[Nasional-m] Politisasi Kata dan Makna Bahasa

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sat, 23 Nov 2002 22:59:55 +0100


Media Indonesia
Sabtu, 23 November 2002

Politisasi Kata dan Makna Bahasa
Dr R Kunjana Rahardi, Pengamat Bahasa Indonesia


PENANYA di Jakarta Timur yang berpesan untuk tidak disebutkan namanya, minta
penjelasan tentang keterkaitan bahasa, politik, dan kekuasaan. Dia juga
minta tanggapan pengasuh menyangkut politisasi kata dan makna bahasa dengan
contoh seperlunya.

Berpolitik hakikatnya adalah mengintegrasikan diri pada lingkaran
persikerasan antarkelompok masyarakat yang berkepentingan demi perluasan
kekuasaan. Tujuannya adalah agar kelompok tertentu yang terdominasi dapat
keluar dan lepas dari kungkungan dan cengkeraman kelompok pendominasi.
Kekuasaan sendiri sesungguhnya merujuk pada daya dan kekuatan, untuk
mengendalikan maksud tertentu demi tujuan yang telah diformulasikan.
Kehendak untuk lepas dari lingkaran kekuasaan kelompok masyarakat yang
mendominasi, sering berlanjut pada keinginan melibas kembali lingkaran
kekuasaan yang semula mendominasinya. Maka yang terjadi lalu rantai
persikerasan yang sering tidak ada ujung-pangkalnya. Dalam konteks bahasa
Indonesia, bahasa-bahasa daerah yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara
juga memiliki kekuatan tertentu di setiap wilayahnya. Setiap bahasa daerah
memiliki keberagaman daya dan kekuatan yang termanifestasi di dalam
besar-kecilnya jumlah populasi penutur bahasa daerah tersebut.

Jika dikilasbalikkan dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, ketika bahasa
Melayu Riau diangkat menjadi bahasa persatuan, sesungguhnya ketika itu getar
dan geliat bahasa-bahasa daerah banyak terjadi kendatipun mereka tetap
terbelenggu. Setiap bahasa daerah berjuang keras untuk melawan dominasi
bahasa nasional, yakni bahasa Melayu Riau yang telah beralih status menjadi
bahasa Indonesia. Ada indikasi perjuangan bahasa-bahasa daerah yang kuat dan
hingga kini terus meletup-letup muncul dalam manifestasi kosakata bahasa
daerah di dalam pemakaian bahasa Indonesia. Getaran dan geliat bahasa-bahasa
daerah yang lemah, tidak melahirkan manifestasi apa pun pada pemakaian
bahasa Indonesia sekarang. Maka di berbagai wilayah, sejumlah bahasawan dan
budayawan menghendaki bahasa daerah mereka dimasukkan dalam muatan-muatan
lokal kurikulum pendidikan sekolah. Mencuatnya penelitian-penelitian bahasa
daerah, baik yang dilakukan dalam kerangka akademis maupun kerangka
eksistensial, sesungguhnya juga menunjukkan bahwa cercah-cercah kekuatan
bahasa-bahasa daerah masih cukup kuat dan harus terus diperhatikan.
Begitulah gambaran kondisi dan situasi kebahasaan, bahwa secara naluriah
memang lingkaran kekuasaan bahasa yang terdominasi selalu mencuatkan getaran
untuk melawan lingkaran kekuatan bahasa yang lebih kuat mengungkungnya.

Maka penobatan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, pencanangan bahasa
Indonesia sebagai bahasa pembangunan, bahasa Indonesia sebagai bahasa
pendidikan, lalu juga dapat dipandang sebagai rekayasa bahasa politik dan
kekuasaan. Memang dari runutan sejarahnya, bahasa tidak pernah terlepas dari
politik-kekuasaan. Maksudnya, selalu ada manifestasi-manifestasi khusus dari
denyut kekuasaan dan politik itu di dalam sosok bahasa tertentu seperti
halnya bahasa Indonesia. Tetapi yang banyak menjadi persoalan sekarang
adalah bahwa cara elite-elite politik kita berwacana dengan bahasa Indonesia
sering kali tidak tepat benar. Dengan perkataan lain, rekayasa bahasa
politik-kekuasaan telah dilakukan oleh elite-elite politik kita baik secara
sengaja maupun tidak sengaja. Dengan rekayasa bahasa itu, mereka telah
membangun hegemoni terhadap pemakaian bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia juga telah dieksploitasi sedemikian rupa demi tujuan
politik dan kekuasaan. Manifestasi hegemoni pemakaian bahasa Indonesia
tersebut tampak dominan sekali dalam fakta akronimisasi dan pemakaian bentuk
eufemisme terhadap istilah-istilah politik yang berlebihan. Penggunaan kedua
bidang linguistik tersebut sepertinya telah terlalu jauh berlebihan dan
terbukti telah lepas dari kendali pada saat-saat sekarang ini. Bahkan
pemakaian akronim dan eufemisme itu telah jauh melampaui hakikat akronim dan
eufemisme sendiri dalam pengertian linguistik. Pesan-pesan politik banyak
sekali yang terwujud dalam rupa-rupa bentuk akronim. Kadar kandungan
propagandanya jauh lebih besar daripada kejujuran pesannya sendiri. Lihatlah
terminologi politik yang latah sekali digunakan dalam beberapa kali
pelaksanaan pemilihan umum. Terminologi 'luber', kependekan dari
langsung-umum-bebas-rahasia, dipropagandakan dengan kuat sekali dan
barangkali masih menggema pada pelaksanaan pemilu mendatang. Tetapi
kenyataannya, betulkah pemilu-pemilu tersebut benar-benar sesuai dengan
pesan yang diakronimkan? Itulah realitas politisasi vokabuler yang telah
parah terjadi dalam masyarakat Indonesia.

Eufemisme juga terbukti telah dipakai latah dalam aktivitas berbahasa
Indonesia dengan serta-merta menyiratkan bahwa sesungguhnya masyarakat kita
takut dengan fakta sosial-budayanya sendiri. Ambillah contoh pemakaian kata
'korupsi' yang dialihalihkan dengan komersialisasi jabatan, kata 'teror'
yang dialihalihkan ancaman keselamatan. Juga, kekurangan air sebagai bentuk
eufemisme dari kata 'kekeringan', kekurangan makanan sebagai bentuk halus
dari kata 'kelaparan'. Pemakaian eufemisme semacam itu telah jauh dari
sekadar kesantunan linguistik, tetapi sudah sarat dengan aneka muatan
politis. Jadi jelas, bahwa dengan pemakaian bahasa yang demikian telah
terjadilah politisasi makna bahasa. Masih ingatkah kita bagaimana kata
'karyawan' atau 'wiraswastawan' digunakan dalam dokumen-dokumen pemerintahan
untuk menggantikan kata 'pengangguran'? Kalau berani tulus dan jujur,
barangkali mereka yang sesungguhnya pencopet, pencuri, atau bahkan teroris
sekalipun akan mendapatkan sebutan 'wiraswastawan'. Itulah keprihatinan
terhadap situasi kebahasaindonesiaan yang kita miliki sekarang. Selain
terancam oleh fakta-fakta keamburadulan pemakaian bahasa, rekayasa dan
politisasi vokabuler serta makna bahasa yang dibiarkan terus berkelanjutan,
juga akan kian menghambat kemajuan.***

RUBRIK ini terbuka bagi pembaca. Kirimkan masalah dan pertanyaan Anda
langsung ke e-mail pengasuh atau via pos atau faksimile Media Indonesia
(021) 5812102/5812105