[Nasional-m] Cina dan Jepang Berlomba Merangkul ASEAN
Ambon
nasional-m@polarhome.com
Wed, 20 Nov 2002 22:46:27 +0100
Kompas
Kamis, 21 November 2002
Cina dan Jepang Berlomba Merangkul ASEAN
Oleh Dewa Made Sastrawan
KONFERENSI Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-8 yang berlangsung di Phnom Penh,
Kamboja, pada tanggal 4-5 November yang lalu kembali menjadi saksi ajang
persaingan antara Cina dan Jepang dalam menanamkan pengaruhnya kepada ASEAN
melalui kerja sama ekonomi yang lebih erat. Ketika berlangsung KTT ASEAN
ke-7 di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, pada bulan November 2001,
para kepala pemerintahan ASEAN dan Perdana Menteri Cina sepakat untuk
memulai perundingan Framework Agreement on ASEAN-China Free Trade Agreement
(ACFTA) pada tahun 2003. Melalui perjanjian ini diharapkan terbentuk kawasan
perdagangan bebas di wilayah ASEAN dan Cina.
Tidak lama berselang, pada saat kunjungannya di Singapura pada bulan Januari
tahun 2002, Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi telah mengumumkan
Initiative for Japan-ASEAN Comprehensive Economic Partnership. Dinyatakan
bahwa melalui gagasan ini Jepang ingin membangun hubungan ekonomi yang lebih
dekat melalui perjanjian dagang secara bilateral dengan masing-masing negara
ASEAN. Jepang akan menggunakan perjanjian dagang bilateralnya dengan
Singapura yang telah ditandatangani pada saat itu sebagai contoh.
Pada saat KTT di Phnom Penh, para kepala pemerintahan ASEAN dan Perdana
Menteri Cina telah menandatangani Framework Agreement on ACFTA itu pada
tanggal 4 November 2002 dan sehari kemudian para kepala pemerintahan ASEAN
dan Perdana Menteri Jepang menandatangani Joint Declaration on the
Comprehensive Economic Partnership. Sangat jelas terlihat betapa ketatnya
persaingan antara Cina dan Jepang dalam rangka merangkul ASEAN untuk
melembagakan kerangka kerja sama ekonomi regional. (Kompas, 6 November 2002)
Kenapa saat ini negara-negara Asia, khususnya Asia Timur Laut seperti
Jepang, Korea Selatan, dan Cina, itu sangat antusias melembagakan kerangka
kerja sama ekonomi regional, padahal negara-negara itu selama ini dikenal
sangat sulit untuk menerima pelembagaan kerja sama regional.
Para analis meyakini bahwa ada tiga alasan utama kenapa proses pelembagaan
kerja sama ekonomi regional di Asia berjalan lambat, yaitu; (a)
ketergantungan ekonomi negara-negara itu pada Amerika Serikat (AS) dan Eropa
sebagai pasar tujuan dan sumber investasi; (b) kawasan perdagangan bebas
dapat mengakibatkan pertikaian perdagangan dengan negara-negara sekawasan
maupun di luar kawasan; dan (c) perbedaan tingkat pembangunan, kurangnya
trade complementary, dan keanekaragaman sosial-politik serta budaya
menyulitkan pelembagaan kerja sama ekonomi regional di Asia.
Sampai saat ini satu-satunya kerja sama ekonomi regional di Asia yang
melembaga adalah ASEAN Free Trade Area (AFTA). Negara-negara Asia Timur Laut
sama sekali belum menjadi bagian dari blok perdagangan mana pun. Jepang
selama ini dikenal sebagai loyalis pada sistem perdagangan multilateral dan
menolak proses liberalisasi perdagangan melalui jalur preferential trade.
Hal ini dikarenakan Jepang khawatir partisipasinya pada pengaturan
perdagangan regional yang tertutup (exclusive) akan "menyakiti" AS.
Keikutsertaan Jepang pada kerja sama regional seperti APEC karena sifat
kerja sama pada APEC tidak tertutup (open regionalism). Untuk itu untuk
tetap menjaga komitmennya pada sistem perdagangan multilateral melalui WTO,
saat ini Jepang mengembangkan pengaturan ekonomi bilateral seperti yang
telah ditandatanganinya dengan Singapura dan perjanjian serupa sedang
dikembangkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.
Sementara itu, Cina dengan kebijakan ekonominya yang terbuka telah berhasil
membangun ekonomi dan menjaga pertumbuhannya tetap tinggi dan telah
menggunakan kesempatannya bergabung dengan APEC dan WTO sebagai sarana untuk
lebih memajukan ekonominya. Pembentukan kawasan perdagangan bebas dengan
ASEAN diyakini oleh para ahli sebagai bagian dari strategi Cina untuk lebih
memperkuat perekonomian dalam negerinya.
Berebut kepemimpinan kawasan
Setidaknya ada tiga pertimbangan yang mendorong Cina dan Jepang melembagakan
kerja sama ekonominya dengan negara-negara ASEAN. Pertama, karena
meningkatnya saling ketergantungan di antara negara di kawasan. Dalam hal
ini negara-negara akan cenderung menurunkan tarif bea masuk untuk
memfasilitasi percepatan arus barang dagangannya guna menjaga tingkat
pertumbuhan ekonominya.
Pertimbangan kedua adalah upaya untuk mengadakan perubahan struktural
sebagai akibat berubahnya tatanan perekonomian internasional. Derasnya
proses globalisasi ekonomi telah mengakibatkan semakin sulitnya
negara-negara untuk menarik investasi asing dan menjaga daya saing
produk-produk ekspornya. Untuk itu negara-negara akan berusaha saling
bekerja sama (melalui kerja sama regional) untuk mengatasi masalah-masalah
yang ditimbulkan oleh globalisasi ekonomi.
Banyak analis meyakini bahwa pertimbangan Cina dan Jepang untuk melembagakan
kerja sama ekonomi regional itu lebih banyak didasarkan pada kepentingan
politik daripada ekonomi. Kedua negara itu memiliki sejarah konflik yang
panjang dan keduanya saling menganggap satu sama lain sebagai ancaman. Untuk
itu keduanya melihat ASEAN sebagai arena perebutan kepemimpinan pembangunan
ekonomi kawasan.
Inisiatif Jepang yang diumumkan dua bulan setelah para pemipin ASEAN sepakat
dengan PM Cina untuk menandatangani perjanjian kawasan perdagangan bebas,
telah menunjukkan kekhawatiran Jepang atas menurunnya pengaruh negara itu di
ASEAN sebagai akibat meningkatnya dialog antara ASEAN dengan Cina.
Dengan semakin maju dan kuatnya perekonomian Cina, Jepang sangat khawatir
akan kehilangan status kepemimpinannya dalam dinamika perekonomian di
kawasan Asia. Sejak berakhirnya Perang Dunia ke-2 melalui paradigma "angsa
terbang" (flying geese), Jepang telah menjadi pemimpin kemajuan industri dan
pertumbuhan perekonomian Asia.
Namun, sejak terjadinya krisis keuangan di Asia pada tahun 1997,
kepemimpinan Jepang mulai menurun. Krisis ekonomi dalam negeri Jepang yang
berkepanjangan telah menghambat kemampuan Jepang untuk memainkan peranan
pemimpin pergerakan ekonomi di kawasan secara maksimal.
Sementara itu, dengan pesatnya kemajuan dan tingkat pertumbuhan ekonominya
yang fenomenal, Cina mulai memosisikan diri sebagai "pemimpin" perkembangan
ekonomi di kawasan. Negara ini telah menjadi negara pengekspor ke-4 terbesar
di dunia dan menyerap hampir sepertiga dari total investasi asing yang
ditujukan ke negara-negara berkembang.
Apabila perkembangan ekonomi Cina terus berlangsung seperti saat ini, maka
banyak ahli yang berpendapat bahwa pengambil-alihan kepemimpinan pembangunan
ekonomi di kawasan dari Jepang kepada Cina hanya masalah waktu saja.
Reaksi ASEAN
Tampaknya, penerimaan ASEAN terhadap usul pembentukan kawasan perdagangan
bebas dengan Cina berdasarkan pertimbangan politik dan ekonomi. Hal ini
terlihat pada KTT ke-7 ASEAN tahun 2001, di mana proses persetujuan untuk
merundingkan kawasan perdagangan bebas itu tidak melalui pembahasan yang
mendalam pada tingkat pejabat senior, sebagai mana lazimnya proses
perundingan perjanjian.
Upaya ASEAN untuk merangkul Cina ke dalam proses dialog politik dan keamanan
di kawasan telah berlangsung lama. Dengan begitu keinginan Cina untuk
meningkatkan dialog dengan ASEAN langsung diterima oleh ASEAN. Bagi ASEAN
diplomasi ekonomi diyakini akan dapat meningkatkan hubungan politik dan
keamanan dengan Cina, dan ASEAN sendiri berusaha meyakinkan Beijing bahwa
kawasan Asia Tenggara yang sejahtera dan stabil akan dapat memberikan
jaminan keamanan bagi Cina.
Inisiatif Jepang yang memilih mengembangkan perdagangan bebas secara
bilateral dengan negara-negara ASEAN, dipandang ambivalen oleh ASEAN.
Strategi Jepang mendua (melihat ASEAN secara bilateral dan regional) dalam
mengembangkan perdagangan bebas dengan ASEAN. Alasan yang dikemukakan
Jepang, kenapa pendekatan ini ditempuh adalah karena bervariasinya tingkat
pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN. Di lain pihak ASEAN memandang bahwa
pendekatan ini merupakan taktik Jepang untuk tidak membiarkan ASEAN secara
bersama-sama (sebagai satu kesatuan) melakukan perundingan dengan Jepang.
Manfaat bagi Indonesia
Memang bila melihat dari kondisi perekonomian Indonesia saat ini agak sulit
untuk mengatakan, seberapa manfaat yang akan diperoleh Indonesia apabila
perjanjian dengan Cina dan Jepang tersebut benar-benar dilaksanakan secara
penuh. Kondisi obyektif saat ini mengindikasikan bahwa Indonesia seakan
tidak akan mampu bersaing dalam kawasan perdagangan bebas itu.
Namun, perundingan dengan Cina yang dimulai pada tahun 2003 akan membahas
perjanjian perdagangan bebas yang disepakati. Untuk itu dari sekarang
Indonesia perlu mempersiapkan dengan lebih baik mengenai produk-produk yang
dapat/siap ditawarkan dalam perjanjian untuk meminimalkan kerugian yang
mungkin timbul. Sedangkan perjanjian dengan Jepang akan bersifat bilateral
dan baru pada tahapan kedua belah pihak sepakat akan membuat perjanjiannya.
Satu hal yang sudah pasti dan dapat dimanfaatkan oleh Indonesia dari
persaingan antara Cina dan Jepang untuk menjadi pemimpin pembangunan ekonomi
di kawasan adalah peluang untuk tetap dan meningkatkan pasokan minyak dan
gas bumi bagi kedua negara tersebut. Untuk menjadi pemimpin pembangunan
ekonomi, keduanya memerlukan pasokan energi (minyak dan gas bumi) untuk
menjaga dan meningkatkan roda pertumbuhan industrinya.
Lebih dari itu, meningkatnya pendapatan penduduk di Cina, juga akan mengubah
pola konsumsinya yang pada gilirannya juga memerlukan pasokan minyak dan gas
bumi yang lebih banyak. Untuk itu, di samping mempersiapkan diri menghadapi
perundingan perdagangan bebas dengan Cina dan Jepang, Indonesia juga harus
mulai mengatur perencanaan dan strategi pasokan energi bagi kedua negara
itu.
DEWA MADE SASTRAWAN Counselor pada Direktorat Kerja Sama Intra Kawasan Asia
Pasifik dan Afrika Departemen Luar Negeri RI