbung.

Ini harapan dan kesabaran yang terlalu bijak bagi kerusakan yang terlampau
parah. Tetapi, apa boleh buat.

Mohon perhatian soal komentar:

Sekali lagi Redaksi mengingatkan kepada Anda semua, sebaiknya Anda
menggunakan bahasa sopan, tidak kasar, tidak menyinggung soal SARA, dan
jangan emosional. Komentar Anda diharapkan bermanfaat bagi kita semua, dan
beda pendapat justru mempererat kita sebagai satu kesatuan.