[Nasional-m] Dalam 28 Bulan, 284 Anak Perempuan Diperkosa

Ambon nasional-m@polarhome.com
Wed, 20 Nov 2002 23:07:25 +0100


SUARA PEMBARUAN DAILY
----------------------------------------------------------------------------
----

Peringatan Hari Anak Internasional
Dalam 28 Bulan, 284 Anak Perempuan Diperkosa

Kekerasan seksual menjadi kasus paling menonjol sepanjang tahun 1992-2002.
Hanya dalam waktu 28 bulan (Juni 2000- Oktober 2002), Pusat Krisis Terpadu
(PKT) Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo (RSUPCM) mencatat 533
kekerasan seksual terhadap anak, baik anak lelaki maupun anak perempuan yang
dilakukan di tempat tinggal. Menurut catatan PKT RSUPCM, 284 anak perempuan
di bawah umur 18 tahun diperkosa dan 233 mengalami kekerasan seksual lain.
Sedangkan 16 anak laki-laki di bawah 18 tahun mengalami kekerasan seksual.

Hal itu terungkap dalam "Dialog Publik Fakta Kekerasan terhadap Anak di
Indonesia" berkaitan dengan peringatan Hari Perlindungan terhadap Kekerasan
Anak dan Hari Anak Internasional di Jakarta, Selasa (19/11). Banyak lagi
kekerasan yang dialami anak Indonesia seperti yang diceritakan siswa-siswi
dari SLTP Santo Vincentius. "Teman saya pernah dipanggil seorang pembimbing
dan diajak ke tempat sepi. Di sana bibirnya dicium, dan pembimbing itu
memberi teman saya uang Rp 10.000. Teman saya langsung lari dan membuang
uang itu," kata Citra Yuliana Agustina, siswa kelas I SLTP Santo Vincentius.

Dalam lingkup keluarga pun anak-anak itu mendapat perlakuan yang tidak
nyaman dari para orangtua mereka, mulai dari dikatakan bodoh sampai main
tangan. Perlakuan seperti itu, menurut Ketua III Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI) Soedjatmiko MD, tidak pantas diterima anak-anak.
"Pendekatan yang harus dilakukan orangtua terhadap anak harus berdasar rasa
kasih sayang, jangan pernah sekali pun kita menghukum mereka. Yang kita
lakukan adalah mengoreksi mereka. Anak-anak itu sedang dalam proses mencari,
jadi kalau mereka salah harus dikoreksi, bukan dihukum," kata Soedjatmiko.

Menghukum anak hanya membuat mereka menjadi penakut atau pelaku kekerasan
setelah dewasa. Menurut Soedjatmiko, ada empat hal yang menjadi pemicu
kekerasan di rumah tangga. Pertama, dari anak sendiri. Misalnya anak
termasuk sulit diatur. Kedua, pelaku atau orangtua karena beban ekonomi atau
banyaknya memiliki anak sehingga mereka terdorong untuk melakukan kekerasan.

Ketiga, adanya peluang seperti tidak ada orang lain yang disegani, bila dia
melakukan kekerasan terhadap anak. Keempat, pencetus, misalnya anak itu
ngompol. Dengan tegas Soedjatmiko menolak bila kekerasan berhubungan dengan
tingkat pendidikan karena banyak juga orang terdidik yang melakukan
kekerasan. "Justru yang berkorelasi sangat dekat adalah korban kekerasan
dengan pelaku kekerasan. Anak yang mengalami kekerasan cenderung untuk
melakukan hal sama bila dia punya anak," kata dia.


Korban Konflik

Permasalahan anak tidak hanya itu karena saat ini menurut Dr Suryo Dharmono
SpKJ dari Forum Anti Kekerasan, dalam kurun waktu lima tahun terakhir
ratusan ribu anak terjebak dalam berbagai konflik di Tanah Air.

Dikatakan Suryo, pemerintah harus punya agenda khusus mengenai anak-anak
korban konflik tersebut. Mereka harus menyaksikan dan bahkan mengalami
kejadian kekerasan luar biasa, kehilangan orangtua dan sanak saudara,
kehilangan tempat tinggal. Hingga kini, ratusan ribu anak masih hidup
berdesakan di barak-barak pengungsian, menekuni kehidupan yang serba tak
menentu. Krisis ekonomi yang berkepanjangan menyebabkan jutaan anak putus
sekolah, bahkan sebagian menjadi buruh anak dan sebagian lain terlempar ke
kehidupan di jalanan.

Menurut Suryo, menata dunia anak Indonesia adalah kegiatan yang luar biasa
rumit karena berhadapan dengan kendala kultural hingga kelemahan sistem
hukum dan permainan politik yang kalut. Untuk mengatasi itu semua, bisa
dilakukan oleh semua pihak dengan memberikan keterampilan pada anak, memberi
pendidikan bagi calon orangtua, dan menggiatkan kampanye antikekerasan
terhadap anak.


Bentuk Kekerasan

Menurut Sekretaris Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist
Merdeka Sirait, ada empat bentuk kekerasan yang terjadi pada anak. Pertama,
kekerasan seksual, meliputi eksploitasi seksual komersial termasuk penjualan
anak untuk tujuan prostitusi, perkosaan, pemaksaan seksual.

Kedua, kekerasan fisik. Tindakan itu meliputi pemukulan dengan benda keras,
menampar, menjewer, menendang. Ketiga, kekerasan emosional atau sering
disebut kekerasan verbal. Bentuk itu umumnya dilakukan dalam bentuk
membentak, memarahi dan memaki dengan mengeluarkan kata-kata yang tidak
pantas.

Keempat adalah kekerasan penelantaran. Bentuk itu umumnya dilakukan dengan
cara membiarkan anak dalam situasi kurang gizi, tidak mendapat perawatan
kesehatan yang memadai, putus sekolah, memaksa anak menjadi pengemis, buruh
pabrik, dan jenis-jenis pekerjaan yang dapat membahayakan tumbuh kembang
anak. (AS/L-2)



----------------------------------------------------------------------------
----
Last modified: 20/11/2002